"Di depan sana—" Kak Laisa berbisik.
Wajah Yashinta sudah merah saking antusiasnya. Ia melapas caping
anyamannya (kepalanya gerah) lantas merangkak mengintip dari balik batang
besar itu. Mana? Mana? Mana? Suara getas ranting patah terdengar. Kak Laisa
meucubit lengannya. "Jangan berisik!" Mendesis. Yashinta manyun sebentar.
Kan tidak sengaja. Merangkak lebih hati-hati. Memperhatikan tempat yang
ditunjuk Kak Laisa. Memang ada bendungan tiga-lima meter di depan mereka.
Bendungan dari batang roboh yang persis melintang di tengah sungai. Yang
sekarang dipenuhi dedaunan, ranting-ranting, dan tanah liat.
Mana anak berang-berangnya? Yang ada hanya dua ekor burung
Meninting. Sibuk bercengkerama di atas bebatuan. Loncat-loncat.
Mengembangkan sayap indah hitam bergaris-garis putih milik mereka. Saling
menggoda.
Saat Yashinta siap mengeluh ke Kak Laisa sekali lagi. Bertanya man-na
anak berang-berangnya. Pelan terdengar suara kecipak dari pohon roboh di
tengah-tengah bendungan. Splash—
Aih! Mata Yashinta langsung melotot. Membesar.
Splash. Splash. Splash—
Yashinta berseru tertahan. Sekali lagi dicubit Kak Laisa.
Untung seruan itu tidak terlalu keras. Jadi tidak ada yang terganggu.
Gadis kecil itu mendekap sendiri mulutnya. Menyeringai cemberut, menoleh ke
arah Kak Laisa yang nyengir galak.
Splash—
Itu suara berang-berang ke lima yang meluncur ke dalam kolam
bendungan buatan mereka. Bukan main, lima anak berang-berang itu meluncur
anggun. Naik turun. Kepalanya celap-celup. Satu-dua jahil mengejar ikan-ikan
kecil yang banyak berkeliaran di sela-sela mereka. Celap-celup. Sungai itu
jernih. Jadi Yashinta bisa melihat hingga ke bebatuan dasarnya. Dua ekor
kepiting yang tadi nangkring di pinggir kolam sungai segera menyingkir. Juga
menyingkir sekumpulan udang yang sedang berjemur di bonggol kayu.
Menyisakan burung Meninting yang terus cuek berloncatan da atas batu, tidak
peduli dengan lima anak berang-berang. Mulut Yashinta terbuka. Terpesona.
Kak Ikanuri dan Kak Wibisana salah seratus persen, deh! Kata siapa anak
berang-berang tidak lucu? Yashinta sekarang saking gemasnya malah sudah
merangkak keluar dari balik batang, ingin melihat lebih dekat. Laisa hendak
menarik tasnya, mencegah. Tapi demi melihat ekspresi muka Yashinta yang
begitu sumringah, urung. Ia tidak ingin menganggu kesenangan adiknya.
Akhirnya hanya tersenyum tipis, membiarkan. Itu sungguh senyum pertamanya
sepanjang pagi ini, atau juga sepanjang minggu ini sejak Yashinta menyebalkan
selalu merajuk minta diantar.
Ah, Kak Laisa memang jarang tersenyum.
Berang-berang itu terus berkejaran di beningnya air kolam. Uap
mengepul dari inang sungai. Suara lenguh uwa terdengar dari kejauhan. Kicau
ramai burung-burung, Matahari pagi semakin terik. Permainan cahayanya dari
sela dedaunan yang memantul di beningnya air bendungan terlihat memesona.
Pagi yang indah. Benar-benar pagi yang indah di Lembah Lahambay.
Menyaksikan sendiri lima anak berang-berang berenang, saling bercengkerama,
persis dari bibir kolam bendungannya. Menyaksikannya dari jarak
sepelemparan batu saja.
Itu sungguh hanya ada dalam mimpi berjuta orang....
Ada apa?
Yashinta menyeka matanya yang basah. Menatap datar kedua temannya
yang nafasnya sudah kembali normal. Dingin angin pagi menyergap lereng
Gunung Semeru. Cahaya yang menembus kabut terlihat menawan. Yashinta
menarik nafas pelan. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Tepatnya belum. Yang
ia tahu, ia harus pulang segera. SMS itu amat mencemaskan.
Terlebih tiba-tiba semuanya terasa ganjil. Sesak. Kenangan itu kembali
bagai tontonan audio-visual dari layar teve LCD sejuta pixels. Begitu nyata.
Begitu dekat. Seolah ia bisa menyentuhnya. Menyentuh wajah Kak Laisa yang
pagi itu tersenyum tipis....
"Ada apa, Yash?" Teman ceweknya bertanya lagi.
"Aku harus pulang!" Yashinta menjawab pendek, menaikkan kembali
ransel ke pundaknya. Meneruskan langkah. Bergegas.
Kedua anak lelaki itu kompak tertawa. Nyengir. Jangan pernah cerita
sesuatu ke Yashinta. Adik terkecil mereka benar-benar tipikal anak yang suka
penasaran. Ingin tahu segalanya. Tentu saja mereka tadi hanya bergurau. Seperti
biasa mudah sekali menggoda Yashinta. Tapi Mamak Lainuri tidak suka
gurauan mereka. Tidak pantas menjadikan 'harimau' sebagai bahan bergurau.
"Lais berangkat, Mak. Assalammualaikum—"
"Waalaikumsalam. Jaga adikmu. Dan pulang segera, Lais. Hari ini banyak
pekerjaan di ladang!"
Gadis tanggung berumur enam belas tahun itu mengangguk. Sigap
melangkah menuruni anak tangga. Yushinta langsung ngintil mengikuti.
Lihatlah, meski baru enam tahun, Yashinta benar, ia sudah cukup besar untuk
urusan ini. Tangkas menjejak rumput yang masih berbilur kristal embun.
Tubuhnya meski terlihat kecil dan ringkih, tidak kalah atletisnya dibanding Kak
Laisa yang gendut dan gempal.
Hutan, semakin lama semakin lebat.
Hiruk-pikuk burung memenuhi atas kepala semakin ramai. Seperti
orkestra. Ada yang berdengking, berkicau, bernyanyi, bahkan ada yang seperti
ngoceh tanpa henti. Itu burung si penggosip. Sibuk bicara, meski tidak penting.
Dengking uwa (semacam monyet) dari kejauhan menimpali. Kuak suara ayam
hutan. Nyamuk besar-besar berdesing di atas kepala. Sarang laba-laba. Mereka
sudah berjalan hampir satu jam. Menyusuri jalan setapak yang kadang ada,
kadang hilang di tengah hutan.
"Masih jauh, Kak?"
Kak Laisa tidak menjawab.
"Masih jauh, Kak?"
"Ssst—" Kak Laisa menghentikan langkahnya.
Yashinta yang sedikit kaget karena Kak Laisa berhenti mendadak,
memegang lengan Kak Laisa dari belakang. Ingin tahu. Menyeruak ke depan.
Tapi Kak Laisa malah menahan kepalanya. Mendelik menyuruhnya tetap di
belakang. Dan tentu saja memberi kode: jangan berisik. Mereka sejak lima
belas menit tadi sudah turun dari jalan setapak, menyusuri sungai kecil berbatu-
batu itu.
Kak Laisa melanjutkan langkahnya pelan-pelan. Yashinta mengerti, tidak
perlu dijelaskan dua kali, ikut melakukannya. Menghilangkan suara kecipak
kaki di atas air. Lima belas meter. Kak Laisa melangkah mengendap-endap
menaiki tepi sungai. Yashinta tanpa banyak bicara ikut. Kalau sudah begini,
berang-berang itu pasti sudah dekat, deh. Yashinta nyengir lebar. Juga ikut
mendekam di balik sebatang pohon besar, di belakang Kak Laisa.
Lembah Lahambay selalu terbungkus kabut di pagi hari, ketika kehidupan
di rumah-rumah mulai menyeruak sejak kumandang adzan shubuh dari surau.
Asap putih mengepul dari dapur. Melukis langit-langit lembah. Pertanda
kehidupan sudah dimulai.
Satu-satunya akses dari kota kecamatan ke lembah itu hanyalah jalan
bebatuan selebar tiga meter. Di desa atas, satu kilometer dari kampung mereka,
yang penduduknya lebih maju dan lebih berada, ada dua mobil starwagoon tua
yang sering bolak-balik ke kota kecamatan. Terkentut-kentut membawa hasil
kebun, hutan, atau apa saja penduduk lembah tersebut, melewati jalanan buruk.
Naik turun. Di desa atas juga ada sekolah dasar, meski seadanya. Bagaimana
tidak seadanya? Hanya ada satu guru untuk semua kelas. Kelas? Itu bahasa
yang lebih halus untuk menyebut bangunan jelek beratap seng karatan,
berdinding anyaman bambu, berlantai semen pecah-pecah.
Mereka terbiasa dengan semua keterbatasan. Terbiasa dengan kehidupan
terpencil. Jadi wajar sajalah melihat dua anak perempuan merambah hutan di
pagi buta. Pemandangan lumrah di lembah ini! Anak-anaknya tumbuh dan
akrab dengan kehidupan sekitar. Tadi selepas shalat shubuh jamaah, persis saat
perkampungan masih gelap, selepas belajar mengaji Juz'amma dengan Mamak,
Kak Laisa akhirnya bilang akan menemani Yashinta pergi melihat berang-berang.
Kabar yang membuat Yashinta langsung berseru riang tak henti selama
lima menit. Bergegas melepas mukena kumalnya.
Sebulan lalu saat Kak Laisa membantu Mamak mengumpulkan damar
jauh di tengah hutan. Kak Laisa tidak sengaja menemukan tebat (bendungan)
yang dibuat berang-berang. Hebatnya di sana ada lima ekor anak berang-berang
yang sedang berenang. Lucu sekali melihatnya. Meski kemudian Kak Laisa
benar-benar menyesal menceritakan apa yang dilihatnya kepada Yashinta,
apalagi dengan menambahinya dengan kalimat: lucu sekali melihatnya.
Menceritakan itu ke Yashinta sama saja dengan mengundang masalah.
Maka tak kunjung henti setiap malam Yashinta merajuk ingin ke sana. Menarik-
narik baju gombyor Kak Laisa. Jengkel. Atau mungkin pula akhirnya lelah
dengan bujukan adiknya, pagi ini Laisa memutuskan mengajak Yashinta untuk
melihat langsung. Waktu paling baik melihat berangberang adalah pagi hari.
Semakin pagi semakin baik.
"Hati-hati, Lais! Jaga adikmu!"
Mamak Lainuri berkata tajam dari bingkai pintu. Itu pesan Mamak tadi
sebelum berangkat.
"Yash, kan sudah besar, Mak! Tidak perlu dijaga!" Yashinta yang justru
menjawab, sambil nyengir. Memasang sepatu bot butut miliknya. Juga caping
anyaman di kepala.
"Apa sih serunya lihat berang-berang? Gitu-gitu saja! Mana ada coba
lucunya" Satu kepala anak lelaki menyembul dari belakang Mamak. Mukanya
terlihat jahil.
"Iya, apa coba lucunya!" Satu lagi kepala anak lelaki menyusul. Wajah
mereka berdua mirip benar. Kompak seperti biasa, menyeringai nakal ke arah
Yashinta.
"Biarin! Pokoknya lucu!" Yashinta cemberut, tidak mempedulikan kedua
kakaknya.
"Yang keren tuh lihat Harimau. Kemarin aku dan Ikanuri sempat lihat
satu di atas Gunung Kendeng—"
"Ah-ya, harimau. Benar. Itu baru lucu. Malah anak-anknya ada enam,
Yash. Lebih banyak. Lucu-lucu banget— "
"Iya, Kak? Harimau beneran?" Gerakan tangan Yashinta yang sedang
mengenakan tas kecilnya terhenti. Matanya membulat. Bertanya ingin-tahu.
" Wibisana! Ikanuri!" Mamak Lainuri mendesis. Menyuruh dua sigung
nakal itu diam.
Berpilin. Berputar.
Terlemparkan. Dua puluh lima tahun silam.
Kenangan-kenangan itu kembali sudah.
Di sini juga angin selalu bertiup menyenangkan. Tidak pagi. Tidak siang.
Tidak juga malam. Tapi sepanjang hari, sepanjang malam. Angin selalu
berhembus lembut membelai anak-anak rambut.
"Masih jauh, Kak?" Kaki-kaki kecil itu menjejak air anak Mingai setinggi
mata-kaki. Kecipak-kecipak. Sungai yang jernih. Di tengah hutan ini ada
puluhan cabang anak sungai kecil seperti ini.
"Masih—" Tubuh gendut dan gempal yang lima belas senti lebih tinggi
dibandingkan anak kecil di belakangnya menjawab pendek. Burung-burung
berhamburan dengan suara ramai saat dua anak itu membelah jalanan setapak
rimba.
"Seberapa jauh lagi? Lima menit? Sepuluh menit?" kecipak-kecipak.
Bebatuan licin menyembul dari permukaan sungai.
"Masih jauh! Dan kau jangan sampai terpeleset, YASH!"
Suara nyanyian puluhan burung memenuhi langit-langit hutan. Cahaya
pagi menerobos sela dedaunan, menerabas sela-sela putihnya kabut.
Membuatnya seperti mengambang. Bahkan seolah-olah kalian bisa menangkap
berkas cahaya itu. Mereka sejak setengah jam lalu menelusuri hutan. Tangkas
yang satunya, yang berjalan di depan, berjalan sambil menebas ujung-ujung
semak belukar yang menjuntai ke batang sungai, menghalangi mereka.
Kedua anak perempuan itu sebenarnya berbeda umur cukup jauh. Yang
besar sudah sekitar enam belas tahun, yang kecil baru enam tahun. Tapi karena
perawakan yang lebih besar sepertinya tidak akan tumbuh normal, sebaliknya
yang lebih kecil tumbuh lebih cepat, maka mereka seperti berbeda umur duatiga
tahun
saja.
Mereka lahir disebuah lembah indah yang sempurna dikepung hutan
belantara. Terpencil dari manapun. Dua jam perjalanan dari kota kecamatan
terdekat. Namanya, Lembah Lahambay. Persis di tengah-tengah bukit barisan
yang membentang membelah pulau. Deretan gunung-gunung kecil. Ada sebelas
puncak gunung setinggi 1.500-2.000 meter dpl di kawasan lembah itu.
Terselip disana-sini, ada sekitar empat perkampungan radius sepuluh kilo
di Lembah Lahambay. Berjauhan satu sama lain. Paling dekat terpisah satu
kilometer. Satu perkampungan paling banyak terdiri dari 30-40 rumah
panggung. Perkampungan mereka terletak paling tepi, paling bawah, berbatasan
langsung dengan hutan rimba. Tapi meski disekitar kampung banyak terdapat
sungai, celakanya posisi kampung itu tetap lebih tinggi dari manapun. Sungai
besar yang ada di bawah kampung terpisah oleh dinding cadas setinggi lima
meter, yang membuat kampung itu seperti sempurna terpisah dari rimba.
Untuk menuruni dinding cadasnya saja sudah sulit bukan main. Maka
tidak seperti desadesa yang lazimnya dekat dengan hutan (yang otomatis berarti
dekat dengan sungai), disini penduduk menanam sawah tadah hujan, bukan
bercocok-tanam dengan sawah irigasi. Mereka hanya berharap pada siklus
kebaikan langit. Selebihnya bekerja mencari rotan, damar, kumbang hutan,
hingga belakangan menjual burung, kukang, jangkrik, dan apa saja yang laku di
kota kecamatan.
"Masih jauh, Kak? Lima menit? Sepuluh menit?" Gadis kecil yang
berumur enam tahun bertanya lagi sambil melepas daun yang tersangkut di
rambut.
" Masih!" Laisa nama kakaknya, kali ini menjawab dengan nada sebal. Itu
pertanyaan yang ke dua puluh sepanjang perjalanan mereka. Adiknya selalu
saja suka bertanya. Berulangkali, Tidak bosan-bosannya. Malah pakai "menit-menitan"
segala. Bisa sabar dikit kenapa!
"YASH! BERHENTI SEBENTAR, YASH!!" Dua rekan Yashinta patah-patah
menuruni bebatuan gunung ketinggian 3000 meter dpl.
Yashinta tidak menoleh. Mata, tangan, kakinya konsentrasi penuh
menjejak trek yang sempit dan berbahaya.
"YASH, TUNGGU — " Terus menuruni bebatuan.
"Yash, kan tidak semua orang seatletis kamu naik-turun gunung! Kalau
keseleo. Benar-benar celaka, tahu!" Tersengal-sengal.
Yashinta, gadis berambut panjang itu demi mendengar seruan dengan
intonasi setengah memohon, setengah sebal itu, akhimya menahan langkahnya,
menoleh. Berpegangan ke salah satu batu besar. Jurang terjal, menganga di kiri
kanan mereka. Bukan hanya soal keseleo, tapi lalai sedetik saja, mahal sekali
harganya. Bagi kebanyakan orang yang mengerti, sebenarnya turun dari gunung
jauh lebih berbahaya dibandingkan naiknya— apalagi dengan stamina yang
terkuras habis waktu mendakinya.
"Ada apa, sih?" Teman cowoknya bertanya setelah berhasil mendekat.
Satu kata, satu tarikan nafas. Hosh, Hosh, Hosh. Uap mengepul dari mulut.
Kedua rekannya membungkuk memegangi perut. Capai. Gila, mereka lima
belas menit meluncur dengan kecepatan tinggi non-stop dari puncak Semeru.
"Aku harus pulang!"
"Iya, kami tahu kau harus pulang, tapi ada apa?"
Yashinta tidak menjawab, ia malah menurunkan ranselnya. Mengeluarkan
botol 500 mili minuman berion, pengganti keringat. Melemparkannya ke dua
rekannya yang masih tersengal.
"Trims, Yash." Masih tersengal.
Lengang sejenak. Yashinta (yang sedikitpun tidak tersengal) memperbaiki
posisi peralatan di ransel berukuran semi carrier-nya. Mengencangkan syal di
leher. Angin pagi bertiup pelan. Terasa begitu menyenangkan. Membelai anak
rambut. Menelisik di sela-sela kuping. Yashinta mengusap dahinya. Menatap
langit pagi yang membiru. Gumpalan halimun. Ya Allah, ini sama persis seperti
di lembah itu. Sama persis. Lembah itu....
Rasa haru itu menelisik lagi hatinya. Mengiris membusai perih di mata.
Yashinta mengusap ujung-ujung matanya.
Ya Allah, apa yang sebenarnya terjadi?