tag:blogger.com,1999:blog-76281735212409319942024-02-07T14:49:56.893-08:00Adara Wijayanti Putri Raharja BlogAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.comBlogger98125tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-61806031504173935682012-12-02T19:47:00.000-08:002012-12-02T19:47:00.661-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 14 PENGUASA GUNUNG KENDENG Bag 6Masuk ke gerbang hutan rimba.<br />Pukul 02.00. Empat jam berlalu. Rombongan lelaki penduduk kampung<br />terus menyisir rimba belantara. Karena mereka harus memastikan setiap semakbelukar<br />bersih ditelusuri, pergerakan mereka lamban. Berteriak-teriak<br />memanggil. Suara itu membuat diam binatang hutan. Kosong. Sejauh ini<br />kosong. Tidak ada selain babi hutan yang melintas, berlari dengan anakanaknya.<br />Tidak ada selain desau burung malam yang terbang berderak,<br />terganggu.<br />Langit semakin kelam.<br />Gerakan Laisa dan Dalimunte jauh lebih cepat. Karena mereka langsung<br />menuju satu titik. Gunung Kendeng. Semakin masuk ke dalam hutan,<br />pepohonan semakin lebat. Golok di tangan Laisa tangkas memotong semak<br />belukar yang menghalangi langkah. Sudah sejak dua jam lalu jalan setapak<br />
yang biasa digunakan penduduk mencari damar, rotan, menghilang. Mereka<br />harus menerabos semak belukar, belalai rotan, dan tumbuhan berduri lainnya.<br />Jarang sekali ada penduduk yang merambah hingga ke atas gunung. Jalan<br />setapak hanya ada di tempat-tempat biasa merek menyadap damar, mencari<br />rotan, menangkap kumbang, dan sebagainya.<br />Pukul 02.30, Laisa berhenti sejenak. Memperhatikan semak di depannya.<br />Jantungnya berdetak amat kencang. Seketika.<br />"Ada apa, Kak?" Dalimunte mendekat, ikut melihat ke depan.<br />Laisa menelan ludah, mendekatkan obor ke ujung dahan salah satu pohon<br />kecil. Patah. Khas sekali. Itu bukan karena uwa, bukan karena binatang liar.<br />Tapi dipatahkan oleh manusia. Benar. Ya Allah, ia benar, Ikanuri dan Wibisana<br />baru saja melewati gunung ini....<br />Laisa menggigit bibir. Cepat! Ia harus buru-buru. Meski harapan itu kecil,<br />meski janji itu bagai embun yang segera sirna oleh cahaya matahari pagi, ia<br />harus buru-buru. Menyusul Ikanuri dan Wibisana. Semoga belum terlambat.<br />Semoga adik-adiknya belum kenapa-napa. Semoga belum.... Golok di tangan<br />Laisa galak membabat ujung-ujung semak di depan yang menghalanginya.<br />Laisa kalap, tangannya gemetar, kakinya apalagi. Tapi rasa cinta yang besar itu<br />membungkus segenap ketakutan. Adik-adiknya, dimanapun saat ini dua sigung<br />nakal itu berada.... mereka membutuhkan dia, kakaknya.<br />Laisa terus maju dengan kecepatan tinggi.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-69915756626461461142012-12-02T19:46:00.000-08:002012-12-02T19:46:00.503-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 14 PENGUASA GUNUNG KENDENG Bag 5"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja—" Dalimunte pelan<br />menyentuh lengan Laisa, bertanya cemas ke sekian kalinya.<br />Laisa menoleh. Menggigit bibir. Entah menjawab apa. Ia sama sekali<br />tidak mendengarkan pertanyaan Dalimunte. Kenangan buruk itu membungkus<br />kepalanya. Kemana adik-adiknya malam ini? Kemana Ikanuri dan Wibisana?<br />Kemana, ya Allah....<br />Dan entah mengapa akhirnya kesadaran itu ditanamkan di kepalanya.<br />Laisa mendadak ingat sesuatu. Ia ingat pernah mendengar pembicaraan Ikanuri<br />dan Wibisana beberapa hari lalu setelah kejadian starwagoon tua itu. Ia tahu.<br />Laisa tahu di mana harus mencari adiknya. Mukanya menyeringai oleh buncah<br />cemas tak tertahankan. Berdiri. Bergegas.<br />"Kak Lais, hendak kemana?" Dalimunte memotong. Tercekat. Hendak<br />kemana?<br />Pertanyaan Dalimunte barusan menyadarkan Laisa tujuan sebenarnya<br />Ikanuri dan Wibisana. Ya Allah, Laisa gemetar seketika saat benar-benar baru<br />menyadari adiknya dulu.<br />"Jalan pintas terdekat menuju kota kecamatan sebenarnya melalui<br />Gunung Kaideng. Hanya delapan kilo jika melewati gunung itu...." Ikanuri dan<br />Wibisana langsung menuju ke jantung sarang Siluman, entah apakah dua<br />sigung nakal itu menyadarinya atau tidak.<br />"Aku ikut—"<br />"TIDAK!! Kau tetap di sini, menjaga Mamak dan Yashinta—"<br />"Aku ikut!" Dalimunte menjawab tegas. Cepat berlari ke dalam rumah.<br />Suara kakinya membuat lantai rumah panggung mereka berderak. Sejurus, dia<br />sudah keluar lagi, membawa tombak panjang peninggalan Babak.<br />"Aku ikut kemana pun Kak Laisa pergi malam ini—" Tegas sekali<br />Dalimunte berkata. Wajahnya dipenuhi ekspresi penghargaan. Keberanian?<br />Tentu saja dia takut, dia tahu kakaknya akan pergi ke Gunung Kendeng. Tapi,<br />sumpah, Dali tidak takut mesti harus memasuki daerah terlarang itu. Lihatlah<br />wajah Kak Lais, wajah yang selalu berani dalam hidupnya, demi adik-adik<br />mereka. Wajah yang selalu melindungi. Melihat wajah itu, Dali tidak akan<br />pernah takut lagi.<br />Laisa menelan ludah. Wajah tegang itu dibasuh cahaya obor yang<br />dibawanya. Kerlapkerlip. Menatap adiknya sejenak. Berpikir cepat. Lantas<br />mengangguk. Tak apalah. Tak apalah adiknya ikut. Ya Allah, sekali ini tolong<br />baiklah dengan kami, tolong....<br />Laisa menggigit bibir. Lantas melangkah menuruni anak tangga. Diikuti<br />langkah Dalimunte. Lima menit lalu Laisa memutuskan juga mencari adiknya.<br />Ia tahu di mana adiknya berada malam ini. Mereka berdua pasti memutuskan<br />kabur dari rumah, pergi ke kota kecamatan. Jalan pintas. Ia tahu, hanya Ikanuri<br />dan Wibisani yang menganggap wanti-wanti tentang harimau Gunung Kendeng<br />itu lelucon. Ingatlah dua minggu lalu mereka malah memperolok-olok Yashinta<br />soal berang-berang yang lucu. Bagi mereka harimau-lah yang lucu.<br />Dalimunte demi melihat kakaknya berdiri, dengan ikut berdiri. Melihat<br />kakaknya berlari pulang ke rumah mengambil obor dan golok, dengan cepat<br />mengikuti. Mamak Lainuri yang masih semaput tidak bisa bicara hanya<br />menatap kosong mereka berdua. Tidak ada warga di balai kampung yang bisa<br />mencegah. Terlalu penat setelah kerja seharian. Penat dengan segenap<br />kecemasan. Tidak ada. Hanya membiarkan. Maka bergeraklah dua obor itu<br />menuruni cadas sungai. Menyeberangi sungai.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-25858415292676743042012-12-01T19:45:00.000-08:002012-12-01T19:45:00.484-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 14 PENGUASA GUNUNG KENDENG Bag 4Mamak Lainuri yang sudah siuman mengeluh tertahan. Kalimat Wak<br />Burhan, kalimat terakhir Wak Burhan bukan lagi perintah mencari orang yang<br />masih hidup. Bercak darah…. "Hati-hati, jangan sampai ada yang terpisah dari<br />rombongan. Sang siluman mungkin masih mencari korban berikutnya...."<br />Balai kampung itu terdiam. Seruan-seruan terhenti. Menelan ludah. Nama<br />itu akhirnya tersebutkan sudah. Sang Siluman. Laisa sudah menggigil<br />ketakutan. Wak Burhan memberikan instruksi dua-tiga kalimat lagi. Lantas dua<br />rombongan bergerak meninggalkan bangunan. Rombongan membawa obor itu<br />menghilang di tengah gelapnya hutan rimba seberang cadas lima belas menit<br />kemudian. Menyisakan ketegangan yang meninggi.<br />"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja?" Dalimunte bertanya<br />mencicit. Cemas. Dari tadi ia tidak bisa memejamkan mata. Tegang. Sementara<br />Yashinta di sebelahnya sudah jatuh tertidur. Meringkuk di atas kursi bambu<br />balai kampung.<br />Kali ini Laisa hanya diam membeku. Tak kuasa mengangguk.<br />Delapan tahun... delapan tahun silam.<br />Ia menyaksikan sendiri dengan mata-kepalanya. Babak mereka dibawa<br />pulang dari hutan persis saat semburat jingga pagi tiba. Setelah pencarian enam<br />jam tanpa henti. Setelah hutan rimba. Muka yang robek tak berbentuk. Tubuh<br />yang tercabik-cabik itu dibawa pulang. Sudah tak bernafas. Babak diterkam<br />penguasa rimba, sang siluman, itulah nama seram menakutkan harimau Gunung<br />Kendeng. Waktu itu umurnya baru delapan, Dalimunte empat, Ikanuri dan<br />Wibisana dua tahun. Yashinta masih di kandungan.<br />Hari itu, babak mereka pergi —<br />Malam itu yang mereka tahu Babak hanya bilang hendak mencari<br />kumbang bersama dua temannya ke hutan rimba seberang cadas, tidak jauh.<br />Tapi entah apa pasalnya, rombongan mereka terpisah. Dua temannya panik.<br />Pulang, segera melapor. Tidak ada yang mengerti, bagaimana mungkin mayat<br />Babak justru ditemukan jauh sekali dari cadas sungai. Masuk ke dalam hutan<br />rimba. Bukankah Babak seperti penduduk lainnya amat hafal dengan hutan itu?<br />Bagaimana mungkin babak malah tersasar jauh ke sana? Seruan-seruan ganjil<br />terdengar,<br />Semua orang tahu tentang pemikat sang siluman, penguasa Gunung<br />Kendeng. Membuat siapa saja yang berani merambah wilayahnya di malam<br />hari akan tersesat di dalam hutan. Hanya berputar-putar saja di satu titik, lantas<br />tanpa disadarinya sudah masuk ke dalam perangkap sang siluman.<br />
Sudah delapan tahun berlalu kejadian mengenaskan itu tidak terjadi lagi<br />di lembah mereka. Dulu, waktu Laisa masih kecil, ia dua kali melihat kejadian<br />serupa. Salah satu penduduk kampung yang tidak pulang-pulang hingga malam<br />hari, besoknya ditemukan sudah dengan tubuh tercabik-cabik. Orang dewasa di<br />kampung itu mengerti benar, kalau Ikamuri dan Wibisana sampai berani masuk<br />ke dalam hutan rimba, pencarian mereka malam ini akan berakhir sama—<br />Juga Wak Burhan. Siapa yang akan lupa lima belas tahun silam saat anak<br />tunggal Wak Burhan yang berumur dua puluh empat tahun ditemukan keesokan<br />paginya, hanyut di sungai deras dengan wajah berbilur cakaran. Yang membuat<br />Wak Burhan tinggal sendirian hingga hari ini, karena istrinya sudah kapan<br />tahun meninggal.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-43321620352734409922012-12-01T19:44:00.000-08:002012-12-01T19:44:00.121-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 14 PENGUASA GUNUNG KENDENG Bag 3Sekejap. Pencarian itu dimulai. Mamak Lainuri sudah sejak tadi hanya<br />terduduk di kursi bambu. Dipegangi oleh ibu-ibu lainnya. Mamak semaput.<br />Wajahnya pucat oleh perasaan gentar. Ya Allah, ia seperti bisa melihat kejadian<br />delapan tahun silam. Seperti tergambar jelas di depannya. Wak Burhan yang<br />waktu itu lebih muda, juga dengan cepat memberikan perintah. Orang-orang<br />yang membawa obor. Tombak. Golok. Pencarian hingga dinihari. Dan hasilnya?<br />Mamak Lainuri jatuh pingsan lagi.<br />
Laisa berusaha menyeka keringat di wajah Mamak.<br />Dalimunte yang terlalu kecil untuk ikut rombongan pencari duduk<br />tertunduk di dekatnya, gentar. Yashinta memeluk lutut. Bahkan ia masih terlalu<br />kecil untuk ingat banyak kejadian. Masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang<br />sedang terjadi.<br />"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja?" Laisa mengangguk<br />pelan ke arah Dalimunte.<br />Cahaya obor rombongan pencari yang bergerak terlihat mulai menjauh.<br />Ada yang menaiki lembah, ke desa atas. Menyeberangi ladang-ladang. Ke kiri.<br />Ke kanan. Kerlapkerlip. Meski nyaris separuh penduduk kampung mencari<br />Ikanuri dan Wibisana, balai kampung tetap ramai. Seluruh penduduk membawa<br />anggota keluarganya ke sini. Tidak ada yang ingin meninggalkan anak-anaknya<br />di rumah setelah mengerti maksud bunyi kentongan tadi. Mereka bermalam di<br />balai kampung bersama-sama. Di atas kursi-kursi bambu Saling bersitatap<br />ketakutan.<br />Laisa menggigit bibir. Mengusap wajahnya berkali-kali. Gelisah melihat<br />sekitar. Ia sungguh cemas. Ini pasti gara-gara ia tadi siang mengancam adikadiknya.<br />Ya Allah… Ini semua salahnya. Mereka pasti enggan pulang gara-gara<br />dibilang akan dihukum tidak boleh masuk rumah, harus tidur di bale bambu,<br />bawah rumah. Apakah ia harus menceritakan pertengkarannya ke Mamak?<br />Tidak. Itu tidak perlu, dan jelas tidak bisa dilakukannya. Tapi kalau terjadi<br />kenapa-napa dengan Ikanuri dan Wibisana? Ya Allah, semoga tidak. Semoga<br />mereka hanya bermalam di desa atas.<br />Gemerlap bintang di atas entah kenapa pelan mulai diselimuti gumpalan<br />awan hitam. Seperti menambah tinggi tingkat kecemasan. Hening. Mencekam.<br />Sudah pukul 22.00. Lembah itu mulai hening. Suara jangkrik berderik pelan<br />mereda. Uhu burung hantu. melemah. Suara uwa menghilang. Malam beranjak<br />matang. Satu jam berlalu.<br />Rombongan pencari satu per satu kembali. Melapor.<br />Hasilnya kosong—<br />Maka benar-benar tegang sudah balai kampung itu. "Hati-hati... Tetap<br />dalam rombongan, jangan ada satupun yang terpisah—" Wak Burhan berkata<br />dengan intonasi suara tegas tanpa kompromi. Kelompak lelaki dewasa yang<br />sudah terbagi menjadi dua rombongan tersebut, mengangguk "Saat pijar<br />matahari pagi terlihat di kejauhan, saat merah terlihat menyemburat<br />membungkus lembah, kita berkumpul lagi di sini.... Sebelum itu, cari sampai<br />dapat. Periksa seluruh semak belukar, jangan sampai ada yang tertinggal.<br />Pastikan kalian mengenali bercak darah...."Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-22127841381758172892012-11-30T19:44:00.000-08:002012-11-30T19:44:00.227-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 14 PENGUASA GUNUNG KENDENG Bag 2"Sejak kapan?" Wak Burhan menyemburkan sirihnya.<br />"Sejak tadi siang—"<br />"Ada yang tahu tadi siang anak itu kemana?" Wak Burhan menyambar<br />obor di depan pintunya, memotong kalimat Mamak.<br />"Ee, tadi siang, tadi siang mereka bermain-main di ladang—" Laisa<br />menjawab patah-patah. Serba salah. Ia tidak ingin menceritakan pertengkaran<br />itu. Tidak ingin orang tahu kalau Ikanuri mengatakan kalimat kasar itu.<br />"Dan belum pulang?" Wak Burhan memotong lagi. Cemas.<br />"Belum, Wak—"<br />"Sekarang sudah hampir setengah sembilan," Wak Burhan menyimak<br />gerakan bulan malam ketiga belas di atas sana,<br />"Ya Allah, Lainuri. Ini benar-benar mencemaskan." Mamak menelan<br />ludah, wajahnya mengeras, amat tegang.<br />"Apa yang harus kulakukan, Bang?" Wak Burhan bergumam. Seperti<br />membaca mantra sajalah. Berhitung dengan cepat. Lantas berseru cepat. "LAIS,<br />BUNYIKAN BEDUK DI SURAU! Panggil seluruh pemuda kampung, suruh<br />kumpul di balai, SEKARANG!" Wak Burhan menyemburkan ludah sirinya.<br />"Dan kau Lainuri, ikut denganku ke balai pertemuan!"<br />Ini serius. Serius sekali. Semua orang juga tahu, kampung mereka berada<br />di dekat hutan rimba. Di seberang cadas sungai, di hutan rimba sana, malammalam<br />begini ada sejuta mara bahaya mengintai. Pemuda dewasa saja berpikir<br />dua kali kalau harus mencari kumbang masuk jauh-jauh ke dalam sana. Mereka<br />biasanya hanya merambah dekat-dekat dengan cadas sungai. Itupun harus<br />berombongan.<br />Dua anak kecil?<br />Laisa tidak perlu diteriaki dua kali. Dengan tangan gemetar, ikut<br />merasakan ketegangan yang segera meninggi, langsung berlari menuruni anak<br />tangga. Semoga adik-adiknya tidak kenapa-napa. Semoga mereka hanya<br />bermain di desa atas, memutuskan untuk tidak mau pulang. Atau entah pergi ke<br />manalah. Semoga mereka... Ya Allah, kenangan masa lalu itu serentak<br />menyergapnya. Ya Allah! Wajah robek tak berbentuk. Tubuh tercabik-cabik<br />bersimbah darah. Laisa menggigil. Ketakutan. Kakinya yang berlari terasa berat<br />sekali.<br />Bangkai korban sang siluman memenuhi pelupuk matanya.<br />Hanya dalam waktu lima belas detik. Beduk masjid melenguh kencang.<br />Kentongan bambu telah di pukul ramai-ramai. Sahut-menyahut. Bertalu-talu.<br />Semua penduduk kampong keluar. Hilang sudah lelah tadi siang. Disingkirkan<br />jauh-jauh. Benar-benar rusuh. Mereka mengenali ramai bunyi kentongan itu.<br />Terakhir terdengar dipukul delapan tahun silam. Mereka berkumpul di balai<br />kampung. Membawa obor. Membawa golok. Membawa tombak. Apa saja<br />senjata yang bisa dibawa. Wajah-wajah cemas. Tegang. Balai kampung ramai<br />kembali.<br />Wak Burhan berdiri di tengah-tengah balai kampung, Kerlip cahaya obor<br />membasuh wajah tuanya. Umur Wak Burhan sudah berbilang tujuh puluh, tapi<br />dia masih gagah. Masih tegap sekali. Dalam situasi serius seperti ini, kedut<br />wajahnya terlihat amat mengesankan. Kumis melintang. Rahang kokoh. Mata<br />yang tajam. Makanya penduduk kampung amat segan padanya.<br />"Dua orang mencari ke desa atas. Dua orang mencari ke desa seberang.<br />Kau dan teman-temanmu ke Curug Cuak.... yang lain ikut aku...." Wak Burhan<br />membagi kelompok-kelompok dengan cepat.<br />"Satu jam dari sekarang, saat bulan berada persis di atas gunung<br />Kendeng, semua kembali ke sini... Jika Ikanuri dan Wibisana tidak ditemukan<br />juga, seluruh rombongan akan dipecah dua, kita harus menyusuri hutan rimba.<br />Kita harus melakukannya—"<br />Kepala-kepala mengangguk. Seruan-seruan kecil setuju.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-83222462436090027212012-11-30T19:43:00.000-08:002012-11-30T19:43:00.386-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 14 PENGUASA GUNUNG KENDENG Bag 1CELAKA. Benar-benar celaka. Kesibukan penduduk Lembah Lahambay hari<br />itu ternyata tidak berhenti saat senja tiba. Tapi benar-benar hingga malam hari,<br />24 jam.<br />Menjelang maghrib setelah dipotong istirahat shalat ashar, lima kincir air<br />itu sudah berderet rapi di dinding cadas sungai. Lubang-lubang pondasi sudah<br />dituangi cor semen. Belum terpasang. Meski pondasinya sudah siap, lima kincir<br />itu baru akan dipasang minggu depan, jadwal gotong-royong berikutnya.<br />Pondasinya dibiarkan dulu kering.<br />Wak Burhan, para orang tua, pemuda dewasa, menyeringai lega melihat<br />pekerjaan mereka. Lembah mulai remang, Wak Burhan menghentikan gotongroyong.<br />Cukup untuk ahad ini. Kesibukan di pinggir sungai itu memang<br />berhenti ketika mereka beramai-ramai beranjak pulang. Mandi. Berganti<br />pakaian. Siap menjemput malam, beristirahat.<br />Tetapi kesibukan lainnya mendadak menyusul. Lebih ramai dari sebelumsebelumnya.<br />Laisa setelah hampir setengah jam menangis di bawah pohon mangga<br />beranjak kembali ke pinggir sungai. Menyeka luruh sisa-sisa tangis. Berusaha<br />senormal mungkin saat bilang ke Mamak kalau Ikanuri dan Wibisana tidak mau<br />nurut. Mereka bermain-main di ladang, dan justru lari menghindar saat disuruh<br />pulang. Mamak mengomel, berjanji dalam hati akan menghukum dua sigung<br />itu nanti malam. Meneruskan pekerjaan memberesi peralatan masak. Senja<br />mulai turun, jingga membungkus lembah. Sementara Yashinta sejak tadi hanya<br />dudukduduk saja di pinggir sungai selepas asyik mengejar capung air bersama<br />teman-temannya.<br />Tetapi keliru. Laisa yang berpikir Ikanuri dan Wibisana setelah pergi<br />meninggalkan dirinya akan kembali ke rumah itu keliru. Juga Mamak yang<br />sudah berencana membuat aturan main baru di rumah saat mengomel nanti<br />malam. Keliru, Ikanuri dan Wibisana ternyata tidak pulang-pulang. Juga saat<br />mereka sudah bersiap-siap shalat berjamaah. Dua sigung itu tetap tidak<br />kelihatan batang hidungnya.<br />Lepas maghrib, saat orang-orang pulang dari surau, denting kecemasan<br />itu mulai tumbuh. Mamak Lainuri menatap cemas dari bingkai jendela depan<br />yang masih terbuka. Kemana pula dua anak nakalnya pergi?<br />Adzan isya. Lepas shalat isya. Lembah sempurna gelap. Dan sedikit pun<br />
tidak kelihatan tanda-tanda batang hidung Ikanuri dan Wibisana. Mamak<br />semakin cemas. Menatap siluet hutan rimba dengan nafas bergetar.<br />Pukul 19.30. Tegang sekali.<br />Pukul 20.00, Mamak Lainuri akhirnya menyererah.<br />Sejengkel apapun ia dengan Ikanuri dan Wibisana, dawai kecemasannya<br />sudah berdenting terlalu tinggi. Ia menyambar obor di depan pintu. Melangkah<br />cepat ke rumah Wak Burhan. Kak Laisa, yang meski hatinya masih bagai buah<br />tersayat-sayat sejak kejadian tadi sore ikut ke rumah Wak Burhan. Mamak<br />hendak melapor. Dua anaknya belum pulang.<br />"Belum pulang bagaimana, Lainuri?"<br />"Belum pulang, Bang! Ikanuri dan Wibisana belum pulang ke rumah!"<br />Mamak mengusap wajahnya, tegang, cemas.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-25575207789979678552012-11-29T19:41:00.000-08:002012-11-29T19:41:00.022-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 13 KAU BUKAN KAKAK KAMI Bag 5Melawan semakin berani. "LIHAT! Kulit kau hitam. Tidak seperti kami,<br />yang putih. Rambut kau gimbal, tidak seperti kami, lurus. Kau tidak seperti<br />kami, tidak seperti Dalimunte dan Yashinta. KAU BUKAN KAKAK KAMI.<br />Kau pendek! Pendek! Pendek!"<br />Kali ini kalimat Ikanuri benar-benar bak roket yang ditembakkan tiga kali<br />di lubang yang sama. Berdebum. Membuat lubang besar itu menganga lebarlebar,<br />hitam pekat. Laisa terperangah. Sesak. Nafasnya sesak seketika. Ya<br />Allah, apa yang barusan dikatakan adiknya. Apa ia sungguh tak salah dengar?<br />Laisa gemetar. Tangannya yang mencengkeram ranting bergetar, terlepas.<br />"Kenapa? Kenapa kau diam? Kau marah kami mengatakan itu, hah?" Ikanuri<br />tanpa rasa iba bertanya bengis.<br />Laisa menelan ludah.Matanyat iba-tiba berair. Ya Allah, aku mohon,<br />jangan pernah, jangan pernah buat aku menangis di depan adik-adikku. jangan<br />pernah! Itu akan membuat mereka kehilangan teladan. Laisa meremas pahanya<br />kencang-kencang. Berusaha mengalihkan rasa sakit di hati ke rasa sakit di<br />tubuhnya.<br />"Kami tidak akan lagi menurut... Kau bukan Kakak kami. Bukan! Bukan!<br />BUKAN!" Ikanuri berseru amat puas. Berkali-kali.<br />"Hentikan Ikanuri. Hentikan...." Laisa berseru, terbata.<br />"Kau bukan kakak kami!"<br />"Hentikan Ikanuri, atau kau kuadukan pada Mamak, dan kalian akan<br />dihukum tidak boleh masuk rumah selama seminggu," Laisa berkata dengan<br />suara bergetar. Menahan tangis.<br />"Kau jelek! Jelek! JELEK!"<br />"Hentikan Ikanuri—"<br />"Pendek! Pendek!"<br />"Hentikan, Ikanuri. Aku mohon — "<br />"Jelek! Jelek! Pendek! Pendek!" Ikanuri tertawa lepas. Lantas beranjak<br />melangkah dari bawah pohon mangga dengan seringai penuh kemenangan,<br />disusul oleh Wibisana (yang tertunduk dalam-dalam, sedikit merasa ganjil<br />dengan teriakan kasar Ikanuri).<br />Laisa sudah jatuh terduduk. Sempurna jatuh terduduk. Menatap punggung<br />adik-adiknya yang menghilang dari balik semak belukar.<br />Seekor jangkrik di batang pohon mangga berderik.<br />Pelan. Meningkahi isak tertahan.Gadis tanggung berumur enam belas<br />tahun itu mendekap wajahnya. Ia tak kuasa lagi menahan sedih di hati. Bukan<br />karena Ikanuri melawannya, karena toh selama ini Ikanuri selalu berani<br />melawan. Tapi karena itu benar! Ya Allah, apa yang dikatakan adiknya benar<br />sekali. Ia bukan siapa-siapa bagi mereka. Ia bukan Kakak mereka. Seluruh<br />penduduk lembah itu juga tahu. Ia bukan kakak mereka.<br />Senyap. Hanya tangis tertahan yang terdengar.<br />Senyap. Juga hanya tangis tertahan yang terdengar di sini.<br />Kereta ekspress Eurostar melesat membelah perbatasan Swiss-Perancis.<br />Kecepatan super tinggi. Maximum speed. Masinisnya berusaha membayar dua<br />jam waktu yang terbuang di pegunungan Alpen. Setelah untuk ketiga kalinya<br />
tebing itu longsor lagi saat dibersihkan, beberapa insinyur dari dewan terdekat<br />akhirnya tiba di lokasi dengan helikopter, mereka memberikan saran konstruksi<br />darurat untuk menahan laju longsoran berikutnya. Satu jam berlalu, sejak<br />dinding seadanya dipasang, kereta ekspress itu bisa kembali melesat menuju<br />Paris. Menjejak batangan baja relnya.<br />Hujan sejak lima belas menit lalu juga sudah berhenti.<br />Jalan kereta yang meliuk melangkahi pegunungan sudah lama digantikan<br />oleh hamparan tanah luas. Perkebunan anggur. Hamparan padang rumput.<br />Pohon cemara tinggi-tinggi sudah tertinggal di belakang, Sepuluh menit lagi<br />Eurostar akan tiba di perbatasan tanah bekas kekuasaan Kaisar Louis, Perancis.<br />Wibisana memutuskan tidur. Lelah. Membiarkan Ikanuri yang sejak kereta<br />berjalan lagi tadi tetap terjaga. Pukul 03.30 dini hari di sini. Di luar terlihat<br />gelap. Hanya sesekali cahaya lampu yang berasal dari rumah pedesaan kecil<br />pedalaman Swiss terlihat. Seperti kerlip kunang-kunang dari kejauhan. Indah.<br />Mengembalikan semua kenangan.<br />Wibisana menggeliat, merubah posisi tidurnya. Kabin itu luas. Lazimnya<br />diisi berempat, karena mereka hanya berdua, jadi nyaman tidur di kursi panjang<br />berhadapannya. Tapi Ikanuri tidak tidur, ia tidak bisa tidur sejak kereta jalan<br />lagi, ia justru sedang sibuk menyeka ujungujung matanya.<br />Ikanuri terisak pelan. Tertahan.<br />Menatap kosong keluar melewati jendela kereta.<br />Kunang-kunang—<br />Ya Allah, dia jahat sekali. Jahat! Dua puluh lima tahun silam. Seperempat<br />abad lalu. Kejadian itu tidak akan pernah terlupakan. Tidak akan. Wajah Kak<br />Laisa yang menangis saat itu. Wajah Kak Laisa yang seperti tak percaya<br />mendengar dia mengatakan kalimat-kalimat menusuk itu. Ikanuri tersedan.<br />Lihatlah, wajah Kak Laisa sekarang seperti mengukir sempurna di bayangan<br />jendela kereta. Wajahnya yang tersenyum, wajahnya yang selalu melindungi<br />mereka, adik-adiknya yang bebal. Semua pengorbanan itu. Semua....<br />Ikanuri tersungkur. Tergugu. Dia benar-benar tidak tahan lagi Menangis<br />terisak. Ya Allah, jika ada yang bertanya siapa yang paling penting dalam<br />hidupnya.... Jika ada yang bertanya: Siapa? Maka itu sungguh adalah Kak<br />Laisa.<br />**********Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-13499630148279758122012-11-29T19:40:00.000-08:002012-11-29T19:40:00.105-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 13 KAU BUKAN KAKAK KAMI Bag 4"Ya, Kak. Kita lagi menghitung jumlah buahnya. Ada berapa gitu—"<br />"DIAM!!"<br />"Err, bener Kak. Ada seratus sembilan puluh—"<br />"DIAM!! Kalian benar-benar tak tahu malu! Semua orang bekerja di<br />cadas sungai, kalian justru di sini. MENCURI MANGGA!"<br />Kak Laisa semakin galak, semakin dekat, tangannya cepat mematahkan<br />salah satu ujung dahan semak belukar.<br />Ikanuri dan Wibisana tahu persis apa yang akan terjadi. Mereka beringsut<br />mundur. Laisa semakin dekat. Tertahan, gerakan Ikanuri dan Wibisana tertahan<br />pohon mangga di belakangnya. Ujung dahan di tangan Laisa sudah terarah<br />sempurna ke dada mereka berdua.<br />"Katakan apa ini? Apa yang kau lihat?" Kak Laisa menunjuk dua-tiga<br />buah mangga hampir ranum yang tergeletak di ujung kaki mereka. Terjatuh dari<br />saku celana.<br />"Eee, aku tidak melihat apa-apa, ya kan Wibi?"<br />"Ya, ya, kami tidak melihat apa-apa. Memangnya ada apaan—" Kak<br />Laisa benar-benar jengkel.<br />"Berani sekali kalian mencurinya. BERANI SEKALI Tidak ada di<br />keluarga kita yang menjadi pencuri meski hidup kita susah, TIDAK ADA." Kak<br />Laisa berseru marah. Menusuk nusukkan ujung dahan itu ke dada Ikanuri.<br />Mereka berdua terdiam. Ikanuri meringis. Tidak sakit, hanya berpura-pura<br />saja. Dia sudah kebal dipukul Kak Laisa. "Apa yang kalian lakukan sepanjang<br />siang? Main-main di Curug Cuak? Lantas pulang mencuri mangga Wak Burhan<br />Tidak tahu malu. Apa yang akan dibilang Wak Burhan kalau dia tahu! APA<br />COBA!?"<br />Diam, Ikanuri dan Wibisana bungkam.<br />
"Kalian tidak pernah jera. Tidak pernah! Mau jadi apa kalian, hah? MAU<br />JADI APA??" Kak Laisa mendesis.<br />"Kalau Mamak tahu kalian mencuri lagi, kalian pasti dihukum tidak boleh<br />masuk rumah malam ini. Kalau Mama tahu...." Kak Laisa menelan ludah,<br />berusaha mengendalikan diri. Kalau Mamak tahu Ikanuri dan Wibisana ternyata<br />justru sedang mencuri saat orang lain sibuk bekerja? Itu benar-benar akan jadi<br />marah besar.<br />"Pulang. Kalian ikut denganku ke pinggir sungai, sekarang—" Laisa<br />melotot, menatap galak. Memberikan perintah. Ikanuri dan Wibisana tetap<br />bungkam seribu bahasa.<br />"AYO, PULANG!" Tusukan ujung dahan itu semakin kencang, Ikanuri<br />meringis, tapi dia tetap tidak beranjak berdiri.<br />"PULANG KATAKU! SEKARANG!!"<br />"TIDAK MAU!" Ikanuri entah apa yang sedang ada di kepalanya, tibatiba<br />berteriak tidak kalah kencangnya. Melawan. Menepis kasar ujung dahan di<br />dadanya.<br />"APA KAU BILANG? AYO, PULANG!"<br />"TIDAK MAU!" Ikanuri melotot.<br />Dua ekor burung pipit terbang rendah di bawah pohon mangga itu.<br />Mendesing menjauh mendengar keributan. "Kami tidak mau pulang. Tidak<br />mau. Kau bukan Kakak kami, kenapa pula kami harus menurut!" Ikanuri<br />mendesis tak kalah galak. Wajah anak berumur sepuluh tahun itu mengeras.<br />Kalimat itu benar-benar membungkam waktu. Selaksa senyap di bawah<br />pohon mangga. Seekor elang melenguh di atas sana, suaranya seperti dibatukan<br />udara. Terdiam. Laisa sempurna membeku.<br />"A-pa.... A-pa yang kau katakan?"<br />"Kau bukan Kakak kami! Kenapa pula kami harus nurut" Ikanuri<br />mengatakannya sekali lagi. Lebih lantang. Lebih kencang. Beranjak berdiri,<br />malah.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-84406103540517927762012-11-28T19:39:00.000-08:002012-11-28T19:39:00.526-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 13 KAU BUKAN KAKAK KAMI Bag 3Laisa menelan ludah. Matahari sudah tergelincir dari puncaknya. Sudah<br />
pukul tiga. Laisa dan penduduk kampung terlatih sekali membaca jam dari<br />gerakan matahari dan bayangan pepohonan. Di pinggir sungai, penduduk<br />kampung sudah sejak tadi meneruskan pekerjaan. Jangan-jangan dua sigung itu<br />sudah kembali ke pinggir sungai? Laisa mendesis jengkel. Baik, ia akan<br />kembali ke sana sambil menyelusuri jalan yang berbeda dari berangkatnya tadi.<br />Melewari kebun-kebun penduduk. Siapa tahu dua anak itu tiduran di pondok<br />rumbia lading padi mereka.<br />Angin lembah bertiup lembut, Laisa menghela nafas sedikit lega, itu<br />membantu banyak di tengah terik matahari awal musim kemarau. Kebun<br />penduduk terlihat menguning. Batang padi merekah oleh bilur-bilur buahnya<br />yang montok. Sebulan lagi mereka panen bersama. Penduduk kampung lembah<br />itu umumnya berladang. Jika sudah dua-tiga kali mereka menanam padi,<br />biasanya diganti dengan kopi atau lada. Atau diseling dengan jagung dan<br />sejenisnya. Apa saja yang hasilnya bisa dijual di kota kecamatan.<br />Setengah jam lagi berlalu. Ikanuri dan Wibisana tidak ada di pondok<br />rumbia lading mereka. Laisa mendengus sebal. Meneruskan langkah kaki.<br />Harapan satu-satunya, dua anak nakal itu sudah kembali ke pinggir sungai<br />setelah berpuas diri bermain. Saat itulah, saat Laisa mulai putus asa, tanpa<br />sengaja sudut matanya yang terlatih menangkap gerakan dedaunan pohon<br />mangga kebun Wak Burhan, di kejauhan lembah. Tidak lazim. Angin tidak akan<br />membuat cabangnya bergoyang sedemikian rupa. Dan tidak ada uwa atau<br />monyet yang sampai di sini, sungai dengan cadas lima meter itu bagai "tembok<br />besar" membuat kampong mereka seolah terpisah dari hutan rimba.<br />Laisa mendekat. Menyelidik. Menatap tajam pohon mangga yang sedang<br />ranumranumnya berbuah. Daunnya yang rimbun seperti dipenuhi benjol-benjol<br />buah yang besar-besar. Dahan pohon itu bergoyang-goyang lagi. Laisa<br />melangkah semakin cepat. Tinggal sepelemparan batu, tinggal lima belas meter,<br />akhirnya ia bisa melihat bayangan yang membuat pohon itu bergerak.<br />"Cepat, Ikanuri—" Berbisik tertahan.<br />"Sebentar." Suara itu ikut tertahan.<br />"Kak Laisa! Ada Kak Laisa! Cepat turun..."<br />"Sebentar, celanaku tersangkut—"<br />GEDEBUK!<br />Ikanuri yang bergegas turun dari pohon mangga malah terjatuh,<br />kehilangan keseimbang saat buru-buru, menimpa Wibisana yang sudah turun<br />duluan. Tidak tinggi benar, hanya satu meter, karena mereka sudah tiba di<br />dahan terendah. Tapi itu membuat pelarian mereka gagal total. Ikanuri yang<br />sibuk mengaduh selama lima detik, memberikan waktu yang cukup bagi Laisa<br />untuk mengenali siapa.<br />"IKANURI! WIBISANA!" Persis seperti radio yang tiba-tiba disetel<br />kencang-kencang. Laisa berseru galak. Berlari mendekat.<br />Ikanuri dan Wibisana tersedak. Menatap jerih Kak Laisa yang mendekat.<br />Berusaha menyembunyikan bukti kejahatan<br />"APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?"<br />"Ergh, ee, kita sedang memeriksa pohon mangga Wak Burhan, benar<br />begitu kan, Wibi?—" Ikanuri menjawab cepat, khas Ikanuri, seadanya bin<br />ngarang, dengan wajah sama sekali merasa tidak berdosa. Wibisana tidak kalah<br />begonya ikut mengangguk,Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-58521591559321196422012-11-28T19:38:00.000-08:002012-11-28T19:38:00.567-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 13 KAU BUKAN KAKAK KAMI Bag 2"Apa perlu Lais cari, Mak?"<br />Mamak Lainuri berpikir cepat, "Nanti. Lepas dzuhur kalau tidak kelihatan<br />juga ekornya, kau cari mereka. Dasar tak tahu malu. Tidak pernah ada di<br />keluarga kita yang berpangku tangan saat orang lain sibuk bekerja—" Mamak<br />mengomel tertahan. "Jangan-jangan mereka ikut starwagoon ke kota lagi,<br />Mak!"<br />Muka Mamak mendadak memerah. Sebal. Kemungkinan itu benar-benar<br />membuat Mamak marah. Apa tidak kapok juga keduanya setelah diomelin<br />minggu lalu. "Ee, atau hanya pulang sebentar ke rumah disuruh Dali ambil<br />sesuatu—" Laisa menelan ludah. Menyesal kemungkinan soal starwagoon itu.<br />Mencoba membuat Mamak lebih nyaman. Percuma. Kalimat itu keliru, kalau<br />dengan Laisa saja mereka berdua enggan menurut, apalagi dengan Dalimunte.<br />Mana mau mereka disuruh-suruh begitu. Dan jelas Laisa keliru kalau<br />membayangkan urusan kali ini sesederhana itu.<br />Menjelang dzuhur, dua kincir air selesai. Dengan pasak besi, bebatan<br />batang rotan, kincir bambu itu terlihat kokoh. Disandarkan di dinding cadas<br />sungai. Dalimunte tersenyum senang, juga yang lain. Sejauh ini rancangan<br />Dalimunte hanya keliru satu hal, jumlah potongan bambu yang dibutuhkan.<br />Beberapa lelaki dewasa terpaksa masuk lagi ke hutan, mengambil belasan<br />bambu berikutnya.<br />"Mak, Ikanuri dan Wibisana belum kelihatan juga—" Laisa berbisik ke<br />Mamak.<br />Muka Mamak yang sedang membawa piring-piring plastik kentara sekali<br />jengkel. Sementara penduduk kampung berkumpul di pinggir sungai, duduk<br />membuat kelompok-kelompok di atas bebatuan. Wak Burhan menyuruh mereka<br />makan siang. Istirahat hingga satu jam ke depan. Beberapa selepas makan<br />beranjak ke surau. Shalat dzhuhur.<br />"Kau cari sekarang, Lais. Bila perlu seret saja dua sigung bebal itu<br />kemari—" Mamak menahan marah. Bagaimana pula ia tak marah, tadi salah<br />satu tetangga sebelah rumah sempat bertanya di mana Ikanuri dan Wibisana.<br />Pertanyaan itu tidak serius, hanya bertanya apa kedua anak itu sakit? Pulang?<br />Tidak enak badan? Mamak hanya tersenyum tipis, mengangguk. Bagi Mamak<br />urusan ini sensitif sekali.<br />Laisa tidak perlu diperintah dua kali, segera bergegas meletakkan ceret air<br />yang digunakannya untuk mengisi gelas-gelas. Melepas kain celemek butut.<br />Lantas beranjak menyeberangi sungai. Ia sama sekali tidak punya ide di mana<br />Ikanuri dan Wibisana berada. Meski begitu, tempat yang pertama kali harus<br />diperiksa adalah rumah. Siapa tahu mereka berdua sedang tidur mendengkur di<br />bale bambu.<br />Tidak ada. Laisa tidak menemukan Ikanuri dan Wibisana saat tiba di<br />rumah sepuluh menit kemudian. Mungkin mereka bermain-main di desa atas.<br />Laisa menyeka keringat di leher. Matahari siang, terik membakar lembah. Dari<br />surau, Wak Burhan mengumandangkan adzan. Baiklah. Mamak menyuruhnya<br />mencari. Itu artinya cari sampai dapat. Tidak ada kata kembali ke pinggir<br />sungai itu tanpa Ikanuri dan Wibisana. Maka tubuh gemuk dan gempal Laisa<br />beranjak menuruni anak tangga rumah panggung.<br />Percuma. Satu jam berlalu. Ikanuri dan Wibisana tidak ada di desa atas.<br />Starwagoon tua itu juga terparkir rapi di halaman rumah pemiliknya. Laisa<br />menyeka keringat yang mengucur semakin deras, satu kilo berjalan, sia-sia.<br />Memutuskan untuk memeriksa tempat kedua anak itu suka bermain-main.<br />Tidak ada. Mereka tidak ada di Curug Cuak (air terjun). Tidak ada juga di<br />jembatan gantung desa satunya lagi. Tidak ada di tempat biasa mereka mancing.<br />Tidak ada.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-76571453495865730972012-11-27T19:37:00.000-08:002012-11-27T19:37:00.097-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 13 KAU BUKAN KAKAK KAMI Bag 1OMELAN MAMAK LAINURI malam itu hanya mempan seminggu. Ikanuri<br />dan Wibisana memang rajin sekolah, sok rajin belajar, shalat di surau, lancar<br />ngajinya, tidak banyak bertingkah, patuh dengan Kak Laisa selama seminggu<br />terakhir. Namun lepas satu pekan, tabiat lama mereka kembali lagi. Lebih parah<br />malah.<br />Ahad berikutnya, seperti kesepakatan pekan lalu, penduduk kampung<br />bergotong-royong membuat lima kincir air di pinggir cadas sungai.<br />Melaksanakan ide Dalimunte.<br />Lelaki dewasa, mulai dari orang tua hingga pemuda tanggung, setengah<br />hari menghabiskan waktu di hutan, menebang belasan batang bambu besarbesar,<br />setidaknya tak kurang satu jengkal diameternya. Setengah hari lagi<br />dihabiskan untuk memotong-motong, mengikatnya dengan tali rotan,<br />memakunya dengan pasak besi. Wak Burhan dua hari lalu juga memutuskan<br />menggunakan uang kas warga kampung, membelinya di kota kecamatan,<br />beserta semen dan keperluan pondasi lainnya.<br />Sementara ibu-ibu dan gadis tanggung membantu meyiapkan kue-kue<br />kecil macam serabi, putri salju, juga teh panas. Beserta pula makan siang.<br />Meski seadanya, hanya dengan sayur terong dan sambal terasi, tapi setelah lelah<br />bergotong-royong seperti ini, makan sepiring nasi yang masih mengepul terasa<br />nikmat nian walau tanpa lauk. Apalagi mereka mengerjakan kincir air itu<br />langsung di pinggir sungai bawah cadas. Asyik benar duduk di atas bebatuan<br />sambil menyantap makan siang.<br />Jika sudah sampai sejauh ini, maka tak ada lagi yang sibuk bertanya apa<br />semuanya akan berhasil. Apa salahnya mencoba (lagi). Maka sesiang itu,<br />Dalimunte sibuk membentangkan kertas-kertas miliknya, sibuk menjelaskan<br />bagan konstruksi yang telah dibuatnya. Sebenarnya ganjil sekali melihatnya,<br />lihatlah, tubuh kecil Dalimunte terselip di antara belasan lelaki dewasa lainnya.<br />Wajah-wajah yang mengangguk-angguk mendengarkan penjelasannya, tidak<br />banyak bicara.<br />Ahad ini seluruh penduduk kampung 30-40 atap rumah itu berkumpul di<br />pinggir sungai. Semua bekerja, membantu. Tak terkecuali Yashinta, ia<br />membantu mengangkut bebatuan dengan keranjang rotan, bakal pondasi kincir.<br />Anak-anak kecil lainnya juga sibuk mengumpulkan pasir. Yang sedikit besaran,<br />terampil melubangi ruas bambu. Membuat 'pipapipa'. Jika pun tidak ikut<br />
bekerja, anak-anak kecil lainnya sibuk 'menonton' di pinggir sungai sambil<br />bermain-main. Membuat sekitar ramai oleh teriakan (juga tangisan setelah satu<br />sama lain bertengkar).<br />"Lais, kau lihat Ikanuri dan Wibisana?" Mamak bertanya pelan.<br />"Ee.. bukannya tadi ada di sana, Mak?" Laisa menoleh, menyeka dahinya,<br />melepas gagang pelepah nyiur, uap mengepul dari dandang besar penanak nasi,<br />menunjuk kelompok anak lelaki tanggung yang asyik membuat pipa-pipa.<br />"Tidak ada, Lais"<br />"Ee, tadi ada di sana, Mak...."<br />"Benar-benar sigung bebal! Kemana pula mereka pergi ketika semua<br />sedang sibuk bekerja. Bikin malu keluarga saja!" Mamak Lainuri mendesis<br />sebal. Memperbaiki bebat kain di kepala.<br />Laisa menelan ludah. Mengangguk dalam hati. Kemana pula Ikanuri dan<br />Wibisana sekarang. Lihatlah, semua penduduk kampung berkumpul di sini,<br />bergotong-royong, dan mereka berdua entah kabur kemana. Menatap sekitar.<br />Berkeliling. Tidak ada. Di dekat cadas Yashinta sedang tertawa bersama teman<br />sepantarannya, ada satu yang terpeleset di air saat membawa keranjang pasir,<br />basah kuyup. Di sisi lain, Dalimunte masih sibuk menunjuknunjuk kincir air<br />yang mulai berbentuk. Tidak ada Ikanuri dan Wibisana. Juga tidak ada di antara<br />anak-anak lainnya.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-8144270490826331152012-11-27T19:36:00.000-08:002012-11-27T19:36:00.870-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 12 BAGI MEREKA URUSAN INI SEDERHANA Bag 2Empat jam setelah Dalimunte dan keluarganya mendarat di bandara kota<br />provinsi, giliran Jasmine, istri Ikanuri, Wulan, istri Wibisana, beserta anak-anak<br />mereka, Juwita dan Delima tiba di sana. Repot sekali Juwita dan Delima<br />mendorong sepeda BMX mereka keluar dari lobi kedatangan bandara.<br />Tadi meski Ummi mereka berdua memaksa buruan, kedua anak nakal<br />usia enam tahun itu justru kompak memaksa membawa sepeda BMX spesialis<br />trek gunung masing-masing, "NGGAK MAU! Juwita harus bawa sepeda! Kan,<br />asyik buat keliling kebun strawberry bareng Eyang Lainuri dan Wawak Laisa!"<br />Karena rumah mereka berseberangan halaman, maka jika yang satu membawa<br />sepeda, otomatis yang lainnya juga ikutan bawa. Tidak mau kalah.<br />Juwita dan Delima memutuskan untuk tidak banyak berdebat lagi.<br />Membiarkan saja putrid-putri tunggal mereka membawanya. Jadi terlihat<br />sedikit mencolok saat dua anak perempuan berumur enam tahun itu mendorong<br />sepedanya dari counter pengambilan bagasi bandara.<br />"Mi, Kak Intan sudah sampai, belum?" Delima bertanya,<br />"Masih di perjalanan, di mobil jemputan perkebunan—" Wulan, Ummi<br />Delima memasukkan telepon genggamnya ke tas tangan. Barusan menelepon<br />Cie Hui, Ummi Intan.<br />"Eh, Mi, Kak Intan bawa sepeda juga, nggak?" Juwita yang bertanya ke<br />Umminya.<br />"Tidak tahu, sayang. Yang Ummi tahu Kak Intan pasti bawa gelang 'Safe<br />The Planet'-nya" Jasmine, Ummi Juwita tertawa kecil. Membantu memotong<br />tali rafia. Perkebun strawberry mengirimkan jemputan kijang kapsul, jadi dua<br />sepeda itu terpaksa diikat diatas mobil.<br />Dua gadis kecil itu menyeringai, bersitatap satu sama lain, idih, pasti Kak<br />Intan maksa-maksa lagi makai gelang itu. Perasaan baru dua minggu lalu<br />mereka dikirimi satu kotak. Disuruh-suruh jual ke teman-teman di sekolah.<br />Ditanyain tiap hari lewat telepon dan email. Orang mereka berharapnya kak<br />Intan juga bawa sepeda, kan asyik bisa bertiga keliling kebun strawberry bareng<br />Eyang atau Wawak. Siapa pula yang mau dipaksa-paksa pakai gelang karet<br />norak itu.<br />"Mi, Tante Yashinta sudah di mana?"<br />"Nggak tahu, sayang—"<br />"Tante Yashinta juga pulang, kan?"<br />"Nggak tahu. Harusnya iya—"<br />"Abi kapan tibanya dari Itali, Mi?"<br />"Ummi nggak tahu, Delima. Keretanya masih terjebak badai—"<br />"Eh, Wak Laisa emang sakitnya apaan sih, Mi?"<br />"Nggak tahu, Delima—" Ummi melotot, ia sibuk membantu sopir<br />mengikat sepeda, Delima justru sibuk bertanya.<br />"Terus yang Ummi tahu apaan, dong? Payah nih!" Delima nyengir,<br />sedikitpun merasa tidak berdosa dengan celetukannya.<br />Imbalannya lengan Delima dicubit. Meringis. Dua gadis kecil itu benarbenar<br />menyerupai Ikanuri dan Wibisana waktu kecil. Bedanya, mereka lebih<br />jago bicaranya, ngeles. Terlatih. Lah, mereka belajar dari guru terbaiknya: Abi<br />
nya yang sering kasih contoh di rumah.<br />Setengah jam berlalu, mobil kedua melesat menuju perkampungan<br />Lembah Lahambay. Melewati hampir tiga ratus kilo perjalanan. Kota-kota<br />kabupaten. Kota-kota kecamatan. Pedesaan. Hutan-hutan lebat. Semak-belukar.<br />Pohon bambu. Perkebunan kelapa sawit. Perkebunan karet. Padang rumput<br />meranggas. Naik turun lembah. Melingkari bukit barisan. Sungai-sungai yang<br />meliuk. Persawahan. Menyaksikan monyet yang berani bergelantungan di tepitepi<br />hutan. Satu-dua babi liar yang nekad menyeberangi jalan aspal.<br />Itu semua sebenarnya pemandangan yang menarik, sayang tidak untuk<br />situasi saat ini. Juwita dan Delima pun sejak separuh perjalanan akhirnya lebih<br />banyak tertidur. Lelah bertengkar di atas mobil. Bertengkar soal siapa yang<br />akan duduk di tengah-tengah Eyang dan Wawak Laisa pas makan malam,<br />padahal percuma juga mereka rebutan sekarang, toh Kak Intan biasanya ngusir<br />mereka dari kursi strategis itu.<br />Juwita dan Delima tertidur dengan wajah polos. Saling memegangi jidat.<br />Bagi mereka, urusan ini sederhana.<br />**********Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-71725240869915062732012-11-26T19:32:00.000-08:002012-11-26T19:32:00.454-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 12 BAGI MEREKA URUSAN INI SEDERHANA Bag 1"DALIMUNTE sudah di mana?"<br />"Sudah naik mobil jemputan perkebunan strawberry, bersama Kak Cie<br />Hui dan Intan." Ikanuri memasukkan telepon genggam ke saku. Merapatkan<br />jaket hujan yang dikenakan.<br />Kereta ekspres itu berhenti persis di tengah hutan.<br />Di depan Sana belasan lampu sorot berkekuatan ribuan watt menerangi<br />lokasi longsoran tebing. Hanya butuh setengah jam sejak longsoran itu terjadi,<br />tim tanggap darurat kepolisian dan pasukan militer Swiss dari kota terdekat tiba<br />di lokasi. Membawa alat-alat berat untuk membersihkan tanah liat yang<br />menumpuk sepanjang lima belas meter. Mereka terbilang taktis dan gesit. Ada<br />sekitar dua peleton pasukan di sana. Tapi hujan yang turun semakin deras,<br />membuat pekerjaan semakin sulit. Apalagi, baru saja bersih lima meter, tebing<br />itu longsor lagi. Lebih banyak.<br />"Signori, siete pregati di rientrare nelle carrozze, per favore? Senior,<br />sebaiknya kalian segera masuk kembali ke gerbong, please?" Gadis berambut<br />pirang, petugas berseragam yang melayani penumpang kabin kereta (macam<br />pramugari di pesawat terbang) berteriak dari pintu gerbong dengan toa. Ikanuri<br />menoleh, mendesis sebal.<br />"epiu confortevole dentro— " Gadis itu membujuk lagi.<br />"Sebentar Lagi—" Ikanuri yang bete sejak tadi, menjawab mengkal<br />seruan itu (dengan bahasa Indonesia pula). Gadis itu mengernyit, tidak<br />mengerti.<br />Mereka baru tiga jam dari Roma. Kereta beranjak melintasi perbatasan<br />Swiss. Tidak bisa tidur, meski kabin itu amat lega dan nyaman. Saat sedang<br />berusaha menelepon Yashinta, Mamak Lainuri, dan Dalimunte kereta tiba-tiba<br />berhenti. Aneh. Kereta itu kereta express, mana boleh berhenti sembarangan<br />macam kereta di Indonesia. Ada apa? Ikanuri dan Wibisana beranjak keluar dari<br />kabin. Segera mencari tahu. Dan segera pula menyumpah-nyumpah (Ikanuri)<br />saat tahu masalahnya.<br />Karena sebal, Ikanuri dan Wibisana memutuskan turun dari kereta, ingin<br />melihat langsung pekerjaan pembersihan rel. Masinis berbaik hati meminjami<br />dua jaket hujan besar. Malam ini, kereta hanya berpenumpang tujuh orang.<br />Penumpang yang lain sibuk tidur di kabin masing-masing. Tidak peduli. Siapa<br />pula yang mau hujan-hujanan di luar dengan suhu nyaris nol derajat celcius.<br />
Masinis itu malah santai menonton siaran live sepak bola Juventus-Manchester<br />United dari teve mungilnya. Kejadian ini berkah baginya, dia jelas tidak boleh<br />menonton saat menjalankan kereta.<br />"Kau sudah telepon Yashinta lagi? Tersambung?" Wibisana mengangguk,<br />sudah. Terus menggeleng, tidak tersambung.<br />"Kenapa pula di situasi sepenting ini HP anak itu dimatikan?" Ikanuri<br />mendengus jengkel. Menatap putus asa puluhan petugas kepolisian dan<br />pasukan militer yang seliweran membersihkan rel kereta. Lihatlah, dinding<br />tebing itu longsor lagi setelah mereka berhasil memindahkan separuh tumpukan<br />lumpur di atas rel.<br />Bisa tidak sih mereka berpikir jenius seperti Dalimunte! sepuluh persen<br />saja dari otak hebat Dalimunte. Dinding tebing itu harusnya di tahan dulu.<br />Diberikan konstruksi penahan, atau entahlah yang penting bisa mencegah<br />longsoran baru. Baru dibersihkan rel keretanya. Kalau begini urusannya, masih<br />butuh berjam-jam lagi kereta ini bergerak. Bah! Percuma juga mereka taktis<br />dan gesit kalau melakukannya dengan bodoh.<br />"Juwita dan Sekar sudah tiba di mana?" Ikanuri bertanya.<br />"Lima menit lalu mereka bilang sudah di bandara, menunggu jadwal<br />penerbangan dua jam lagi." Wibisana menjawab.<br />"Semoga kita bukan yang terakhir tiba."<br />"Tentu tidak, Ikanuri—"<br />"Semoga kita tidak datang terlambat." Ikanuri mengeluh sekali lagi. Itu<br />benar-benar keluhan tertahan. Wibisana menepuk-nepuk bahu Ikanuri.<br />Tersenyum. Berbisik,<br />"Tidak akan terjadi apa-apa, Ikanuri. Kita akan tiba tepat waktu.<br />Berdoalah, Kak Laisa akan baik-baik saja...." Hujan turun semakin deras. Badai<br />semakin kencang.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-65850524545995139682012-11-26T19:31:00.000-08:002012-11-26T19:31:00.297-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 11 LIMA KINCIR ANGIN bag 3"Tidak ada salahnya, bukan?" Laisa menatap sekitar.<br />"Sampai kapan kita harus mengalah atas cadas lima meter itu! Sampai<br />kapan?" Penduduk justru saling bersitatap.<br />"Baik. Sekarang siapa yang setuju dengan usul Dalimunte?" Kak Laisa<br />berseru dari tengah-tengah balai kampung, menghentikan dengung lebah untuk<br />kedua kalinya. Menatap tajam.<br />Muka-muka masih saling bersitatap satu-sama-lain. Sedetik. Dua detik.<br />Dalimunte menggigit bibir. Sia-sia. Urusan ini tidak selancar yang<br />dibayangkannya. Ide lima kincir air itu percuma. Lihatlah, tidak ada yang<br />hendak mengacungkan tengan, meski Kak Laisa terlihat amat yakin dengan<br />idenya.<br />"Siapa yang setuju dengan usul Dalimunte?" Kak Laisa bertanya tegas.<br />Sekali lagi.<br />Tiga puluh detik berlalu. Tetap lengang.<br />Yashinta yang pertama kali mengangkat tangannya, takut-takut (entah ia<br />mengerti atau tidak urusan itu). Muka gadis kecil enam tahun itu menyeringai<br />menggemaskan seperti biasa. Orang-orang menoleh. Wak Burhan menyusul,<br />ikut megangkat tangan dengan mantap, sambil tersenyum ke arah Yashinta.<br />Lantas Mamak Lainuri, Ikanuri, Wibisana, terus ibu-ibu kampung lainnya,<br />hingga orang tua, dan akhirnya pemuda-pemuda itu.<br />Kak Laisa tertawa lebar. Menyikut bahu Dalimunte yang berdiri di<br />
sampingnya. Anggukan dan seruan 'kenapa tidak' sekarang ramai keluar dari<br />mulut penduduk. Mereka akan mencobanya. Sekali lagi! Tertawa lebar dengan<br />ide lima kincir air itu.<br />Dalimunte mengigit bibir. Menghela nafas, lega.<br />Hari itulah saat Dalimunte menyadari sesuatu. Memang dia yang<br />memulai ide lima kincir air tersebut, tapi semua orang tahu, karena Kak Laisalah<br />ide itu akhirnya dikerjakan. Hari itulah, Dalimunte belajar satu hal:<br />bagaimana bicara yang baik di hadapan orang banyak. Belajar langsung dari<br />Kak Laisa yang entah bagaimana caranya menguasai benar hal tersebut. Begitu<br />yakin. Begitu tenang.<br />Dalimunte mungkin tidak akan pernah tahu. Tidak pernah! Kak Laisa<br />sama gugupnya seperti dia, sama gentarnya bicara di tengah-tengah balai<br />kampung itu. Tetapi Kak Laisa tidak akan pernah membiarkan adik-adiknya<br />kecewa. Tidak akan pernah membiarkan adiknya merasa malu. Jika harus ada<br />yang kecewa dan malu, itu adalah ia. Bukan adik-adiknya. Bagi Laisa, sejak<br />babak pergi, hidupnya amat sederhana. Adik-adiknya berhak atas masa depan<br />yang lebih baik dibandingkan dirinya. Lagipula Laisa akhirnya mengerti<br />kenapa Dalimunte bolos sekolah kemarin. Maka demi rasa sesal telah memukul<br />lengan Dalimunte, keberanian itu muncul begitu saja. Memberikan energi yang<br />luar biasa. Begitu yakin. Begitu tenang. Dan tidak hanya hari itu Laisa<br />melakukannya. Sungguh tidak. Ia melakukannya berkali-kali sepanjang<br />umurnya. Demi keempat adik-adiknya.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-68923910482948856322012-11-25T19:30:00.000-08:002012-11-25T19:30:00.759-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 11 LIMA KINCIR ANGIN bag 2Mata-mata serempak memandang ingin tahu. Dalimunte seketika terdiam.<br />Dia tidak tahu itu. Mana sempat lihatnya, keburu disuruh pulang Kak Laisa.<br />Jangan-jangan kincirnya malah roboh duluan tidak cukup kokoh dihantam arus<br />deras sungai. Dalimunte mulai ragu dengan idenya. Menatap sekitar mencari<br />dukungan. Wak Burhan hanya diam. Seruan-seruan semakin ramai terdengar.<br />Dalimunte menelan ludah. Tertunduk. Sia-sia. Idenya akan mubazir.<br />Tidak ada yang menanggapinya serius. Persis seperti selama ini, penduduk<br />kampung seolah sudah pasrah dengan takdir cadas lima meter itu. Mereka toh<br />dulu sudah berkali-kali membuat kincir air raksasa, dan tidak ada hasilnya.<br />Dalimunte perlahan mengumpulkan kertas-kertas, tertunduk, menelan ludah.<br />"Tentu saja kincir-kincir itu bekerja!"<br />Seseorang tiba-tiba berseru. Berseru dengan suara lantang sekali.<br />Membuat dengung lebah terdiam. Seketika.<br />Dalimunte menoleh. Gerakan tangannya terhenti. Dia kenal sekali<br />intonasi suara itu.<br />Kak Laisa! Kak Laisa sudah berdiri dari duduknya. "Kita bisa<br />melakukannya. Apa susahnya membuat kincir-kincir itu. Jika Dalimunte bisa<br />membuat dua dengan bambu seadanya, kita bisa membuatnya yang lebih bagus,<br />lebih kokoh." Kak Laisa berseru, melangkah ke depan.<br />Mata-mata sekarang memandang Kak Laisa. Gadis tanggung berumur<br />enam belas tahun itu dengan berani justru 'galak' membalas tatapan penduduk<br />lainnya yang jelas-jelas lebih tua dan lebih besar darinya. Kak Laisa terlihat<br />begitu yakin dengan setiap kalimatnya. Sama sekali tidak terlihat gugup.<br />"Itu akan membuang-buang tenaga, Lais— " Pemuda yang tadi<br />menyahut, berusaha menurunkan intonasi suaranya.<br />"Tidak ada yang akan membuang-buang tenaga, Tidak ada, Jogar—" Kak<br />Laisa menukas cepat. Lebih galak.<br />"Siapa yang akan memastikannya akan berhasil, Lais? Kita dulu pernah<br />membuat kincir besar itu. Dan percuma saja, terlalu besar, air sungai tidak<br />cukup kuat untuk memutarnya, cadas itu terlalu tinggi!" Salah satu orang tua<br />memotong. Berusaha menjelaskan.<br />"Kalian tidak mendengarkan dengan baik kalau begitu. LIMA KINCIR<br />AIR. Dalimunte bilang lima kincir air! Bukan kincir raksasa—"<br />"Apa bedanya? Siapa yang akan menjamin itu berhasil?"<br />"Tidak ada. Tidak ada yang menjamin itu akan berhasil. Benar! Itu akan<br />membuang-buang tenaga jika gagal! Tapi jika berhasil? Kita sudah bertahuntahun<br />hanya menggantungkan nasib ladang kita, hidup kita, kampung kita, dari<br />kebaikan hujan. Sudah saatnya kita membuat irigasi sendiri untuk ladangladang<br />itu. Berpuluh-puluh tahun sejak kincir raksasa itu gagal dibuat tidak ada<br />lagi yang memikirkan bagaimana caranya mengangkat air sungai dari bawah<br />cadas. Tidak ada salahnya mencoba kincir-kincir air itu. Lima kincir bertingkat.<br />Itu masuk akal. Semasuk akalnya seperti kita berharap benih di ladang tumbuh<br />saat musim penghujan! —" Kak Laisa berkata lantang dan cepat. Amat<br />meyakinkan.<br />Seruan-seruan terdengar lagi dibalai kampung. Lebih ramai dibanding<br />saat membicarakan perambah hutan tadi. Seruan-seruan ragu-ragu, seruanseruan<br />sangsi, meski sekarang anggukan-anggukan kecil mulai bermunculan.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-41341303791116497002012-11-25T19:29:00.000-08:002012-11-25T19:29:00.438-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 11 LIMA KINCIR ANGIN bag 1"MAKSUDMU, kita bisa mengangkat air sungai itu dengan kincir-kincir itu,<br />Dali?" Salah seorang pemuda bertanya, memecah lengang setelah Dalimunte<br />selesai menunjukkan gambar-gambarnya.<br />Dalimunte mengangguk mantap.<br />"Lantas membuatnya mengairi ladang-ladang kita?" Bertanya lagi.<br />Sedikit terpesona, lebih banyak sangsinya.<br />Dalimunte mengangguk sekali lagi. Bahkan kincir-kincir itu bisa sekalian<br />digunakan sebagai pembangkit listrik. "Itu lima meter tingginya, Dalimunte!<br />Sebesar apa kincir yang harus kita buat agar bisa mengangkat air dari sungai<br />bawah cadas? Kau harusnya tahu itu." Pemuda itu berseru sedikit putus-asa.<br />"Tidak besar. Tidak besar!" Dalimunte menjawab cepat. Setelah lima menit<br />menjelaskan kertas-kertasnya dengan terbata-bata, meski masih gugup, dia jauh<br />lebih tenang sekarang, "Tapi kita akan membuat lima kincir air, membuatnya<br />bertingkat! Tidak besar!"<br />"Mustahil! Itu tidak mudah dilakukan—" Pemuda yang lainnya<br />menimpali, memotong, "Bagaimana kau akan memastikan kincir-kincir itu bisa<br />bergerak bersamaan? Menyusunnya agar bisa sesuai satu sama lain?<br />Memasangnya di cadas batu?"<br />"Ergh, dengan, dengan disusun secara tepat...."<br />"Secara tepat? Bah, secara tepat menurutmu itu apa. Kau tahu tidak ada<br />yang sekolah hingga kelas enam di sini selain kau...."<br />Tertawa, beberapa penduduk menyeringai.<br />"Lantas bagaimana pula kau akan memastikan air itu bisa dialirkan sejauh<br />satu kilometer ke ladang-ladang kita?" Yang lain berseru. Bertanya.<br />"Dengan pipa-pipa—"<br />"Pipa-pipa? Itu pasti mahal membuatnya, Dalimunte! Belum lagi kayukayu.<br />Pasak besi, Rel pemutar! Mana cukup uang kas kampung...." Mengeluh.<br />"Tidak! Tidak mahal, hanya dengan pipa bambu—"<br />"Bambu? Omong-kosong! Kincir air itu tidak akan cukup kuat. Babakbabak<br />kita dulu pernah membuatnya,"<br />Seruan-seruan sangsi terdengar. Balai kampung itu ramai kembali oleh<br />seruan-seruan.<br />"Ergh, aku sudah membuat dua kemarin.... Sudah ada di sungai bawah<br />cadas—"<br />
Dalimunte mencoba meningkahi keramaian setelah terdiam sebentar, dia<br />tidak menyangka akan ada banyak pertanyaan, seruan ragu-ragu semacam ini.<br />Sepanjang pagi tadi dia hanya memikirkan hanya bilang soat idenya. Sisanya<br />terserah Wak Burhan. Ternyata —<br />"Kau sudah buat dua? Lantas apa kincirnya bekerja?" Pemuda yang lain<br />mendesak. Ingin tahu.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-8794751735837777582012-11-24T19:27:00.000-08:002012-11-24T19:27:00.045-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 10 PERTEMUAN DI BALAI KAMPUNG 4Sinyal sambungan langsung internasional itu payah, putus-putus. Dengan<br />jeda waktu bicara lama pula. Jadi kalian bicara sekarang, baru tiga detik<br />kemudian terdengar di seberang sana. Juga sebaliknya.<br />"Kami persis di pegunungan Alpen, Swiss. Ya ampun, ini benar-benar<br />sialan semua urusan ini—<br />Ada longsor yang menimbun jalan kereta! SWISS. Kami di SWISS,<br />bukan ITALIA, PROFESOR. Hallo? Hallo? Tidak. Kami tidak berangkat dari<br />Roma. Sepakbola sialan ini membuat semua penerbangan dari kota-kota di<br />Italia penuh hingga dua hari ke depan. Terpaksa berangkat dari Paris. PARIS,<br />bukan SWISS—"<br />Suara gemuruh hujan terdengar dari latar suara Ikanuri.<br />"Tidak. Tidak. Kami akan terbang dari Paris, Dalimunte. Dengan<br />penerbangan besok pagi, jika semua tanah sialan ini berhasil dibersihkan. Di<br />sini sedang hujan deras. Ada tebing yang longsor. Tanahnya memenuhi jalanan<br />kereta. Apa? Sialan. SUARANYA PUTUS-PUTUS, DALIMUNTE! APA? Oo-<br />Juwita, Delima, dan Ummi mereka sudah dalam perjalanan ke sana. Seharusnya<br />dua-tiga jam lagi tiba di bandara. Kau sudah dijemput di bandara?" Ikanuri<br />entah untuk ke berapa kalinya memaki.<br />Sementara di sini, sambil menelepon, Dalimunte melangkah cepat menuju<br />lobi depan bandara. Mobil jemputan perkebunan strawberry sudah menunggu<br />sejak tiga jam lalu. Perjalanan Jakarta menuju ibukota provinsi ini hanya butuh<br />satu jam. Tujuh jam berikutnya dihabiskan dengan perjalanan darat menuju<br />Lembah Lahambay. Dulu itu menjadi perjalanan yang menantang. Terpaksa tiga<br />kali ganti kendaraan. Satu kali menumpang bus ke kota kabupaten. Satu kali<br />lagi menumpang angkutan pedesaan terbuka menuju kota kecamatan. Terakhir<br />naik starwagoon tua itu menuju perkampungan. Sekarang tidak lagi, sejak<br />perkebunan strawberry punya cabang pabrik pengalengan di kota provinsi,<br />akses ke sana jauh lebih mudah.<br />"Apa? Hallo? YASHINTA? Aku tidak tahu, Dalimunte!" Ikanuri<br />berteriak, suara hujan semakin deras,<br />"Aku sudah hampir sepuluh kali menghubungi telepon genggam satelit<br />Yashinta. Tidak ada sinyal. APA? HALLO? TIDAK TAHU! Aku tidak tahu!<br />Tentu saja ia baik-baik saja, Dalimunte—"<br />Kedua kakak-beradik itu (satu di Italia, satu di sini) mengernyit<br />berbarengan. Dalimunte melipat dahinya lebih lebal, terlihat amat cemas. Dia<br />juga sudah tiga kali mengontak HP Yashinta tadi. Sama. Sama sekali tidak ada<br />
sinyal. "Mematikan HP? Tidak mungkin ia sudah di pesawat, bukan? Apa? Oo<br />Terakhir aku ditelepon Yashinta tadi malam. Ia menginap di punggung lereng<br />Semeru. Apa? Tentu tidak, Dalimunte. Kenapa pula kau persis seperti Mamak,<br />mencemaskan hal-hal kecil. Anak itu dua kali lebih atletis dibandingkan Kak<br />Laisa, apalagi dibandingkan kau! DIA AKAN BAIKBAIK SAJA,<br />DALIMUNTE!" Pembicaraan itu terdiam sejenak. Kelu. Dalimunte menelan<br />ludah mendengar nama Kak Laisa disebut Ikanuri.<br />"Kau sudah menelepon Mamak di kampung?" Ikanuri setelah ikut<br />terdiam sebentar, bertanya. Dengan intonasi sedikit berbeda. Juga ikutan<br />merasa ganjil setelah menyebut nama Kak Laisa.<br />"Baik. Baik. Jika kau tiba tujuh jam lagi bilang Mamak, aku dan<br />Wibisana akan berusaha segera tiba di sana, Dalimunte. Ya ampun, apa yang<br />sering kubilang dulu? Kau seharusnya sudah menemukan alat agar kami bisa<br />pindah kemana saja dalam sekejap, Profesor. Bukan hanya mengurus soal bulan<br />yang terbelah, itu kan sudah jelas pasti benar, Mamak dulu jugasudah bilang itu<br />benar dalam cerita-ceritanya lepas Shubuh, tak perlu kau buktikan—" Ikanuri<br />mencoba bergurau, sebelum menutup sambungan internasional.<br />Lengang. Dalimunte mengusap wajahnya sekali lagi. Terdiam. Bukan<br />karena gurauan Ikanuri soal penelitiannya. Wibisana dan Ikanuri berdua<br />memang sejak kecil kompak sudah suka mengganggu 'penelitian-penelitiannya'.<br />Menyembunyikan alat-alatnya. Dalimunte terdiam karena memikirkan sesuatu.<br />Cemas.<br />"Abi, jadi naik nggak?" Intan berseru memanggil dari dalam mobil.<br />Putrinya sudah duduk rapi memeluk si belang. Sopir perkebunan strawberry<br />juga sejak dari tadi menunggu.<br />Dalimunte menghela nafas. Ya Allah, bertambah satu lagi hal<br />mencemaskan. Yashinta! Kemana pula adik bungsunya itu? Ganjil sekali HP<br />satelitnya tidak ada sinyal. Apa dia harus cek GPS (global positioning system)<br />agar tahu posisi Yashinta? Tapi kalau HP satelitnya saja mati, apalagi GPS-nya.<br />Itu satu paket dengan gagdet canggih Yashinta. Dalimunte setelah menghela<br />nafas untuk kesekian kalinya, beranjak menghempaskan pantat di jok mobil.<br />Mengangguk, memberikan kode jalan ke sopir.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-39336908678075694702012-11-24T19:26:00.000-08:002012-11-24T19:26:00.797-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 10 PERTEMUAN DI BALAI KAMPUNG 3Wak Burhan meletakkan palu bonggol kayunya. Tersenyum tipis. Itu<br />
janggal sekali, pertemuan tahunan itu meski diikuti oleh seluruh penduduk<br />kampung, hanya pria dewasalah yang bicara. Sisanya menonton.<br />"Ergh, eee, iya Wak...." Dalimunte menelan ludah, amat gugup dengan<br />tatapan penduduk lainnya.<br />"Baik. Apa yang ingin kau sampaikan, Dalimunte?"<br />Wak Burhan tersenyum lebih lebar, mengeluarkan sirih dari mulut. Dia<br />mengenal sekali anak Lainuri yang satu ini. Rajin shalat berjamaah di surau.<br />Masih anak-anak. Tapi siapa bilang dia masih anak ingusan umur dua belas<br />tahun. Sejak Babak mereka meninggal, anak-anak Lainuri tumbuh berbeda<br />dengan yang lain, tumbuh menjadi anak-anak yang bisa diandalkan.<br />"Ergh, sebentar—" Dalimunte dengan tangan sedikit bergetar membawa<br />kertas-kertasnya ke depan. Saking gugupnya, beberapa kertas berjatuhan.<br />Dalimunte patah-patah mengumpulkannya.<br />Mamak Lainuri masih mengernyitkan dahi. Kak Laisa menatap lebih<br />bingung. Buat apa kertas-kertas itu? Penduduk lain menunggu.<br />"Ee, maaf kalau, maaf kalau—" Dalimunte mengusap dahinya.<br />"Kau tidak perlu gugup begini, Dalimunte. Katakan sajalah. Kami akan<br />mendengarkan!" Wak Burhan mengangguk mantap padanya.<br />Dalimunte menelan ludah. Menatap Kak Laisa, menatap Mamak Lainuri.<br />Menatap Yashinta. Lantas sedikit tersenyum tanggung demi melihat wajah<br />adiknya. Lihatlah, adiknya dengan bola mata membulat penuh rasa ingin tahu<br />balas menatapnya. Ekspresi yang sama seperti setiap kali Yashinta diajak<br />melihat anggrek hutan raksasa. Atau melihat pohon salak hutan. Atau melihat<br />sigung berkejaran. Tidak. Yashinta sedikitpun tidak merasa ganjil dengan<br />Dalimunte yang tiba-tiba berdiri di tengah balai kampung. Yashinta hanya ingin<br />tahu. Baiklah, Dalimunte menekuk ibu jari kakinya, ini semua mudah.<br />Tersenyum penuh penghargaan sekali lagi ke arah Yashinta. Maka meluncurlah<br />penjelasan itu—<br />"HALLO! HALLO! PROFESOR—"<br />Ikanuri terdengar berteriak di seberang sana. Meningkahi berisiknya<br />suara krsk telepon genggam.<br />"Kau kemana saja, Dalimunte? Aku sejak sejam lalu berusaha menelepon.<br />Hallo? Hallo? Ya, kau dengar? Aku sejak tadi menelepon kau. Tidak ada sinyal,<br />Dali. Sama sekali tidak ada. Akhirnya justru kau yang menghubungi sekarang.<br />Bah, sejak kapan kau memattkan HP urusan keluarga?"<br />"Tadi di pesawat—"<br />"Apa? Hallo? Oo, pesawat—<br />Kau sudah di mana?"Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-27478184471276490932012-11-22T19:25:00.001-08:002012-11-22T19:25:30.306-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 10 PERTEMUAN DI BALAI KAMPUNG 2Dalimunte tidak mempedulikan.<br />Balai kampung itu sudah ramai saat mereka tiba. Pertemuan sengaja<br />dilakukan sepagi mungkin, biar selepas acara, mereka masih sempat bekerja di<br />ladang. Kursi-kursi bambu berjejer rapi. Sudah disiapkan sejak semalam oleh<br />pemuda kampung.<br />Wak Burhan, sesepuh kampung berdehem, setelah memastikan semua<br />warga hadir, mengetukkan palu dari bonggol bambu, segera memulai<br />pertemuan. Warga kampung diam memperhatikan. Pertama, mereka<br />membicarakan soal kesepakatan lumbung kampung. Berapa kaleng yang harus<br />disetorkan setiap rumah untuk cadangan padi kampung. Per-kepala atau perhasil<br />panen. Lima belas menit penuh seruan-seruan. Usul-usul. Kalimat-kalimat<br />keberatan. Usul-usul lagi. Satu dua kalimat tidak penting. Satu dua usul lagi.<br />Setuju. Beres.<br />Mamak Lainuri menyeka dahi. Meski lima kaleng itu benar-benar akan<br />mengurangi penghasilan ladang mereka yang tidak luas, cadangan padi selalu<br />penting. Dua tahun silam saat ladang mereka terkena hama belalang, lumbung<br />kampung memastikan perut anakanaknya tetap kenyang. Setidaknya panen kali<br />ini semoga masih ada sisa buat membeli seragam sekolah buat Yashinta.<br />Lebih banyak lagi waktu dihabiskan untuk membahas soal perambah<br />hutan dari daerah lain, Seruan-seruan marah makin ramai. Memaki.<br />Mengancam. Wak Burhan, yang masih terhitung saudara Mamak Lainuri (dan<br />juga warga kampung lainnya) menengahi. Sepakat melaporkan soal itu ke polisi<br />hutan kota kecamatan. Separuh dari hutan di Lembah Lahambay itu adalah<br />kawasan taman nasional. Daerah konservasi. Hanya lokasi-lokasi tertentu yang<br />dibolehkan diolah, meski penduduk setempat sendiri kadang juga melanggarnya<br />dengan menangkapi uwa, kukang, atau binatang dilindungi lainnya. Tapi<br />perlakuan perambah hutan itu memang mencemaskan, mereka tega membawa<br />senso (gergaji mesin) besar, dan tanpa ampun mulai menebangi pohon-pohon<br />raksasa.<br />Perbaikan jalan bebatuan tiga meter itu diputuskan hanya dalam hitungan<br />menit. Keputusannya adalah: Menunggu. Menunggu pemerintah kota berbaik<br />hati sajalah. Mereka sudah terlalu repot dengan kehidupan sehari-hari untuk<br />ditambahi memperbaiki jalan sepanjang duapuluh kilometer itu. Lagipula desadesa<br />sekitar mereka juga menolak memperbaikinya, agar perambah hutan tidak<br />semakin sembarangan masuk membawa truktruk yang akan mengangkuti kayu<br />gelondongan hasil jarahan.<br />Membicarakan perselisihan batas ladang, sepakat memberikan tanda baru<br />untuk setiap batas kebun. Jadwal pengajian mingguan. Gotong-royong<br />perbaikan tangga kayu di cadas setinggi lima meter sungai. Sumbangan rutin<br />buat acara besar (Maulid, Isra Mi'raj). Dan beberapa masalah kecil lainnya.<br />"Masih ada yang ingin dibicarakan?" Dua jam berlalu sejak tadi pagi,<br />Wak Burhan sekarang menatap seluruh balai kampung. Lengang sejenak.<br />"Masih ada?" Wak Burhan bertanya sekali lagi.<br />Sepertinya sudah selesai. Tidak ada lagi yang hendak melaporkan sesuatu.<br />Wak Burhan tersenyum, meraih pentungan dari bongkol bambu, bersiap<br />menutup pertemuan. Saat itulah, saat penduduk kampung menggeliat santai<br />karena pertemuan sudah selesai, saat mereka beranjak merapikan baju yang<br />terlipat, tiba-tiba Dalimunte mengangkat tangannya. Awalnya ragu-ragu, tapi<br />karena sudah kadung, sudah sejak seminggu lalu meniatkan diri, maka sambil<br />menggigit bibir, Dalimunte menaikkan tangannya lebih tinggi, Muka-muka<br />tertoleh.<br />Muka-muka bingung. Bukannya sudah selesai?<br />Mamak Lainuri mengernyitkan dahi. Kak Laisa yang merasa ganjil,<br />menyikut bahu Dalimunte yang duduk di sebelahnya. Ikanuri dan Wibisana<br />yang sejak tadi hanya jahil tertawa-tawa saling berbisik menganggu dan sibuk<br />berkomentar terhenti cengirannya. Hanya mata Yashinta yang membesar penuh<br />rasa ingin tahu.<br />"Ya, kau ingin menyampaikan sesuatu Dalimunte?"Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-56316158560641337262012-11-22T19:23:00.003-08:002012-11-22T19:23:51.027-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 10 PERTEMUAN DI BALAI KAMPUNG 1PAGI BERIKUTNYA datang lagi.<br />
Wak Burhan mengumandangkan adzan shubuh. Meski sudah sepuh, suara<br />Wak Burhan yang tanpa speaker dari surau terdengar menggema di<br />perkampungan bawah Lembah Lahambay. Dalimunte terkantuk-kantuk menarik<br />sarung adik-adiknya. Kerlip lampu canting semakin lemah, minyak tanahnya<br />hampir habis.<br />"Bangun Ikanuri! Wibisana!"<br />Yang dibangunkan hanya menggeliat sebal. Menarik bantal. Lantas<br />menutupkannya ke kepala. Dalimunte menggosok-gosok mata, sedikit<br />terhuyung berdiri. Pagi ini penting baginya. Sebenarnya juga bagi seluruh<br />penduduk kampung. Seperti kesepakatan minggu lalu, bakal ada pertemuan<br />rutin tahunan di balai kampung. Membicarakan soal panen ladang-ladang<br />mereka, perbaikan jalan bebatuan selebar tiga meter itu, perselisihan antar<br />tetangga (jika ada), perambah hutan dari luar lembah yang semakin sering<br />masuk, hal-hal kecil. Dulu, waktu Babak masih ada, Babak-lah jadi wakil di<br />pertemuan, mereka bersama-sama datang ke balai kampung. Asyik menyimak<br />pembicaraan.<br />Dalimunte menguap sekali lagi, melangkah mengambil kopiah. Mamak<br />sejak jam empat tadi sudah sibuk di dapur, masak air enau, Ditemani Kak Laisa.<br />Brr... dingin. Musim kemarau, dinginnya semakin terasa menusuk tulang. Tapi<br />Dalimunte semangat shalat di surau. Teringat ada hal penting yang harus<br />dikerjakannya hari ini. Itulah kenapa kemarin dia nekad bolos, dia ingin<br />melakukannya sendiri sebelum pertemuan kampung dilakukan.<br />Suara kokok ayam hutan terdengar dari kejauhan. Juga lenguh pagi uwa.<br />Beberapa tetangga membawa obor bambu menuju surau. Jalanan kampung<br />masih gelap. Obor itu sekalian juga penerangan di surau. Tidak banyak peserta<br />shalat shubuh, paling berbilang enam-tujuh orang. Dan satu-satunya peserta<br />anak kecil, ya, Dalimunte.<br />Sekembali dari surau, Ikanuri dan Wibisana masih tertidur, saling<br />membelakangi punggung, dengan kaki-kaki menyilang. Dalimunte nyengir<br />melihat posisi aneh itu, malas membangunkan lagi; menuju kertas-kertasnya<br />yang ditumpuk di atas meja.<br />Siapapun di lembah itu tahu persis, di sekolah Dalimunte dikenal sebagai<br />anak yang paling pintar, meski sekolah ini benar-benar seadanya. Dan satu<br />
bakat besar milik Dalimunte (meski untuk yang ini tidak semua penduduk<br />lembah tahu), dia suka sekali mengutak-atik sesuatu. Diam-diam melakukannya<br />di sela-sela membantu Mamak di ladang, Apa saja. Menciptakan alat-alat yang<br />aneh. Seperti keranjang aneh penangkap udang, alat panjang penyadap damar,<br />dan sebagainya.<br />Ahad pagi, hari ini sekolah libur. Selepas Kak Laisa meneriaki Ikanuri<br />dan Wibisana bangun agar shalat shubuh, sesudah sarapan nasi goreng, benarbenar<br />hanya nasi yang digoreng plus potongan cabai dan bawang merah,<br />mereka beramai-ramai berangkat ke balai kampung. Pertemuan rutin warga<br />kampung.<br />"Kakak bawa apa, sih?" Yashinta bertanya, melihat kertas-kertas yang<br />dipegang Dalimunte.<br />"Biasa, penemu. Paling juga bawa peta harta karun—" Ikanuri dan<br />Wibisana nyengir. Tertawa menggoda. Mereka berdua selama ini juga suka<br />jahil merusak kertas-kertas atau apa saja yang dikerjakan Dalimunte.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-47265580200189303092012-11-22T00:30:00.000-08:002012-11-22T00:30:05.878-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 9 CRAYON 12 WARNA bagian 3Yashinta tanpa perlu diperintah dua kali, membuka ikatan kantung plastik<br />kecil. Sekejap terdiam memegang kotak berwarna itu. Seperti tidak percaya. <br />Satu detik. Dua detik. Lantas berseru senang sekali.<br />"CRAYON 12 WARNA—" Yashinta tertawa lebar. Ikanuri ikut tertawa. <br />Mengusap jidatnya.<br />"TERIMAKASIH, KAK!" <br />Ah, malam itu, di tengah sejuknya angin malam menilisik lubang.-lubang<br />dinding. Di tengah gemerlap sejuta bintang di angkasa sana. Malam itu, Mamak <br />Lainuri setelah seharian bekerja, setelah sepanjang malam mengkal melihat<br />ulah anak lelakinya, akhirnya bisa tersenyum lebar. Juga Kak Laisa.... <br />"Abi, Tante Yashinta juga pulang, kan?"<br />Dalimunte yang mendorong koper sepanjang lorong garbarata pesawat <br />mengangguk pelan. Ummi berjalan di belakang.<br />Asyik. Asyik. Kalau begitu ia bisa lihat-lihat kamera keren Tante <br />Yashinta. Lihat-lihat foto yang indah. Dulu waktu Intan masih kecil, Tante<br />Yashinta yang suka ngajarin melukis. Makanya Intan suka dengan pelajaran itu <br />di sekolah.<br />"Oom Ikanuri? Oom Wibisana juga pulang, Bi?" <br />Dalimunte mengangguk lagi. Teringat sesuatu. Urusan ini benar-benar<br />membuatnya tak sempat berpikir panjang. Bagaimana mungkin dia belum <br />menghubungi mereka satu pun? Sejak menerima SMS di konferensi fisika. Itu<br />berarti tiga jam berlalu, dan dia belum tahu apa yang sedang dilakukan adik-<br />adiknya. Juga kabar Kak Laisa dan Mamak Lainuri di perkebunan strawberry.<br />Dalimunte mengeluarkan HP dari sakunya. Antrian penumpang keluar dari <br />pintu garbarata membuat langkah terhenti. Menyalakan telepon genggam.<br />"Kalau begitu Delima dan Juwita juga datang.... Horee!" Intan tertawa <br />lebar. Meraba tasnya. Ia bisa memaksa mereka berdua memakai empat gelang<br />karet "Safe The Planet". Meski sedikit nyengir ketika kemudian membayangkan <br />Oom Ikanuri dan Oom Wibisana. Pasti mereka lagi-lagi suka jahil ngerjain<br />Intan. <br />Dulu pernah hamster belang Intan disembunyikan di tong belakang<br />perkebunan. Untung ada Wak Laisa yang belain. Perasaan Oom Ikanuri dan <br />Oom Wibisana nurutnya hanya sama Wak Laisa, deh, Sekarang? Kata Abi tadi<br />kan Wak Laisa lagi sakit. Jadi tidak ada yang belain Intan kalau lagi dikerjain <br />Oom Ikanuri dan Oom Wibisana. Ah, Wak Laisa paling sakit perut atau<br />mencret-mencret, tidak bakal serius ini. Masih bisa menemani Intan jalan-jalan <br />di kebun strawberry. Intan sibuk mikir sambil memperhatikan Abi yang<br />
menunggu nada sambung.<br />Orang dewasa tuh rumit, ya? Kenapa pula coba tampang Abi tegang <br />begini sejak tadi dari sekolah. Cemas karena Wak Laisa sakit? Lah? Kan<br />dikasih oralit, mencret Wak Laisa paling juga sudah sembuh. Intan jago kok <br />bikin minuman itu.<br /><br />*********Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-86523369128487836602012-11-21T00:29:00.000-08:002012-11-21T00:29:00.277-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 9 CRAYON 12 WARNA bagian 2Lepas isya, setelah Dalimunte mengajak Ikanuri dan Wibisana shalat di<br />surau; dan kali ini dua sigung nakal itu menurut barulah ruang tengah rumah <br />panggung itu terasa lebih lega. Lampu canting besar di dinding kerlap-kerlip.<br />Ikanuri dan Wibisana belajar di atas tikar pandan. Membaca, entah benaran <br />membaca atau hanya pura-pura agar tidak kena marah lagi. Mereka sekali dua<br />saling berbisik pelan, <br />"...iya, itu katanya jalan pintas menuju kota kecamatan..." <br />"...aku dengar dari pemburu harimau di kota kecamatan tadi...". <br />Terdiam saat Mamak menoleh. <br />"...lewat jalan itu lebih cepat..." <br />Yashinta asyik menggambar berang-berangnya tadi pagi. Dalimunte entah<br />mengerjakan apa dengan kertas-kertas besar diujung tikar satunya. Kak Laisa <br />dan Mamak duduk di sebelah Yashinta, menganyam topi pesanan.<br />Malam beranjak matang. <br />"Eh, Kak Lais, Yashinta nanti boleh sekolah, kan?" Yashinta mendadak<br />menghentikan gerakan tangannya, menoleh ke Kak Laisa. Ia teringat kata-kata <br />Kak Laisa tadi siang di sungai bawah cadas.<br />"Apa?" Kak Laisa yang sibuk dengan anyaman bertanya balik, <br />"Eh, nanti Yashinta boleh sekolah, kan?" Yashinta bertanya sekali lagi,<br />ragu-ragu. Ah, kalau ia sekolah, Mamak dan Kak Laisa pasti lebih repot lagi <br />mencari uangnya.<br />"Sekolah! Lepas panen ladang musim ini Yashinta masuk sekolah!" <br />Mamak Lainuri yang menjawab.<br />
Beneran? Yashinta menyeringai. Matanya membulat. Mamak<br />mengangguk selintas, tetap konsentrasi menganyam. Yashinta sudah tersenyum <br />riang. Tadi kan, Kak Laisa bilang anak lelaki harus sekolah. Kalau anak<br />perempuan? Lihat, Kak Laisa kan anak perempuan. Makanya ia tidak sekolah. <br />Yashinta berpikiran pendek. Jadi dipikirkan sepanjang hari. Ia tidak tahu kalau<br />sebenarnya Kak Laisa yang memutuskan mengalah untuk tidak sekolah agar <br />adik-adiknya bisa sekolah.<br />Asyik, asyik, ternyata ia juga akan sekolah. <br />Biasanya, kalau bicara soal sekolah begini, Ikanuri dan Wibisana<br />otomatis akan nyeletuk sama seperti tadi pagi, "Memangnya asyik sekolah?" <br />Tapi karena mereka berdua malam ini lagi alim, mereka hanya sibuk belajar,<br />berbisik-bisik. Meneruskan membaca buku. <br />"Kak Laisa, lihat gambar berang-berangnya, deh! Bagus, kan?" Yashinta<br />menghentikan gerakan tangannya lagi. Menyeringai sambil menyodorkan <br />kertas gambarnya,<br />Kak Laisa menoleh, menyimak. Tersenyum. Mengangguk. Yashinta <br />menyeringai senang, kan jarang-jarang Kak Laisa tersenyum. Mamak Lainuri<br />juga beranjak mendekat melihat gambar Yashinta. Ikut tersenyum. Yashinta <br />memang berbakat melukis. Meski hanya dengan pensil, gambarnya tetap bagus.<br />Lima berang-berang itu terlihat begitu nyata. Andai saja ia bisa membelikan <br />putri bungsunya crayon warna. Mamak menghela nafas pelan, meneruskan<br />menganyam. Sejak dulu Yashinta sudah minta dibelikan. <br />Ikanuri dan Wibisana juga melirik selintas, meski lantas sok serius<br />kembali lagi ke buku. Dalimunte masih sibuk dengan kertas-kertasnya. Entah <br />membuat apa.<br />Sejurus, Yashinta menguap. Beranjak membereskan pensil dan kertas <br />gambar. Sudah hampir pukul 21.00. Saatnya tidur. Hanya ada satu kamar di<br />rumah panggung itu. Mamak, Kak Laisa dan ia tidur di kamar, beralaskan kasur <br />butut. Sementara, Dalimunte, Wibisana dan Ikanuri tidur di ruang tengah. Pakai<br />tikar pandan dan sarung. <br />"Ah-iya, Ikanuri lupa —" Entah kenapa Ikanuri tiba-tiba bangkit dari<br />belajarnya. Semua menoleh. Langkah Yashinta tertahan. <br />Ikanuri mengambil bungkusan kecil dari kota kecamatan tadi. Lantas<br />menyerahkannya ke Yashinta. <br />"Buat, Yashinta!"<br />" Apa-an?" Yashinta bertanya sambil menguap. <br />"Buka saja—" Ikanuri nyengir. Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-13020652349576344462012-11-20T00:28:00.000-08:002012-11-20T00:28:00.561-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 9 CRAYON 12 WARNA bagian 1 ANGIN MALAM bertiup lembut. <br />Menyelisik sela-sela dinding anyaman bambu.<br />Malam beranjak datang. Rumah panggung kecil itu akhirnya lengang, <br />setelah sejak maghrib tadi terdengar riuh oleh hardikan-hardikan. Hanya suara<br />burung hantu dari kejauhan yang menghias malam, ditingkahi derik jangkrik <br />bernyanyi. Langit terlihat cerah. Gemintang menunjukkan berjuta formasinya.<br />Di sana ada Taurus, ada Pisces, ada Leo, Gemini, dan lebih banyak lagi rasi <br />yang tidak memiliki nama.<br />Tadi siang, hingga sore benar-benar ribut. <br />Kak Laisa setiba di rumah panggung langsung menyiapkan bekal<br />makanan seadanya, kemudian menyusul Mamak Lainuri di ladang bersama <br />Dalimunte —yang tetap lebih banyak berdiam diri setelah dimarahi di sungai<br />tadi, menunggu rumah. Ia belum pernah diajak-ajak ke ladang… Kata Mamak <br />ia masih terlalu kecil. Ladang itu tidak jauh hanya satu kilo dari kampung.<br />Seperti tetangga lainnya, Mamak bertanam padi. Musim ini kabar baik, hujan <br />datang teratur. Maksudnya, saat nugal (masa tanam) hujan turun, saat akan<br />panen seperti sekarang, hujan justru berkurang. Kalau sebaliknya, bisa celaka. <br />Bisa urung tanam, atau gagal panen karena busuk.<br />Menjelang ashar Mamak Lainuri, Kak Laisa dan Kak Dalimunte pulang. <br />Biasanya Mamak langsung ke hutan, menghabiskan dua jam sebelum maghrib<br />mencari damar, rotan, atau apalah. Tapi hari ini tidak. Mamak sudah <br />mendapatkan laporan Kak Laisa soal kejadian tadi siang, jadi wajah Mamak<br />terlihat marah sepanjang sore. Mamak sebenarnya tidak suka marah. Lebih <br />banyak berdiam diri. Melotot, dan anak-anaknya langsung mengerti.<br />Bagaimanalah Mamak akan sempat marah? Mamak sudah terlanjur lelah <br />dengan jadwal harian. Bangun jam empat shubuh, menanak nasi, membuat gula<br />aren, menyiapkan keperluan ladang. Lantas berangkat ke ladang. Nanti, baru <br />lepas isya, setelah anak-anaknya tidur baru bisa istirahat. Itupun setelah<br />menyelesaikan anyaman, rajutan atau apalah. <br />Tapi sore ini Mamak tidak dapat menahan marah. Bukan karena<br />Dalimunte, Ikanuri, dan Wibisana sekaligus bolos sekolah, kasus bolos itu <br />sudah biasa. Sudah bebal dua sigung itu diceramahi Tetapi lebih karena baru<br />selepas maghrib Ikanuri dan Wibisana pulang ke rumah. Selama ini, meski suka <br />bolos, Ikanuri dan Wibisana paling hanya bermain-main ke manalah. Pulang <br />sebelum lembah gelap. Tapi apa yang dilakukan mereka seharian ini? Mereka<br />baru pulang setelah yang lain selesai shalat maghrib. Ikanuri dan Wibisana, <br />berani sekali ikut menumpang mobil starwagoon tua ke kota kecamatan,<br />membantu tauke desa atas menjual sayur-mayur di sana. <br />Mereka pulang sambil tersenyum lebar membawa bungkusan dari kota,<br />upah kerja seharian, tapi Mamak tidak peduli. Terlanjur marah. Maka kena <br />omellah Ikanuri dan Wibisana. Tentang mau jadi apa mereka? Sekolah! Sekolah<br />jauh lebih penting daripada bekerja. Kalian tidak akan jadi apa-apa kalau bodoh <br />sepertiMamak! Kalian pikir hidup susah itu menyenangkan? Hanya karena<br />menyadari adzan isya akan segera berkumandang dari suraulah omelan Mamak <br />akhirnya terhenti. Menyuruh mereka ambil wudhu. Shalat maghrib! lantas<br />makan bersama di hamparan tikar. Lebih banyak berdiam diri. Padahal Kak <br />Laisa masak ikan asap. Menu yang terhitung istimewa buat keluarga miskin<br />mereka. Tapi itu tidak cukup membantu suasana. Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-61601391498535763272012-11-19T00:26:00.000-08:002012-11-19T00:26:00.424-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 8 KAU ANAK LELAKI bagian 5"Kamu sekarang bawa gelang karetnya, sayang?" Dalimunte merubah<br />posisi duduknya, bertanya lembut. Ah, seharusnya dia bisa lebih rileks <br />sekarang, mereka sudah duduk nyaman di atas pesawat.<br />"Bawa. Memangnya kenapa, Bi?" <br />"Abi minta satu lagi—"<br />Intan tertawa, mengambil tas sekolah di bawah kakinya, mengeluarkan <br />satu gelang. Menjulurkan gelang itu. Dalimunte hendak mengambil dari tangan<br />putrinya. Tapi Intan tidak melepaskan gelangnya. <br />"Abi bayar dulu lima ribu!"<br />Dalimunte tertawa kecil, mengeduk saku celananya, kosong. <br />"Minta sama, Ummi!"<br />Ummi ikut tertawa, mengeluarkan tas tangannya. <br />Seharusnya perjalanan ini menyenangkan. Mereka hampir setiap dua<br />bulan sekali berkunjung ke perkebunan strawberry Mamak Lainuri. Dan itu <br />selalu menjadi perjalanan yang menyenangkan. Berkumpul bersama yang lain.<br />Apalagi Intan, menikmati benar menjadi kakak-kakak bagi Juwita dan Delima <br />(maksudnya menikmati merintah-merintah mereka). Menikmati masakan Wak<br />Laisa. Berjalan keliling kebun bersama Eyang Lainuri, atau yang lebih seru <br />Iagi, ikut Tante Yashinta melihat berang-berang di pagi buta.<br />Tadi mereka amat terlambat datang di bandara. Seharusnya pesawat itu <br />sudah take-off lima belas menit lalu. Tapi kolega peneliti Dalimunte yang<br />mengerti situasinya berbaik hati menelepon kantor pusat maskapai penerbangan <br />tersebut dari lab. Hari ini, pakar fisika ngetop seperti Profesor Dalimunte sudah<br />seperti selebritis saja, apalagi salah satu petinggi maskapai itu sama persis <br />dengan Headmaster Miss Elly, fans berat Profesor Dalimunte, maka mereka<br />berbaik hati menunda penerbangan. Toh, penumpang lain tidak berkeberatan <br />setelah tahu yang naik ke pesawat terakhir adalah Profesor Dalimunte.<br />"Eh, Ummi sudah telepon Eyang Lainuri kalau kita mau datang? Biar <br />Eyang masak yang banyak. Masakan kesukaan Intan: rebung bakar!" Intan<br />nyengir. Teringat sesuatu. <br />Ummi tersenyum simpul, bagi putrinya kunjungan ini mungkin tidak jauh<br />
Editor By. I-One <br />berbeda dengan kunjungan-kunjungan sebelumnya. Mengangguk.<br />"Tapi mengapa mendadak benar, Mi?" <br />"Mendadak apanya?"<br />"Kita pulang! Kenapa mendadak benar? Orang kalau mau hujan saja ada <br />gunturgeledeknya..."<br />"Wak Laisa sakit, sayang—" Dalimunte yang menjawab, setelah <br />menghela nafas. Cepat atau lambat Intan akan tahu.<br />"Sakit? Mana bisa Wak Laisa sakit?" Mata Intan membesar, sedikit pun <br />tidak percaya. Kan, Wak Laisa tuh terlihat tambun. Gemuk meski gempal.<br />Mana bisa sakit? Lah, Abi saja tidak kuat gendong Intan naik tangga kayu cadas <br />sungai. Hanya Wak Laisa yang kuat gendong. Jadi mana bisa sakit?<br />"Bukannya sebulan lalu Wak Laisa sehat walafiat, Bi?" Intan menggaruk <br />rambutnya. Sok berpikir. Gayanya sudah seperti orang dewasa saja. <br />Dalimunte menatap datar wajah putrinya yang amat ingin tahu. Itulah <br />yang Abi juga tidak mengerti, sayang. Sebulan lalu Wak Laisa memang terlihat<br />sehat. Hanya sedikit pucat. Soal pucat, sudah sejak dulu Kak Laisa memang <br />sedikit pucat. Tapi ia masih sibuk bekerja. Sibuk dengan keseharian. Tidak<br />pernah mengeluh, bahkan sejak mereka masih kecil dulu. Tidak pernah sakit. <br />Kak Laisa selalu sigap dan disiplin menghadapi rutinitasnya. Jadi mana<br />mungkin Kak Laisa sakit? Tapi SMS dari Mamak Lainuri pasti serius. Benar-<br />benar serius. Dalimunte menelan ludah, mengusap lembut rambut putrinya.<br />Dokter bilang mungkin minggu depan, mungkin besok pagi, boleh jadi <br />pula nanti malam....Bagaimana mungkin kalimat itu tidak serius?<br /><br />***********<br />Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7628173521240931994.post-6160363860554413412012-11-18T00:25:00.000-08:002012-11-18T00:25:00.267-08:00Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 8 KAU ANAK LELAKI bagian 4"Nanti Yashinta kasih minyak urut—" Yashinta berbisik pelan,<br />mengambil bunga rumput di dahinya. <br />Dalimunte mengangguk lagi.<br />Senyap. Angin lembah membuat ujung-ujung semak bergoyang. Terasa <br />menyenangkan. Caping anyaman Yashinta bergerak-gerak.<br />"Anak berang-berangnya ketemu?" Dalimunte bertanya pelan. <br />Giliran Yashinta yang mengangguk.<br />"Lucu?" <br />Yashinta mengangkat dua jempolnya, "Top banget, deh!"<br />Dalimunte tersenyum tipis, meski kemudian meringis lagi, lengannya <br />yang tadi dipukul terasa perih. Mereka terus berjalan menyusuri jalan setapak,<br />tanpa bercakap-cakap lagi. Kak lisa terus melotot di belakang. <br />Matahari hampir tiba di puncaknya. Terik membakar lembah.<br />Ah, meski belum satupun yang menyadarinya, hari ini garis kehidupan <br />masa depan mereka yang cemerlang sudah dimulai. Hari ini, garis kehidupan<br />sederhana dan apa adanya milik mereka mulai menjejak masa-masa depan yang <br />gemilang. Anak-anak terbaik dari Lembah Lahambay. Anak-anak yang<br />mengukir indahnya perjuangan hidup, Yashinta dengan berang-berangnya, <br />Dalimunte dengan kincr airnya. Ikanuri dan Wibisana, entah dengan apanya.<br />Dan Kak Laisa dengan segala pengorbanannya. <br />Lihatlah, meski Dalimunte tidak sempat menyaksikannya sendiri, kincir<br />airnya ternyata sempurna bekerja. Air itu perlahan bergerak naik. Dari kincir <br />pertama. Naik terus ke atas, berputar seiring arus air sungai memutarnya.<br />Tumpah. Langsung disambar kincir air yang kedua. Kincir air yang kedua itu <br />lantas bergerak pelan. Berkereketan. Pondasinya bergetar. Tapi pelan mulai<br />berputar, air itu naik lagi, berputar terus. Tumpah.... <br />Masih butuh tiga kincir air lainnya di cadas itu.<br /><br />*********<br />"Bi, kenapa Abi tiba-tiba jadi pendiam?" Intan menarik ujung kemeja <br />Dalimunte, "Sakit gigi, yee?" Nyengir lebar.<br />Dalimunte mengusap wajahnya. Tersadarkan dari kenangan. Menatap <br />keluar jendela pesawat. Hamparan awan menggumpal putih nremenuhi<br />sekeliling. Mereka berada di ketinggian 30.000 kaki. <br />"Abi masib marah gara-gara hamster Intan, ya?"<br />Dalimunte perlahan menggeleng, lembut mengusap kuncir rambut <br />putrinya. Tersenyum. Tentu saja tidak. Hamster belang itu sekarang pasti<br />
mendekam gelisah di ruang kargo pesawat. Dulu, putrinya suka sekali<br />menyelundupkan hamster dalam saku bajunya. Lolos di pintu pemeriksaan. <br />Maka hebohlah pesawat itu saat hamster belangnya ternyata menyelinap turun,<br />lantas masuk ke salah satu kotak makanan yang dibawa pramugari untuk <br />penumpang. Loncat. Berlarian di dalam pesawat yang sedang terbang persis di<br />atas lautan. Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/07455391822154707538noreply@blogger.com0