“Ganti bajumu,” katanya.
“Semua bajuku di dalam kopor.”
“Ambil bajuku.”
“Tidak akan pernah!”
Ia mencengkeram pergelangan tanganku dan menatapku lurus dengan mata
berkobar,”Ini bukan waktunya melawanku, Pit. Kau bisa sakit!”
“Monster,” desisku.
alam itu suhu tubuhku menanjak naik, kepalaku sakit dan tenggorokan
nyeri. Aku masih ingat saat Idan menyuruhku menelan sebutir tablet
penurun panas dan aku membangkang. Ketika abangku datang untuk memeriksa
keadaanku, aku masih bisa menangis dan merengek minta diantar pulang ke
rumah orang tuaku. Setel ah itu semuanya kabur.
Kesadaranku kembali dalam kelebatan-kelebatan singkat. Ketika aku
terjaga dan menemukan Idan tengah mengganti kain kompres di dahiku,
sentuhannya begitu sejuk dan menenteramkan. Ketika aku tiba-tiba ters
entak dari salah satu mimpi burukku dan mendapati Idan tengah
membersihkan ceceran muntahku di lantai. Ketika aku terbangun dari
tidurku yang gelisah dan merasakan tangannya erat menggenggam jemariku.
Hingga akhirnya, entah setelah berapa lama, aku terbangun dan nyala api
dalam kepala dan dadaku telah padam. Jendela kamarku terbuka dan cahaya
matahari hangat menerobos masuk, membawa aroma melati dar i rumpun di
luar kamarku. Ibuku tengah duduk di dekat jendela, membaca.
“Ibu.”
Ibuku menurunkan korannya. Senyumnya mengembang saat ia
menghampiriku.“Bagaimana? Sudah enakan?”
“Idan mana?” bisikku. Ah, pertanyaan bodoh. Mungkin seharusnya aku
bertanya di mana aku sekarang atau setidak-tidaknya siapa namaku. Kenapa
pertanyaan pertamaku harus tentang Idan? rutukku pada diri sendiri.
“ Masih di kantor. Sebentar lagi juga pulang.”
Aku sakit dan dia pergi ke kantor. Suami teladan.
“Ibu sudah berapa lama di sini?”
“Dari pagi. Kau tidak ingat ibu datang pagi tadi?”
Aku mencoba menggeleng dan kepalaku serta merta terbelah tiga. Tapi yang
paling menyakitkanku adalah, Idan sama sekali tak peduli aku sakit. Aku
berbalik dan memejamkan mata. Air mataku yang panas luruh satu-satu.
Sore itu ketika Idan pulang, aku berpura-pura tidur. Aku sama sekali
belum siap untuk bicara lagi dengannya. “Bagaimana, Bu?” tanyanya,
suaranya mendekati tempat tidurku. Dan kemudian tangannya hinggap di
dahiku, sejuk dan membawa ketenangan. Dengan punggung tangannya ia
menyentuh leherku, dan kalaupun aku sanggup menepiskan tangannya dengan
tenagaku yang nyaris nihil, aku tak akan mau melakukannya.
“Ini di luar dugaanku.”
“Apa?”
“Aku tidak mengira aku menikahi monster.”
Idan terdiam, menunduk.
“Aku…,” katanya lirih. “Aku bawa pizza kesukaanmu.”
“Aku sudah terlalu gemuk.” Ia menggeleng dengan ekspresi bersalah,
”Tidak. Kau cantik.”
“Aku tidak butuh pendapatmu. Kau bukan suamiku, ingat? Penilaianmu tidak
punya arti apa-apa.”
“Aku sudah mencoba jadi suami yang baik.”
“Kau gagal.”
“Setidaknya aku mencoba. Kau … kau tidak melakukan apapun supaya
pernikahan kita berhasil….”
“Simulasi.”
Ia menghela napas panjang dan mengangguk singkat. “Simulasi.”
“Kau salah, Dan. Aku sudah melakukan terlalu banyak. Sudah belajar
terlalu banyak. Dan aku sudah mengambil keputusan. Aku tidak akan
menikah. Aku tidak suka menikah. Apalagi denganmu.”
Ia tak mengatakan apa-apa, lama sekali. Ketika ia keluar dari
kamarku,aku ambruk ke atas tempat tidur. Semua topeng ketegaranku hancur
berkeping-keping. Aku tak pernah mendu ga Idan bisa menyakitiku sehebat
ini. Lama kemudian. setelah aku bisa sedikit menguasai diri, aku
bangkit. Kurapikan dandananku dan kuseret koporku keluar.
“Setidaknya tunggulah sampai hujan reda,” suara Idan menyambutku.
“Terlalu lama,” gumamku. “Aku tidak bisa tinggal denganmu selama itu.”
Aku tak peduli hujan yang serta merta mengguyurku basah kuyup saat aku
membuka pintu gerbang. Meninggalkan Idan secepatnya, hanya itu yang ada
dibenakku. Dan ketika mobilku mulai tersendat terendam genangan air
hujan hanya lima puluh meter dari rumah, aku begitu berang dan putus asa
hingga aku keluar dari mobil dan menendang pintunya, meninju atapnya ,
air mataku larut dalam siraman hujan.
Saat itu aku melihat Idan datang. Tanpa mengatakan apa-apa ia mencabut
kunci mobilku dan mengunci mobil itu dari luar.
“Ayo pulang,” katanya.
Aku menggeleng tanpa berani menatap wajahnya.
Dan ia mengangkatku, menggendongku, tanpa menghiraukan perlawananku. Ia
membopongku sampai ke rumah, tak memberiku kesempatan untuk melarikan
diri. Setiba di dalam, ia mengunci pintu dan menyimpan kuncinya di saku.
“Upit, kalau kita tidak pergi se karang, kita bisa pulang terlalu sore.
Aku ada janji jam empat….”
“Aku bilang aku tidak mau ke mal! Kau bisa pergi memancing sekarang
kalau kau mau.”
“Jangan seperti anak kecil begini, Pit,” geramnya. “Ayo!”
“Tidak! Dan kalau kau marah dan mau minggat seperti dulu lagi, silakan!”
Meski sudah bersikap menyebalkan, Puspita tidak berhasil membuat Idan
marah. Pria itu malah bersikap sangat manis.
Wajah Idan benar-benar merah sekarang. “Upit! Jangan main-main denganku!
Aku tidak mau kau menolak pergi jalan-jalan lalu menghukumku dengan
cemberut sepanjang hari begini. Mandi sekarang. Kita pergi setengah jam
lagi.”
“Aku bukan budakmu. Jangan suruh-suruh aku. Dan aku tetap tak mau pergi”
“Oke. Terserah! Kalau kau mau duduk di sini seharian, makan es krim dan
cokelat sambil mengasihani diri sendiri dan melar dan melar dan melar
dan melar….”
“Idan!” jeritku sambil melempar kotak es krim itu ke arahnya. Ia
terlambat mengelak dan sisa es krim yang telah mencair melumuri
t-shirtnya. Aku lari ke kamarku, membanting pintunya dan melempar diri
ke ranjang, sesenggukan.
Kudengar ia memaki dan menendang pintu. Saat itu aku takut, takut
sekali. Ia seperti telah menjadi manusia lain yang tak kukenali sama
sekali, asing dan mengerikan. Kututup telingaku dengan bantal dan aku
terus menangis hingga tenggorokanku yang sakit dan kepalaku yang berat
memaksaku tertidur kelelahan.
Sorenya aku keluar mengendap-endap. Idan pasti telah pergi
memancing.Memikirkan bahwa ia pergi sementara aku masih menangis karena
kata-kata
kasarnya membuatku makin marah kepadanya. Kali ini aku yakin tak ada
pilihan lain kecuali meninggalkannya dan kembali ke rumah orang tuaku.
Maka selesai mandi aku segera memasukkan semua pakaianku ke dalam kopor.
Saat itu Idan datang. Ia kedengaran sangat gembira, bersiul-siul sejak
ia memasuki pintu gerbang. Siulannya berhenti saat ia melihat koporku
dari pintu kamar yang terkuak.
“Apa-apaan ini, Pit? ” tanyanya.
“Aku pulang ke rumah Ibu.”
Ia masuk dan duduk di atas kasurku, mengawasi gerak-gerikku. “Semudah
ini kau menyerah?”
“Kupikir sudah waktunya kau mengalah sekali-sekali.”
“Mengalah!” suaranya meninggi. “Apa aku masih kurang mengalah selama
ini? Pit, kau sudah menyita enam kali dua puluh empat jam waktuku , apa
kau tidak bisa memberiku….”
“Enam kali dua puluh empat? Enam kali dua! Kita hanya benar-benar
bertemu dan bicara satu jam saat sarapan dan satu jam waktu makan
malam!”
“Kita bisa mengobrol lebih banyak kalau kau mau lebih banyak melewatkan
waktu denganku! Tapi tidak! Kau lebih memilih mengurung diri di kamar
dengan Pavarotti dan Flamingo.…”
“Placido Dom ingo! Maaf, Dan, waktuku terlalu berharga untuk dipakai
menyaksikan orang-orang saling membunuh tiap dua menit atau dua puluh
dua orang memperebutkan satu bola kulit!”
“Setidak-tidaknya itu lebih jujur dan bisa dimengerti dari film-filmmu
yang becek air mata itu!”
“Kau kekanak-kanakan!”
“Dan kau, Tuan Putri, kau egois!”
Ia menyambar tasnya dan melangkah lebar-lebar keluar lewat pintu
samping. Aku masuk ke ruang makan dan membanting pintu di belakangku.
Seperti inikah perasaan para istri setelah bertengkar dengan
suaminya?Dadaku sesak dan kepalaku sakit. Aku benci menjadi cengeng,
tapi air mata kecewa mulai membuat mataku pedih. Aku sama sekali tidak
mengira sesuatu seperti ini terjadi padaku. Aku tahu Idan melakukan
semua ini, simulasi ini, untukku, tapi selama ini aku tidak pernah
menuntut apa pun darinya. Sebaliknya, aku telah berkorban banyak sekali
sejak aku menikah —-simulasi—- dengannya, mengurangi jadwal clubbing-ku,
pulang dari kantor sesegera mungkin, memperhitungkan apa ia akan
menyukai makanan yang kubeli. Apa ia telah berbuat sama banyaknya
untukku ? Tidak!
Kubuka lemari es dan kukeluarkan satu kotak es krim cokelat kesukaanku.
Pagi itu kulewatkan di depan televisi, menyaksikan film melankolis, air
mataku kubiarkan meleleh tanpa henti, dan sekotak es krim itu pun habis
tanpa terasa.
Idan kembali pukul setengah sebelas, masih cemberut. Ia langsung mandi
dan tak lama kemudian kembali ke ruang duduk sudah rapi dengan t-shirt
dan celana jins.
“Kalau kau mau ke mal, aku sarankan kau mandi dan dandan sedikit,”
katanya.
“Aku tidak mau pergi ke mal.”
“Kau bilang tadi pagi….”
“Aku tidak mau merepotkanmu. Aku tidak mau kau gatal-gatal karena
alergimu kumat.”
“Temani aku jalan-jalan ke mal sore ini,” pintaku.
“Kau kan bisa pergi sendiri,” katanya sambil memasukkan kaus bersih dan
handuk kecil.
“Seingatku kau berjanji untuk selalu menggandeng tanganku ke mana pun.”
“Aku tidak bisa mangkir memancing hari ini, Pit,” ia masih tetap tak
memandang ke arahku, sibuk dengan sepatu bolanya. “Aku sudah janji
dengan kawan-kawanku untuk mencoba tempat memancing baru.”
“Kau bisa mencobanya minggu depan.”
“Tadi malam tidak ada bulan, Pit. Ikan-ikan akan sangat rakus hari ini,
” ia tersenyum sambil melompat-lompat dengan sepatu bola barunya. “Aku
bias memecahkan rekor sepuluh kilo sore nanti!”
“Minggu depan voucher diskon salonku sudah tidak berlaku lagi,” gumamku.
“Pakai voucher dariku saja,” sahutnya ringan sambil mulai lari-lari di
tempat. “Berapa diskon yang kau dapat dengan voucher itu? Kalau kuberi
lima belas ribu cukup?”
“Idan! Itu hanya cukup untuk beli minum selama di salon.”
“Aku bisa cukur rambut plus dipijit plus minum kopi dengan lima belas
ribu.”
“Oh, Tuhan!”
Idan berhenti berlari-lari dan berdiri di hadapanku dengan tangan di
pinggang. “Pit, kau sudah cantik begini. Tidak perlu ke salon lagi.”
“Aku sudah cukup yakin dengan kecantikan, terima kasih. Yang aku butuh
cuma keluar dari rutinitas harianku, dan aku memilih melakukannya dengan
jalan-jalan.”
“Jadi? Apa yang kau tunggu? Pergilah. Aku tidak melarangmu. Kalau kau
bawakan aku oleh-oleh, aku akan lebih tidak keberatan.” “Ini bukan
masalah kau melarang atau tidak, Dan. Apa enaknya jalan-jalan sendirian?
Aku perlu teman.”
“Kalau begitu ajaklah teman-temanmu.”
“Sudah. Mereka punya acara sendiri-sendiri. Dengan suami-suami mereka.”
Idan mengerutkan keningnya. “Kau mau melewatkan hari Minggu denganku?”
“Ya!”
“Kenapa tidak bilang dari tadi. Tentu saja kau boleh ikut ke lapangan
sepak bola lagi. Aku akan senang kalau kau ada di sana.”
“Idan!” jeritku. “Kau ini buta, tuli atau imbesil sih? Kau tahu aku
benci sepak bola dan lebih benci lagi memancing!”
Mata Idan menyipit. “Dan kau tahu aku alergi jalan-jalan ke mal,”
desisnya.
“Kau keterlaluan! Aku sudah berpikir untuk menelepon kantor polisi!”
teriakku kepadanya.
“Aku juga rindu kepadamu!” balas Idan tertawa. Dan mataku rasanya
semakin perih melihat tawanya lagi.
“Di mana saja kau dua hari ini?”
“Di hotel kecil dekat kantor.”
Ia baru saja menghabiskan piring ketiga sop buntut kesukaannya. Ia tidak
berkomentar ketika melihat bahwa aku sudah membeli semua makanan
kegemarannya. Ia hanya makan dua kali lebih lahap.
“Kenapa kau akhirnya memutuskan untuk pulang?” suaraku bergetar.
“Aku perlu baju bersih,” ia tertawa malu. “Laundri hotel mahal sekali.”
Saat ia mencuci piring makannya, dengan punggungnya ke arahku, ia
menyambung, ”Selain itu , aku khawatir karena kau sendirian di sini.”
Dan dadaku tiba-tiba terasa ngilu.
“Aku akan pulang terlambat besok,” ucapku perlahan. “Aku harus lembur.
Dikejar deadline.”
Ia berhenti membilas piring dan aku tahu ia berbalik menatapku. Tapi
mataku terpaku pada es krim di hadapanku.
“Oke,” katanya. “Kau keberatan kalau aku makan malam duluan?”
“Asal kau sisakan cukup untukku,” aku tersenyum.
Paginya kulihat lingkaran merah kedua di kalender.
Aku bisa mentolerir kebiasaan Idan membiarkan koran yang telah dibacanya
berserakan di ruang tamu. Aku bisa memaklumi kegemarannya nonton film
action —-genre yang paling tidak kuminati, dan sepak bola—- olahraga
yang menurutku amat membosankan. Aku bahkan bisa memaafkan kebiasaannya
mengeluarkan pas ta gigi dengan memencet bagian tengah tubenya, tidak
dari bawah seperti yang biasa kulakukan.
Hanya satu yang aku belum sanggup terima. Caranya menghabiskan akhir
pekannya. Setiap Minggu pagi ia berangkat sebelum pukul enam untuk
bermain sepak bola dengan teman-temannya, dan sorenya, sekitar pukul
setengah empat, ia pergi memancing. Untukku yang selalu menghabiskan
waktu luang dengan pergi dari satu galeri ke galeri lain, dari satu
pameran lukisan ke yang lain, dari mal ke mal, dan berakhir dengan acara
makan-ma kan, kebiasaan Idan itu sama sekali tidak bisa kupahami. Aku
tak sanggup menontonnya main bola atau menemaninya memancing, karena aku
dengan sangat cepat akan mera sa jemu.
Sebulan pertama aku berusaha mengerti . Ia selalu pulang dengan mata
berbinar hingga aku tak tega mengeluh dan protes. Tapi di pekan kelima
kesabaran kutandas, dan pagi itu, saat ia tengah memasukkan botol air
minum dan kotak rotinya ke dalam tas, aku memintanya untuk tidak
memancing.
Perasaanku gundah. Rasa bersalah dan kesal berkecamuk di dadaku. Aku
tahu Idan telah banyak berkorban untuk permainan ini. Tapi walau aku
sungguh-sungguh ingin mempelajari bagaimana rasanya menjadi seorang
istri, mesti kuakui bahwa aku belum terbiasa menganggap Idan sebagai
suamiku. Bagiku, ia hanya masih seorang sahabat. Dan seorang sahabat
tidak boleh menuntut terlalu banyak.
Mataku tertaut pada cincin emas mungil yang disisipkan Idan di jari
manisku selepas akad nikah. Ini hanya permainan, batinku. Tapi dalam
permainan ini, Idan adalah suamiku. Dan sebagai suamiku, tuntutannya
wajar. Kalau aku lantas tidak suka dengan keterbatasannya, itu hanya
satu pelajaran pertama dari permainan ini.
Kupejamkan mataku dan kutarik napas dalam-dalam. Aku benci kekalahan.
Tapi kali ini aku mengalah, bukan kalah. Aku akan belajar satu hal dari
semua ini. Bagaimana mengesampingkan keakuan dan memilih kebersamaan.
Getir memang. Aku yakin Idan akan menertawaiku. Kalau ia tidak marahmarah
dulu.
langkah terkejutnya aku mendapati rumah gelap dan kosong. Sudah pukul
setengah dua belas malam dan Idan belum pulang?
Kucoba menghubungi ponselnya dan hanya mendapati mailbox. Dengan
menggunakan berbagai tipu daya, memperhitungkan lemahnya kondisi ibu
mertuaku , kutelepon rumahnya. Aku bahkan mencoba mengontak kantornya,
tanpa hasil. Idan tidak ada di mana-mana.
Inikah balasannya atas penolakanku tadi pagi? Kekanak-kanakan sekali!
Tapi tak urung, dengan melarutnya malam, aku jadi semakin cemas. Apalagi
hingga pagi Idan tidak kembali. Ia bahkan tidak pergi ke kantor. Aku
minta izin pulang setengah jam lebih awal dengan dalih yang dibuat-buat.
Tapi saat aku tiba di rumah, Idan tetap tidak ada. Malam itu kulewatkan
di sisi telepon, berpikir untuk menghubungi polisi dan rumah sakit.
Pukul tiga telepon berdering. Bermacam-macam kengerian terlintas di be-
nakku saat aku mengangkat receiver.
“Upit?”
“Idan?” jeritku. “Kau di mana?”
“Pit, aku minta maaf karena marah dan minggat begitu saja. Boleh aku
pulang?”
“Idan, ini rumahmu!” meskipun aku tersenyum, air mata kelegaan mulai
meleleh di pipiku. “Kau di mana?”
“Di luar.”
“Di luar rumah?”
“Ya. Dan aku lapar.”
“Oh, Tuhan….”
Aku lari ke luar rumah. Di gerbang kulihat Idan berdiri di sisi
mobilnya. Entah sudah berapa lama ia di sana.
“Masih banyak detil-detil seperti ini yang mesti kita sepakati,”
lanjutnya. “Misalnya, aku ingin kau beri tahu aku kalau kau akan pulang
terlambat.”
Dahiku berkerut. “Untuk apa?”
“Apa kau tidak melapor kepada orang tuamu kalau kau akan pulang
terlambat?”
Aku menggeleng. “Ibuku sudah percaya bahwa aku bisa menjaga diriku
sendiri dan tidak akan melakukan hal-hal yang bodoh.”
“Tapi aku suamimu. Simulasi memang. Aku perlu tahu kenapa dan di mana
kau kalau pulang terlambat.”
“Kau kedengaran seperti diktator.”
“Kurasa aku tidak minta terlalu banyak.”
“Itu terlalu banyak untukku.”
Idan meletakkan sendoknya dan menatapku dengan mata menyala. Aku lupa
kapan terakhir kali aku melihatnya marah. Tapi aku yakin aku tak salah
membaca gelagatnya kali ini. Ia benar-benar marah.
“Ingat,” lanjutku hati-hati. “Aku bukan benar-benar istrimu. Kau tidak
punya hak untuk mengaturku seperti itu.”
Ia menunduk lama sekali, tangannya terkepal, buku-buku jarinya memutih.
Dan ruang makan itu menjadi sangat sunyi senyap. “Baik. Kalau itu maumu”
desisnya kemudian.
Kami melanjutkan sarapan dalam diam. Aku ingin mengatakan bahwa aku sama
sekali tidak menduga permainan itu akan membuat persahabatanku dengan
Idan memburuk. Tapi aku tak berani mengungkapkan itu. Aku yakin Idan
akan semakin berang karenanya.
Idan meninggalkan meja tanpa mengatakan apa-apa dan pergi ke kamarnya
untuk bersiap-siap ke kantor. Tak lama ia kembali menemui ku di ruang
makan. “Aku pergi, Pit,” katanya dingin.
Aku bangkit dari meja menghampirinya , berniat untuk memperbaiki
situasi. “Sebagian teman-temanku menyarankan ini,” ujarku sambil mer aih
tangan kanan Idan dan menempelkannya di bibirku. “Kupikir ada baiknya
kucoba. Oh, ya. Mereka bilang kau harus mencium keningku.”
Ia membungkuk dan menyapu keningku dengan bibirnya yang terkatup dan
berlalu tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
Dasar tidak tahu terima kasih!
ku sengaja pulang terlambat malam itu. Dalam perjalanan pulang
kusinggahi suatu kafe yang belum pernah kukunjungi, sebagian untuk
memperoleh kesendirian dan sebagian untuk menghindari pertanyaanpertanyaan
yang pasti diberondongkan kawan-kawan yang biasa bersamaku menghabiskan sore hari.
Sebulan pertama Upit berusaha mengerti kebiasaan Idan menghabiskan akhir
pekan dengan memancing. Di minggu kelima dia protes, dan mereka
bertengkar. Pertengkaran terhebat yang pertama.
Tiga hari pertamaku sebagai istri Idan —-simulasi-— kulewatkan di
rumahku sendiri. Tiga hari berikutnya dilewatkan di rumah Idan, karena
kondisi ibunya, yang memang telah sangat lama sakit, memburuk; mungkin
karena ketegangan yang disebabkan persiapan acara pernikahanku dengan
Idan. Pada hari ketujuh kami pindah ke rumah milik Idan sendiri. Dan
setelah seharian menata perabotan, memasang tirai dan beragam pajangan,
malam itu kami lewati dengan tidur.
Esok paginya, aku terbangun karena mendengar suara-suara di dapur. Aku
menemukan Idan di sana, sedang mendadar telur, seme ntara di atas meja
terhidang nasi goreng dan sepoci kopi yang harumnya menggoda.
“Aku ada rapat pukul setengah delapan,” seru Idan sambil membalik dadar
telurnya. “Aku mesti berangkat sebelum setengah enam.”
Ku cicipi nasi goreng buatannya. “Aku tidak tahu kau pintar memasak.”
“Pramuka,” komentar Idan ter senyum. Diletakkannya telur di atas meja
dan ia duduk untuk sarapan. “Aku juga pandai tali-temali, semafor,
menjahit.”
“Percaya, percaya. Kalau kau mau menangani urusan masak, aku akan
memperbaiki keran dan genting bocor, plus membabat rumput.”
Idan terbahak. “Ini hanya sekali-sekali, Pit. Aku tidak mungkin masak
setiap pagi.”
“Apalagi aku . Kita perlu cari pembantu.”
“Jangan,” Idan menggeleng. “Ia pasti curiga kalau melihat kita tidur di
kamar berbeda.”
“Jadi?”
Idan menggaruk kepalanya. “Bisakah kau masak nasi tiap hari?”
pintanya.“Aku punya rice cooker.”
Kutatap wajahnya. Dalam hati aku berpikir, haruskah? Ini hanya sebuah
permainan. Tidakkah Idan akan jadi besar kepala kalau aku mematuhinya?
Tapi di lain pihak, kalau aku benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya
jadi seorang istri, mungkin ada baiknya aku mengikuti keinginannya.
“Kalau kau mau membawakan lauk dan sayur bergantian denganku, baik.”
Ia tersenyum dan beranjak dari meja dan kembali dengan sebuah bolpoin
merah. Dilingkarinya tanggal hari itu di kalender yang tergantung di
dinding dapur.
“Hari pertama kita menyelesaikan suatu masalah dengan musyawarah
keluarga,” katanya saat kembali ke kursinya.
Apakah benar biasanya Gadis / Pria bisa percaya diri karena fisik,
mereka merasa cantik / tampan, tubuh ideal, dll ..
Apakah benar dengan berpikir positip juga bisa meningkatkan percaya diri
jika kita terus berpikir bahwa kita kurang,
maka kita tidak akan pernah yakin dan percaya diri sampai kapanpun ..
benar-benar berpikir bahwa Anda memiliki kelebihan dan keunggulan dari orang lain bisa meningkatkan rasa percaya diri juga ...
Seorang teman telah berkata kepada saya seperti dibawah ini:
Saya menganggap diri saya orang yang percaya diri tapi itu tidak ada hubungannya dengan penampilan fisik.
Bagi saya, ini tentang mengetahui siapa saya dan butuh 52 tahun bagi saya untuk sampai ke sini.
Saya pikir pribadi yang percaya diri tentang penampilan fisik mereka mungkin tidak percaya diri dalam aspek lain dari kehidupan mereka.
Ketika seseorang secara mental, emosional dan fisik yang sehat itu agak mudah untuk menjadi percaya diri.
Ketika seseorang dapat terhubung dengan situasi kerja yang bahagia di mana mereka mampu bertahan hidup secara finansial saya pikir sangat mudah untuk menjadi percaya diri.
Ketika seseorang mampu memberikan dan menerima cinta sehingga mereka dapat mempertahankan hubungan yang sehat sangat mudah untuk menjadi percaya diri.
sungguh kepercayaan diri ternyata dibutuhkan waktu dan pengalaman yang sangat lama untuk terbentuknya, oleh karena itu ayo berbagi pengalaman agar bisa saling mengingatkan untuk membentuk kepercayaan diri
“Terima kasih. Tapi ide itu memuakkan.”
“Pikirkan ibumu, Pit. Kalau beliau tahu kau akan segera menikah,
denganku, orang yang selama ini dikenalnya sangat baik, sopan, hormat
kepada orang tua, ulet, tangguh…,” ia berhenti saat melihat raut
wajahku, “ibumu akan sangat bahagia, Pit. Pikirkan juga dirimu.”
Ia diam sejenak. “Aku janji akan menggandeng tanganmu di setiap pesta.
Di mana pun.”
Ucapannya begitu menyentuh hatiku hingga aku nyaris menangis terharu.
Kalau saja di antara bekas-bekas kekasihku ada yang mengatakan itu
kepadaku, aku pasti sudah lama sekali menikah, pikirku sebelum
menertawai diri sendiri. Perempuan yang tidak butuh seorang pelindung,
tapi haus digandeng tangannya. Aku pasti sama kurang warasnya dengan
Idan. “Apa aku harus menciummu?” tanyaku nyaris berbisik.
“Sesekali mungkin, kalau orang tua kita diam -diam mengawasi,” matanya
kembali tertawa. “Di pipi. Aku tidak akan melewati batas. Kalau kita
hanya berdua, kau bebas untuk meninjuku, menjambakku….”
“Idan,” teguran itu lebih lembut daripada yang kuinginkan dan Idan
tersenyum.
Suaranya bergetar. “Saya terima nikahnya Puspita Kirana binti Anwar Daud
dengan mas kawin tersebut, tunai.”
Dan wajahnya kelihatan sedikit pucat. Berapa lama ia tidur semalam? Apa
ia terjaga berjam-jam dalam gelap, memikirkan lelucon terbesarnya,
seperti aku yang nyalang nyaris sepanjang malam tadi?
Ibuku meneteskan air mata sementara senyum lebar memenuhi wajahnya. Ibu
Idan, walau menyaksikan dari kursi rodanya, juga tampak bahagia.
Seharusnya aku juga bahagia hari ini. Idan juga. Mungkin dengan orangorang
lain.
Tapi seharusnya
aku merasa
bahagia. Bukan
diam-diam mencatat
seperti
seorang
ilmuwan yang
teliti: perasaanku,
reaksi para
tamu, wangi
melati
dan wajah Pak Penghulu.
Pak
Penghulu menyuruhku menyalami suami baruku. (Simulasi, Upit, jangan
lupa
itu. Suami baru simulasi.) Tangannya dingin. Ekspresi wajahnya
aneh, kedua matanya gemerlapan dengan rasa takjub, saat aku mendongak
setelah mencium jemarinya. Ia mengecup dahiku dengan bibirnya yang yang
nyaris putih. Lalu kami berdua duduk berdampingan mendengarkan petuah
Pak Penghulu, Idan menunduk menatap pantalon putihnya dan mataku terpaku
pada kain batikku.
Akhirnya kuberanikan diri untuk berbisik, ”Kau pucat sekali.”
“Aku lapar. Tidak sarapan tadi pagi.”
“Terlalu nervous?”
“Telat bangun. Aku nonton bola sampai subuh.”
Aku tersenyum.
“Bagaimana aku tadi?” bisiknya.
“Meyakinkan. Berapa lama kau latihan?”
“Hanya waktu aku berpakaian tadi pagi. Catatan yang kau beri tercuci
dengan celanaku. Ah, Idan, Idan. Menikah dengannya tidak akan pernah
membosankan. Simulasi. Menikah simulasi dengannya tidak akan
membosankan, koreksiku.
Idan mengangkat tangannya menyuruhku diam, ”Simulasi”. Sekali lagi,
simulasi. Setelah itu kita akan menjadi suami istri —-simulasi—- sambil
mempelajari kenapa kebanyakan manusia yang normal dan waras begitu
berambisi untuk berumah tangga. Kalau pada akhir eksperimen kau merasa
yakin bahwa kerugiannya tidak sebanding dengan keuntungannya, kita
bercerai dan kau bisa hidup lajang, merdeka selama-lamanya. Kalau
ternyata kau kecanduan hidup sebagai istri, kita bercerai dan kau bisa
cari suami yang paling cocok untukmu. Anggaplah ini Sebagai tes untuk
melihat apa kau akan memilih menikah atau tidak. Tanpa komitmen, tanpa
penalti. Bagaimana?”
“Idan,” desisku. “Ini ide terbodoh yang pernah kudengar.”
“Semua gagasan jenius selalu diolok-olok pada awalnya,” sanggah Idan
mantap. “Pikirkan, Pit. Ini satu-satunya cara supaya kita bisa belajar
seperti apa pernikahan itu sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguh
menikah. Kau tidak mungkin melakukannya dengan laki-laki selain aku,
yang telah terbukti memiliki sifat ksatria, dapat dipercaya dan teguh
pendirian….”
“Serius, Idan, serius!”
“Dan kau sama sekali tidak melakukan pengorbanan apa pun. Kau tidak akan
mengalami kerugian apa pun.”
“Kecuali jutaan yang harus keluar untuk biaya pernikahan….”
“Simulasi,” Idan mengingatkan sambil mengangkat telunjuk.
“OK. Pernikahan simulasi,” geramku. “Dan aku akan menyandang status
janda setelah kita bercerai.”
“Simulasi.”
“Idan!”
“Upit!”
“Oh, Tuhan,” aku bangkit dengan marah dan beranjak keluar. Idan segera
menjejeriku.
“Upit, kau tidak perlu semarah ini,” katanya. “Apa aku sejelek itu di
matamu hingga kau bahkan tidak mau pura-pura menikah denganku?”
Aku berhenti berjalan dan menatap wajahnya. Dan menggeleng. “Biarpun
wajahmu seperti bunglon sekalipun, aku akan tetap memujimu di depan
perempuan malang manapun yang mencintaimu.”
Matanya berbinar. “Kau tidak marah lagi, kan?”
Aku menggeleng. “Aku bukan marah karena idemu, Dan. Aku tahu otakmu
memang selalu korslet tiap kali memikirkan jalan ke luar dari suatu
problem serius. Aku mengerti. Aku hanya kesal karena kau sepertinya
tidak peduli dengan masalahku.”
“Justru karena aku sangat peduli aku mengusulkan ini, Pit,” ekspresinya
tampak begitu tulus.
“Astaga,” gumam Idan. “Kalau itu terjadi padaku, siapa menurutmu yang
harus kubayangkan? Michelle Pfeiffer atau Nicole Kidman?”
“Gorila,” jawabku sekenanya dan Idan meledak tertawa.
“Idan,” keluhku. “Berhentilah tertawa. Aku bukan pelawak. Aku sedang
membicarakan masalah serius, dan aku sebal kau tertawai terus menerus.”
Wajahnya serta-merta menjadi serius. “Aku tidak menertawaimu. Kalau kau
benar-benar sahabatku, kau tahu beginilah aku menyikapi semua masalah,
yang tergenting sekalipun. Termasuk soal menikah. Cobalah. Kau akan
merasa jauh lebih baik. Kalau ibumu menanyakan calonmu sekali lagi,
tertawalah. Tertawalah keras-keras.”
“Idan, kau benar-benar tak tertolong lagi,” gumamku. “Aku perlu solusi,
Dan. Bukan ide-ide konyol.”
Idan membisu. Dan untuk beberapa waktu kami berdua sama-sama merenung.
Akhirnya, Idan bicara dengan hati-hati. “Pit, aku tahu ini akan
kedengaran gila. Tapi dengar dulu. Aku rasa saranku ini bisa
menyelesaikan kedua masalahmu. Pertama, ketidakpercayaanmu pada ras
laki-laki. Kedua, ketidakmengertianmu kenapa kau butuh seorang suami.”
Aku mengangguk, dalam hati bersiap-siap untuk mempertahankan mimik
seriusku walaupun ide yang akan dilontarkan Idan nantinya ternyata
kelewat sinting dan karenanya teramat sangat kocak.
“Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal, dan ini sangat sangat penting,
jadi aku perlu jawaban terjujurmu. Apa kau percaya kepadaku?”
Kutatap Idan dengan dahi berkerut. Ia telah jadi sahabatku selama
puluhan tahun. Banyak yang berubah dalam hidupku, dan setidaknya enam
lelaki telah hadir dan menghilang dari hidupku. Hanya Idan yang tak
berganti. Ia seakan-akan selalu siap mengulurkan tangan menolongku,
sementara sense of humor-nya tak pernah gagal membantuku keluar dari
depresi yang paling parah sekalipun. Kalau ada satu laki-laki di dunia
yang kuhadapi dengan skeptisisme nyaris nol, hanya Idan orangnya.
“Ya. Aku percaya kepadamu.”
“Kalau begitu, percayalah bahwa yang kulakukan ini semata-mata untuk
kebaikanmu. Percayalah bahwa aku sama sekali tidak memiliki niat jahat
terselubung di balik ideku ini. Percayalah.”
“Idan! ” potongku tandas. “Ide apa?”
“Aku ingin mengajakmu mengadakan sebuah eksperimen,” ia bicara dengan
hati-hati, kedua matanya terpancang pada ekspresi wajahku. “Kita akan
melakukan pernikahan.”
“Apa?”
“Simulasi!” lanjut Idan sesegera mungkin. “Tentu saja lengkap dengan
semua formalitasnya, lamaran, akad nikah, kalau perlu honey moon….”
“Bulan madu?”
“Berarti kau memang tidak bisa menikah. Tidak mungkin dan tidak akan.
Dan kalau kau memaksakan diri, kau akan merana. Dan kalau kau sengsara
kau akan makan makin banyak.
Dan kalau kau makan banyak-banyak kau akan”
“Idan!” walaupun nada suaraku keras, aku tak bisa menahan senyum
mendengar pernyataan konyol itu. Setelah dua puluh tahun menjadi
sahabatku, ia benar-benar telah memahamiku.
“Apa kau pernah berpikir tentang ibumu?” katanya kemudian. Seperti biasa
ia bisa menjadi sangat jenaka dan kemudian serius hanya dalam selang
waktu sepersekian detik. “Ia pasti sangat ingin kau segera mendapat
pasangan tetap.
Ia akan lebih tenang kalau tahu kau akhirnya punya
seseorang yang akan menemani dan melindungimu.”
“Jangan bicara begitu,” cetusku, kembali manyun. “Satu, ini hidupku
bukan hidup ibuku. Aku sedih kalau ibuku sedih. Tapi kalau suamiku
berkhianat, apa ibuku mau menanggung rasa malu dan sakit hatiku? Kedua,
aku tidak butuh pelindung.
Kau tahu aku bisa mengurus diriku sendiri.
Kalau itu yang aku butuhkan, aku bisa menggaji lebih banyak pembantu,
plus bodyguard kalau perlu.”
“Baik, baik, Tuan Putri. Hamba mengaku salah,” Idan membungkuk dalamdalam.
“Jadi,dengan asumsikau tidak sama sekali menihilkan kemungkinan menikah, apa yang ingin kau capai dengan itu?”
Aku tertunduk lemas.
“Itulah, Dan,” desahku. “Aku tidak tahu. Apalagi
yang aku butuhkan saat ini? Aku punya pekerjaan dengan masa depan yang
lumayan.
Jadi menikah untuk alasan ekonomi jelas-jelas bukan pilihan
untukku. Aku punya teman-teman diskusi, sahabat untuk berbagi, jadi
kesepian juga bukan alasan bagiku untuk menikah.”
“Bagaimana dengan keturunan?”
“Anak? Apa aku harus menikah untuk punya anak? Aku bisa mengadopsi bayi,
kan? Di luar sana banyak anak-anak yang tidak diinginkan orang tuanya.
Kalau aku mau, aku bisa mengasuh satu, dua atau bahkan tiga dari mereka.
Jadi tolong, jelaskan kenapa aku harus menikah, mempertaruhkan diriku
sendiri, mengambil risiko dilukai lahir dan atau batin. Tak ada
kepastian sama sekali bahwa pernikahan itu akan bertahan sepanjang
hidupku. Disamping itu, kalau pernikahan itu hancur di tengah jalan, aku
akan jadi pihak yang paling besar menanggung kerugian. Kenapa, Dan?
Untuk apa?”
Idan termenung agak lama. Akhirnya ia menjawab. “Cinta mungkin?”
“Kau terlalu banyak menonton film romantis ,” olokku. “Kau tahu berapa
lama cinta bertahan dalam suatu pernikahan?”
“Berapa lama?”
“Satu sampai tiga bulan. Setelah itu, toleransi, kompromi, frustrasi dan
imajinasi.”
“Imajinasi?”
“Kalau kau terjebak di dalam penjara dengan lelaki yang kau benci
sekaligus yang kau tahu membencimu, kau harus membayangkan menikah
dengan Richard Gere atau kau bisa jadi gila.”
“Itu kan sebenarnya alasanmu untuk tidak juga menikah?”
“Ya, ” gumamku enggan.
“Bukan karena kau sama sekali anti menikah.”
Aku menggeleng. “Jangan bilang siapa-siapa, tapi kadang-kadang aku
kepingin juga digandeng seseorang saat datang ke pesta.”
“Tapi kau bisa saja bergandengan dengan salah satu pacarmu kan?”
“Gandengan pacar itu lemah. Gampang putus,” komentarku pahit. “Maksudku,
aku mau orang yang sama menggandeng tanganku ke mana pun aku pergi.”
“Apa susahnya menggaji orang yang mau menggandeng tanganmu ke mana-mana?
Ini zaman susah. Banyak pengangguran.”
“Idan!” kuayunkan tanganku, tapi —-begitu hapalnya ia dengan reaksiku ia
menghindar sambil tertawa.
“Kau sadar kan kalau menikah itu lebih dari sekadar mengontrak
penggandeng tetap?” tanyanya kemudian, lebih serius.
“Ya. Justru itu. Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan orang yang
salah. Kalau saja,” aku terdiam.
“Apa?”
“Kalau saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap manis dan baik
hati setelah ia berhasil menikahiku. Bagaimana seorang perempuan bisa
tahu kalau lelaki yang merayunya ternyata suami yang payah? Yang suka
memukuli, mencaci maki, Menghina; orangnya pelit, cemburuan, suka
berbohong dan berkhianat.”
“Pit, laki-laki yang begitu sedikit sekali.”
Aku menggeleng. “Semua laki-laki binatang.”
“Bagaimana dengan aku? Aku laki-laki.”
“Kau bukan lelaki, Dan. Kau malaikat.”
Idan terbelalak. Didekapnya dada kirinya dan ia terkulai di kursinya.
“Idan!” desisku. “Nanti orang-orang memperhatikan kita!”
“Pit, kau sadar kalau aku belum mati? Aku harus mati dulu sebelum jadi
roh dan mengajukan lamaran menjadi malaikat,” dan ia kembali terkulai,
mata tertutup, lidah terjulur.
“Idan, Idan,” desahku. “Kalau kau memang mau menikah, berobatlah.”
Ia tergelak. “Dan kau. Kalau kau memang mau menikah, percayalah setidaktidaknya
pada satu orang saja dari golongan laki-laki.”
“Aku tidak bisa, Dan.”
Puspita tak percaya pada lembaga pernikahan, namun tantangan Idan untuk
membuktikannya tak bisa ditolak.
Maka mereka pun melakukan simulasi
pernikahan.
ku sungguh-sungguh tidak mengerti kenapa orang harus menikah,” gerutuku.
Idan tertawa. “Ibumu menanyakan calonmu lagi?” Aku mengangguk cemberut.
“Apa jawaban mu kali ini?” godanya.
“Aku tidak menjawab.
Aku langsung meninggalkan ruang makan dan masuk ke
kamar.”
Idan terbahak. “Kau kekanak-kanakan,” katanya.
“Habis jawaban apalagi yang mesti kuberikan, Dan? Aku sudah kehabisan
alasan, kehabisan stok bohong.
Dan ibuku malah makin gencar menteror.”
Idan tersenyum. “Kau benar-benar seperti anak-anak. Kalau kau jadi
ibumu, apa kau tidak akan blingsatan kalau anakmu belum juga menikah
pada usia tiga puluh tiga.”
“Aku akan sangat gembira kalau anakku tidak menikah seumur hidupnya,”
komentarku.
Alis Idan terangkat.
“Kenapa?”
“Pernikahan hanya memperumit hidup perempuan.”
“Pernikahan juga membuat hidup laki-laki lebih sulit.”
“Persis!” potongku. “Untuk apa menikah kalau yang kita dapat hanya
kesulitan?”
“Mungkin karena kesulitan itu hanya efek sampingnya, sementara
keuntungannya lebih banyak?”
“Sok tahu,” cibirku.
“Kau sendiri belum menikah. Apa yang kau tahu
tentang keuntungan menikah.”
“Aku sudah cukup banyak belajar, Pit. Umurku sendiri sudah tiga puluh
lima, kebanyakan teman-temanku sudah berkeluarga.”
“Tapi kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju kan kalau hidup sudah cukup
pelik tanpa perlu lagi menikah?”
Idan tersenyum.
“Ya, memang.”
“Lebih enak hidup seperti ini. Bebas!”
“Setuju. Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau menikah, lho. Aku
hanya masih menunggu calon yang pas.” Dan aku menghela nafas panjang.
“Ah, ya. Calon.”
Akhirnya adara bisa bikin blog sendiri,
dengan ini adara mau crita kegiatan adara selama ini juga
untuk nyimpen file-file yang adara rasa penting dan
gak bisa disimpan di komputer adara.
semoga adara bisa rajin nulis dan ngeposting jadi bisa
cepet terkenal blog adara ini.
dengan hal-hal baaru yang ada adara ingin makin banyak
belajar dalam masalah ngeblog sehingga adara bisa memberikan
tampilan yang sempurna didalam blog ini.
selain itu adara banyak menyimpan file yang harus adara
simpen dikomputer tapi kadang kompy ampe ngeluh karena kepenuhan, makanya adara mau simpan di blog ini biar gak ilang percuma, juga bisa
jadi tambahan informasi buat temen-temen bloger y
ang ingin mendapatkan informasi seperti yang adara miliki
gak usah panjang-panjang ah yang penting adara mau mulai nulis dari sekarang