6. Setelah Kau Menikahiku - “Terima kasih. Tapi ide itu memuakkan.”
“Pikirkan ibumu, Pit. Kalau beliau tahu kau akan segera menikah,
denganku, orang yang selama ini dikenalnya sangat baik, sopan, hormat
kepada orang tua, ulet, tangguh…,” ia berhenti saat melihat raut
wajahku, “ibumu akan sangat bahagia, Pit. Pikirkan juga dirimu.”
Ia diam sejenak. “Aku janji akan menggandeng tanganmu di setiap pesta.
Di mana pun.”
Ucapannya begitu menyentuh hatiku hingga aku nyaris menangis terharu.
Kalau saja di antara bekas-bekas kekasihku ada yang mengatakan itu
kepadaku, aku pasti sudah lama sekali menikah, pikirku sebelum
menertawai diri sendiri. Perempuan yang tidak butuh seorang pelindung,
tapi haus digandeng tangannya. Aku pasti sama kurang warasnya dengan
Idan. “Apa aku harus menciummu?” tanyaku nyaris berbisik.
“Sesekali mungkin, kalau orang tua kita diam -diam mengawasi,” matanya
kembali tertawa. “Di pipi. Aku tidak akan melewati batas. Kalau kita
hanya berdua, kau bebas untuk meninjuku, menjambakku….”
“Idan,” teguran itu lebih lembut daripada yang kuinginkan dan Idan
tersenyum.
Suaranya bergetar. “Saya terima nikahnya Puspita Kirana binti Anwar Daud
dengan mas kawin tersebut, tunai.”
Dan wajahnya kelihatan sedikit pucat. Berapa lama ia tidur semalam? Apa
ia terjaga berjam-jam dalam gelap, memikirkan lelucon terbesarnya,
seperti aku yang nyalang nyaris sepanjang malam tadi?
Ibuku meneteskan air mata sementara senyum lebar memenuhi wajahnya. Ibu
Idan, walau menyaksikan dari kursi rodanya, juga tampak bahagia.
Seharusnya aku juga bahagia hari ini. Idan juga. Mungkin dengan orangorang
lain.
Tapi seharusnya
aku merasa
bahagia. Bukan
diam-diam mencatat
seperti
seorang
ilmuwan yang
teliti: perasaanku,
reaksi para
tamu, wangi
melati
dan wajah Pak Penghulu.
Pak
Penghulu menyuruhku menyalami suami baruku. (Simulasi, Upit, jangan
lupa
itu. Suami baru simulasi.) Tangannya dingin. Ekspresi wajahnya
aneh, kedua matanya gemerlapan dengan rasa takjub, saat aku mendongak
setelah mencium jemarinya. Ia mengecup dahiku dengan bibirnya yang yang
nyaris putih. Lalu kami berdua duduk berdampingan mendengarkan petuah
Pak Penghulu, Idan menunduk menatap pantalon putihnya dan mataku terpaku
pada kain batikku.
Akhirnya kuberanikan diri untuk berbisik, ”Kau pucat sekali.”
“Aku lapar. Tidak sarapan tadi pagi.”
“Terlalu nervous?”
“Telat bangun. Aku nonton bola sampai subuh.”
Aku tersenyum.
“Bagaimana aku tadi?” bisiknya.
“Meyakinkan. Berapa lama kau latihan?”
“Hanya waktu aku berpakaian tadi pagi. Catatan yang kau beri tercuci
dengan celanaku. Ah, Idan, Idan. Menikah dengannya tidak akan pernah
membosankan. Simulasi. Menikah simulasi dengannya tidak akan
membosankan, koreksiku.
dan anda bisa menemukan artikel 6. Setelah Kau Menikahiku ini dengan url
http://adara-wpr.blogspot.com/2012/08/6-setelah-kau-menikahiku.html,
anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel 6. Setelah Kau Menikahiku ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,
namun jangan lupa untuk meletakkan link 6. Setelah Kau Menikahiku sebagai sumbernya.
0 comments:
Post a Comment