"Come on, why nan avete due posti per noi? Any flight, questo e molto
importante!" Wajah Ikanuri terlihat memelas.
Dulu Ikanuri jagonya soal menipu orang lain dengan wajah sok memelas.
Kak Laisa yang suka mengejar-ngejarnya dengan sapu lidi, berkali-kali tertipu
soal ini. Sok memelas sakit (malas sekolah). Sok memelas sakit (malas bantu
Mamak Lainuri). Sok memelas sakit (malas ngurus kebun). Sakitnya si bisa
macam-macam. Sakit kaki-lah. Sakit tangan. Bisul. Bahkan panu pun bisa jadi
alasan Ikanuri.
"Mi displace, tutti i voli dall'italia sono pieni da una settimana fa! Questa
settimana c'e la finale di Champions League!. Maaf, penerbangan kemanapun
dari Italia sudah penuh sejak seminggu lalu! Minggu ini final Liga Champion,
Senior! Seluruh jadwal penerbangan penuh dari Roma!"
"Ayolah! Bagaimana mungkin kalian tidak punya dua kursi untuk kami?
Di kelas apapun. Penerbangan apapun. Ini penting sekali! Dua tiket saja!"
"Senior tidak mengeri. Ini final Liga Champion—"
"Solo due biglietti?"
"Questa e la finale di Calcio—"
"Sepak bola sialan! Kenapa pula semua orang sibuk menonton 22 orang
berebut satu bola! Kenapa mereka tidak dikasih 22 bola juga saja!" Ikanuri
memotong kalimat gadis itu, meremas rambutnya. Memaki. Teringat kaos bola
titipan putrinya.
Ini juga gaya favorit Ikanuri waktu kecil dulu kalau menipu guru di kelas
(ketahuan bolos). Atau ketahuan mencuri uang di kelpeh plastik Mamak
Lainuri. Sok bego tidak mengerti. Ah, tapi sekarang ekspresi itu benar-benar
jujur. Lagipula sejak puluhan tahun silam, Ikanuri sudah insyaf. Kapok.
Mengerti benar maksud Kak Laisa yang suka berteriak, 'kerja keras!', 'kerja
keras!', 'kerja keras!'
"Bisa tolong cek jadwal penerbangan maskapai lainnya, please?"
Wibisana yang berdiri agak dibelakang Ikanuri menyibak maju ke depan.
Berusaha tersenyum ke gadis penjaga loket biro perjalanan di Bandara Roma
yang sejak tadi berkali-kali tersenyum tanggung menghadapi seruan-seruan
Ikanuri.
"Percuma, Senior, Benar-benar full. Anda lihat rombongan di sana!
Rombongan kedutaan negara Anda. Mereka hari ini juga ingin ke Jakarta. Tidak
ada lagi tiket tersisa. Tidak buat mereka. Juga tidak buat, Senior. Maaf—"
Gadis penjaga itu mencoba ikut bersimpati. Menunjuk lima orang yang
bergerombol diruang tunggu. Wibisana dan Ikanuri menelan ludah.
"Jadi apa yang harus kami lakukan?" Ikanuri bertanya putus-asa.
Gadis itu diam sejenak. Mengetikkan sesuatu.
"Kalau Senior mau, saya bisa melakukan reservasi penerbangan dari
bandara lain...." Menekan-nekan keyboard komputernya.
Wajah Ikanuri sedikit cerah oleh kemungkinan baik tersebut.
"Dari mana? Verona? Milan? Tidak masalah. Asal hari ini juga—"
"Maaf, bukan dari Italia, Senior. Tadi sudah saya bilang, malam ini
digelar pertandingan final Liga Champion di Roma, ditambah pula ini musim
kunjungan ke Vatikan, Sakramen Agung. Jadi seluruh penerbangan ke kota-kota
di Italia penuh. Juga negara-negara di sekitar. Vienna, Austria juga penuh.
Hm.... Paling dekat.... Ergh, dari Paris, Perancis! Mau??"
Perancis? Rona kabar baik itu seketika padam.
"ADUH, Intan lagi sibuk, Mi!" Gadis kecil itu menyeringai sebal. Merasa
terganggu.
"Intan harus pulang, sayang...."
"Kan bisa tunggu bentar, lagi tanggung, Bentar lagi juga bel!"
"Sekarang, Intan! Tadi Ummi sudah bicara sama Headmaster Miss Elly!
Intan boleh ijin selama diperlukan— "
"Yee, Ummi, Intan kan lagi ngurus Safe The Planet! Mana lagi seru-
serunya. Besok kan Intan mau keliling bawa-bawa gelang karet ke Pasar Induk
bareng teman-teman.... Mana boleh Intan ijin sekolah...." Gadis kecil yang gigi
atasnya sedang tanggal satu itu malas memberesi tas, penggaris, crayon, kertas
gambar, buku-buku, pensil di atas mejanya. Sengaja melakukannya pelan-
pelan.
Teman-teman kelasnya sibuk menoleh, menonton.
Dalimunte yang berdiri di belakang, tersenyum mengangguk. Berusaha
membuat nyaman teman-teman Intan, meski apa daya ekspresi mukanya jadi
terlihat aneh. Mereka baru saja tiba di sekolah alam itu. Menjemput putri
mereka persis di tengah pelajaran melukis—favorit Intan. Rusuh sejenak bicara
dengan kepala sekolah. Menjelaskan. Headmaster Miss Elly yang apa daya
nge-fans berat sama Profesor Dalimunte, jangankan soal sepenting ini, soal
Intan pilek sedikit saja langsung boleh ijin tiga hari, mengangguk. Tidak
masalah.
"Memangnya kita mau kemana sih, Mi? Mendadak benar!" Gadis kecil
berumur sembilan tahun itu memasukkan crayon biru terakhirnya ke dalam tas.
Menoleh ke wajah Ummi yang seperti tidak sabaran ikut membantu berberesberes.
Padahal sejak setahun terakhir mana pernah coba Ummi bantu-bantu
beres kamarnya, Intan kan sudah besar, bisa sendiri.
"Perkebunan strawberry!" Dalimunte yang menjawab, pendek.
"EYANG LAINURI?" Mata hitam gadis kecil itu membulat. Dalimunte
mengangguk, mengusap lehernya.
"HORE!!" Intan mendadak malah semangat menyeret tas sekolahnya
yang berat itu. Wajah malasnya tadi langsung sirna. Ia malah tidak perlu
ditunggu lagi, langsung maju ke depan. Membawa kanvas lukisnya. Pamitan ke
Miss Ani, guru kelas 5-nya (dua tahun terakhir Intan loncat kelas dua kali).
Lantas, tanpa diminta memimpin berjalan di depan Dalimunte dan Ummi
sambil melambaikan tangan ke teman-temannya.
"Eh, sebentar-"
"Apa sayang?" Langkah Ummi ikut terhenti.
"Gelang karetnya kelupaan! Intan kan mesti bawa gelang karet buat
Eyang! Biar pamanpaman yang ngurus kebun bisa pake gelang, biar mereka
pakai dua gelang setiap tangannya!" Ia nyengir, tertawa kecil, senang atas
idenya. Berhenti sejenak. Mendekati teman-temannya yang masih sibuk
menonton.
Dalimunte untuk ke sekian kalinya melirik jam di pergelangan tangan.
Mendesah. Semoga belum terlambat.
Ssilahkan dinikmati upload perbagian sesuai dengan kemampuan adara ya
thanks
Pengarang | Penulis: Novia Stephani Pemenang I sayembara mengarang cerber femina 2003 |
||
---|---|---|---|
Tamat | Ya |
Bagian dari Cerita Novel Setelah Kau Menikahiku :
1. Setelah Kau Menikahiku
2. Setelah Kau Menikahiku
3. Setelah Kau Menikahiku
4. Setelah Kau Menikahiku
5. Setelah kau Menikahiku
6. Setelah Kau Menikahiku
7. Setelah Kau Menikahiku
8. Setelah Kau Menikahiku
9. Setelah Kau Menikahiku
10. Setelah Kau Menikahiku
11. Setelah kau menikahiku
12. Setelah Kau Menikahiku
13. Setelah Kau Menikahiku
14. Setelah Kau Menikahiku
15. Setelah Kau Menikahiku
16. Setelah Kau Menikahiku
17. Setelah Kau Menikahiku
18. Setelah Kau Menikahiku
19. Setelah Kau Menikahiku
20. Setelah Kau Menikahiku
21. Setelah Kau Menikahiku
22. Setelah Kau Menikahiku
23. Setelah Kau Menikahiku
24. Setelah Kau Menikahiku
25. Setelah Kau Menikahiku
26. Setelah Kau Menikahiku
27. Setelah Kau Menikahiku
28. Setelah Kau Menikahiku
29. Setelah Kau Menikahiku
30. Setelah Kau Menikahiku
31. Setelah Kau Menikahiku
32. Setelah Kau Menikahiku
33. Setelah Kau Menikahiku
34. Setelah Kau Menikahiku
35. Setelah Kau Menikahiku
36. Setelah Kau Menikahiku (Tamat)
Akhirnya Tamat juga nantikan kisah lainnya ya kawan. Cerita ini berakhir sampai disini semoga bisa jadi hiburan buat temen-temen semua
"Ya Allah! Itu jelas-jelas Peregrin varian baru! Jenis baru.... Ini, ini berarti
Gold Level untuk bantuan penelitian kita. Thanks, God! Akhirnya. Akhirnya!
Seratus ribu dollar Amerika untuk konservasi mereka...." Gadis yang duduk
paling depan itu tertawa lebar, melepas teropong binokuler dari wajahnya.
Terlihat amat senang. Lega. Menghempaskan pantatnya ke bebatuan. Dua
temannya ikut mengangguk-angguk beberapa detik kemudian. Sepakat soal
varian baru tersebut setelah melihatnya lebih jelas dengan binokuler masing-
masing. Ikut tertawa lega.
Yashinta nama gadis itu. Team leader kelompok penelitian kecil burung
dan mamalia endemik. Selain peneliti dari lembaga penelitian dan konservasi
nasional di Bogor, ia juga koresponden foto National Geographic.
Mengumpulkan foto-foto alam yang indah dan insightfull untuk majalah itu.
Pagi ini, setelah berkutat seminggu di puncak Semeru, mereka akhirnya
berhasil menemukan sarang burung langka tersebut. Awal yang baik dari riset
berbulan-bulan ke depan untuk memetakan perangai dan tingkah-laku alap-alap
kawah varian baru. Proyek konservasi jangka panjang.
Yashinta meraih kamera SLR di tas pinggangnya. Senyum riang itu tak
kunjung lepas dari wajah memerahnya. Ini akan jadi foto yang hebat, desisnya
senang. Bisa jadi photo cover majalah. Membuka lensa kamera. Bersiap
mengambil foto induk Peregrin yang sedang memberi sarapan tiga anaknya.
Saat itulah, saat Yashinta sibuk mengarahkan lensa 600/6.4 mm, lensa dengan
kemampuan merekam tahi lalat di pipi soseorang dari jarak seratus meter,
telepon genggam satelit yang ada disaku celana gunungnya mendadak
berdengking-dengking.
Kedua temannya menoleh. "Ssst!" Menyeringai mengingatkan. Mana
boleh bersuara saat mereka mengamati burung. Lihatlah, meski jarak mereka
nyaris lima puluh meter dengan sarang alap-alap kawah, induk burung itu
mendadak menoleh. Terganggu.
Yashinta nyengir, maaf, buru-buru meraih HP-nya.
Yang berdengking adalah HP satelit urusan keluarga, yang selalu ia bawa
kemanapun pergi. Tiba-tiba jantung gadis itu berdetak lebih kencang. Dari
siapa? Ah-bukan, bukan itu pertanyaan tepatnya, tapi ada apa? Apa yang
terjadi? S-M-S? Itu pasti Mamak. Bukankah Mamak tidak pernah
menggunakan HP-nya? Tidak pernah terbiasa? Yang lain pasti selalu
menelepon. Kenapa pagi ini tiba-tiba Mamak mengirimkan SMS? Sedikit
terburu-buru Yashinta menekan tombol oke. Terbata membaca pesan 203
karakter tersebut. Seketika, hilang sudah senyum riang itu.
Seketika hilang sudah wajah menggemaskan kemerahan terbakar cahaya
matahari pagi di puncak Semeru itu. Yashinta dengan tangan bergetar
menurunkan kamera canggih SLR-nya. Menelan ludah, menyeka dahi, lantas
berbisik lemah, "Aku harus pulang! Aku harus pulang!"
Senyap. Gumpalan kabut yang membungkus puncak Semeru mendadak
membungkus sepi. Yashinta sudah bergegas turun dari tubir kawah. Sambil
jalan, sembarangan memasukkan peralatan ke dalam ransel. Tidak peduli
tatapan terperangah dua temannya. Tidak peduli dua ekor Peregrin lainnya
dengan anggun terbang mendekat ke sarang di batu cokelat. Tidak peduli.
Apalagi pemandangan hebat dari puncak gunung tertinggi di Pulau Jawa itu.
Yashinta berlarian menuruni lereng terjal.
Pulang. Ia harus segera pulang!
Itu pasti Kak Laisa! Itu pasti Kak Laisa! Yashinta menyeka matanya yang
mendadak basah, sambil terisak menangis, meluncur menuruni cadas bebatuan
secepat kakinya bisa.
Bergegas....
DUA PULUH RIBU kilometer dari langit malam kota Roma yang cemerlang
oleh cahaya. Di sini, pagi justru sedang beranjak meninggi. Pukul 06.00. Udara
berkabut. Putih membungkus puncak Semeru. Pemandangan luas menghampar
begitu memesona. Tebaran halimun yang indah. Empat gunung di sekitarnya
terlihat menjulang tinggi, mengesankan melihatnya. Berbaris. Gunung Bromo.
Tengger. Merbabu. Seperti serdadu. Uap mengepul dari kawah Semeru. Angin
mendesing lembut. Samudera Indonesia memperelok landsekap, terlihat
terbentang nun jauh di sana. Membiru. Sungguh pemandangan yang hebat.
Tangan yang memegang teropong binokuler berkekuatan zoom 25 kali itu
sedikit gemetar. Brrr.... Dingin. Suhu menjejak 4 derajat celcius di atas sini,
ketinggian 3150 meter dpl (di atas permukaan laut). Jaket tebal yang
membungkus, topi lebar, slayer besar tak membantu banyak. Hanya karena
terbiasa dan antusiasme tak terbilanglah yang membuat gadis berumur 34 tahun
itu tetap bertahan dari tadi shubuh persis di tubir kawah Semeru. Mukanya
seolah tidak peduli dengan dinginnya pagi, malah menyeringai oleh senyum
senang. Mata hitam indahnya bercahaya. Wajah cantik itu amat bersemangat.
Rambut panjangnya menjuntai, mengelepak pelan oleh deru angin pagi....
Ia sudah lama menunggu kesempatan ini. Dingin dan sukarnya trek terjal
pegunungan bukan masalah. Ia menguasai medan sulit seperti ini sejak kedl.
Dulu, sejak ingusan, ia belajar langsung dari jagonya.
"Arah pukul dua belas! Arah pukul dua belas!" Gadis itu tiba-tiba berseru tertahan.
"Mana? Di mana?"
"Lima belas meter dari bibir kawah. Dinding dekat batu cokelat! Batu
cokelat, bukan yang hitam." Gadis itu berbisik antusias ke teman-teman di
belakangnya, berusaha mengendalikan volume suaranya.
"Mana? Di mana?" Dua rekannya, cowok-cewek, dengan usia tidak beda,
dengan pakaian sama tebalnya bertanya lagi sambil beringsut mendekat.
Mengarahkan binokuler masingmasing ke arah yang ditunjuk gadis satunya
barusan.
"Batu besar arah jam dua belas! Batu besar cokelat—"
"Batu besar? Cokelat?"
"PKAAAK!" Lenguh suara nyaring itu sempurna sudah memecah hening
puncak Semeru. Bagai menguak kabut. Bagai membelah halimun. Membuat
wajah-wajah sontak tertoleh, mendongak.
"PKAAAK!" Sekali lagi membuncah pagi.
"Terbang! Ada yang terbang."
"Di mana? Di mana?"
"Arah pukul delapan. Di atas. Di atas, sebelah kiri!"
Gadis yang duduk paling depan, yang membungkuk di tubir kawah
Semeru itu berseru semakin tertahan. Wajahnya semakin antusias. Berbinarbinar
senang. Binokuler ditangannya bergerak gesit. Rambut panjangnya
bergerak anggun. Zoom in. Teropong model canggih itu berdesing oleh perintah
auto focus.
Persis di atas mereka, seekor burung alap-alap kawah gunung, dengan
bentang sayap berukuran 45 cm, bagai pesawat falcon, mungkin juga F-14
menderu melesat. Bukan main. Sempurna seperti sedang menyibak gumpalan
putih kabut. Bicara soal kecepatan dan manuver terbang, sumpah tidak ada
yang mengalahkan Peregrin, inilah sang penguasa kawah gunung. Bukan elang.
Bukan garuda. Bukan pula Rajawali. Tapi alap-alap (kawah). Merekalah
penguasa langit sejati. Burung yang hidup di tempat tertinggi di dunia. Di
tempat paling eksotis di seluruh muka bumi. Yang mampu terbang hingga ke
ketinggian pesawat terbang.
"PKAAAK!" Alap-alap kawah itu terbang melesat seolah hendak
menghujam ke dinding dekat gumpalan batu cokelat. Sarangnya!
Tiga orang yang mengawasi dari sisi lereng seberangnya melotot melalui
binokuler. Sungguh, pemandangan yang menakjubkan.
Gerakan tubuh alap-alap kawah itu persis bagai pesawat tempur yang
menyerbu. Dan sedetik sebelum tubuhnya seakan-akan hendak menghantam
dinding kawah, sayapnya terlipat ke belakang. Begitu anggun, begitu mulus,
kecepatannya berkurang dalam hitungan sepersekian detik. Lantas bagai
seorang ballerina sejati, sekejap, sudah mendarat sempurna. Perfecto!
Gadis yang duduk di depan menggigit bibir. Terpesona. Menghela nafas.
Sungguh pertunjukan atraksi alam yang spektakuler. Binokulernya mendesing.
Mode: full zoom in. Sekarang ia bisa melihat bulu leher Peregrin yang
kemerah-merahan seperti menatapnya dari jarak sedepa saja.
Kuku-kuku kaki tajam induk alap-alap kawah itu menggenggam mangsa
yang baru didapatnya pagi ini. Tiga ekor anaknya menyembul dari dalam
sarang. Ber-pkak, pkak lemah, meski riang. Paruh yang terjulur. Warna emas
itu. Positif! Tidak salah lagi!
PESAWAT AIRBUS 3320 milik maskapai penerbangan Italiano Sky itu
melesat membelah pesisir Eropa. Malam hari. Pukul 19.30 di sini. Speaker di
pesawat memperdengarkan suara merdu sang pramugari yang lembut menyapa
penumpang: "... Signore e signori, Vaereo atterera tra 5 minuti all'aeroporto di
Roma. Si prega di allaciare di cinture di skurezza... Informiamo i signori
pesseggeri che e tra Giacarta e Roma vi sono sette ore di differenza….. Senior
& Seniorita, pesawat akan segera mendarat di Bandara Roma lima menit lagi.
Harap kenakan sabuk pengaman Anda.... Perbedaan waktu Jakarta dan Roma"
"Bangun, Ikanuri!" Wibisana menyikut lengan adiknya.
Ikanuri menguap, menggosok matanya, "Sudah sampai?"
Wibisana mengangguk.
Wajah mereka berdua mirip sekali. Rambut. Matanya. Ekspresi wajah.
Bahkan bekas luka kecil di dahi. Bedanya, yang satu baretnya di sebelah kanan,
yang satu di sebelah kiri. Selain itu, nyaris 99,99% mirip, termasuk tinggi, lebar
dan bentuk perawakan tubuh. Jadi seperti sepasang kembar kalau mereka
berdiri berjajar. Padahal mereka sedikit pun tidak kembar, apalagi kembar
identik. Mereka berdua hanya lahir di tahun yang sama, terpisahkan sebelas
bulan. Yang satu beramur 34 tahun (Wibisana), yang satunya (Ikanuri) 33
tahun. Menariknya, meski Ikanuri lebih muda, dia lebih dominan dalam urusan
apapun dibanding Wibisana. Makanya orang-orang justru berpikir Ikanuri-lah
yang menjadi kakak.
"Kau mimpi apa?" Wibisana tertawa melihat wajah Ikanuri yang
mengernyit, berusaha mengusap-usap matanya yang sedikit merah.
"Biasa! Mimpi dikejar-kejar Kak Lais pakai sapu lidi! Sialan, kali ini ia
berhasil memukul pantatku! Sakit sekali — " Ikanuri menjawab seadanya,
nyengir. Pura-pura mengusap punggungnya. Ikut tertawa.
Demi mendengar celetukan adiknya, Wibisana tertawa lebih lebar. Bagian
itu kenangan masa kecil favorit mereka, olok-olok masa lalu yang
menyenangkan untuk diingat, meski telah berkali-kali diingatnya. Nyengir
lebar. Sementara Ikanuri sudah sibuk merapikan kemeja biru yang
dikenakannya. Membungkuk memasang tali sepatu. Tadi sengaja dilepas, agar
bisa rileks tidur di kursi penerbangan kelas ekonomi, yang tempat duduknya
ekstra sempit buat penerbangan jarak jauh.
"Ini apa?" Wibisana mendorong pelan laptop di atas tatakan meja, ikut
membungkuk, mengambil kertas yang tidak sengaja jatuh dari saku kemeja
Ikanuri saat memasang tali sepatu.
"Oo itu —, biasa titipan Juwita! Kau bacalah!"
"Papa, questi sono i miei desideri.. 1. Pizza, 2. Spagheti, 3. Miniatur
Colloseum, 4. Miniatur Menara Miring, 5. Kaos bola Del Piero, 6. Kaos bola
Totti, 7, Kaos bola Materazzi, 8. Kaos bola Zidane," Wibisana tertawa kecil
lagi, menghentikan membaca daftar panjang di kertas tergulung itu, "Haha,
bagaimana mungkin 'sigung kecil' itu tidak tahu kalau Zidane sudah tidak main
bola lagi di Juventus? Lagipula Zidane sudah lama pindah ke liga Spanyol,
bukan? Sudah pension pula sejak piala dunia. Tidak adalah kaosnya di sini—"
"Mana pula anak itu akan peduli," Ikanuri menerima kertas pesanan
tersebut dari Wibisana, melipatnya. "Kau tahu, Juwita seminggu terakhir
sengaja benar membuka buku pintarnya tentang Italia. Mendaftar semua
pesanan ini. Entahlah, sempat atau tidak membeli semuanya, apalagi kaos-kaos
bola ini. Buat apa coba Juwita titip kaos bola, jelas-jelas ia anak perempuan,
kan? Titipannya kali ini benar-benar akan merepotkan. Mungkin tidak semua
akan bisa kubelikan..."
"Kalau begitu, bersiap-siaplah melihat wajah sok merajuknya saat kau
nanti pulang!" Wibisana nyengir lebar, "Anak itu memang pintar membuat
orang lain susah.... Pandai menipu. Jago pura-pura merajuk. Haha, mirip benar
dengan tabiat buruk ayahnya waktu kecil."
Ikanuri mengusap rambut. Ikutan nyengir. Bergumam dalam hati,
Wibisana pasti juga mengantongi daftar puluhan pesanan yang sama dari
Delima, anaknya. Bukankah kemarin Juwita bilang, ia mengirimkan daftar
pesanannya ke Delima lewat email. Anak-anak mereka yang berumur enam
tahun itu mirip benar ayahnya masing-masing. Kompak urusan beginian, meski
sering sekali justru sibuk bertengkar saat sedang bermain bersama. Sebenarnya
perangai Delima-Juwita memang copy-paste perangai ayah-ayah mereka berdua
waktu kecil dulu.
Pesawat Boeing kapasitas dua ratus penumpang itu bersiap meluncur ke
landasan bandara. Gemerlap lampu kota Roma terlihat indah dari bingkai
jendela. Menawan. Wibisana melipat laptopnya.
"Kau sudah selesaikan revisi presentasinya?"
Wibisana mengangguk mantap, "Kali ini, petinggi pabrik itu tidak akan
menolak.... Kita akan memberikan lebih banyak keuntungan dibandingkan
perusahaan dari China itu!"
Ikanuri mengangguk kecil. Memasukkan kertas pesanan gadis kecilnya ke
saku. Menepuk-nepuk saku kemeja. Ini perjalanan bisnis yang penting.
Pembicaraan besok pagi di salah satu kedai kopi elit dekat Piazza de Palozzo
akan menentukan rencana ekspansi pabrik kecil milik mereka. Sebenarnya
dibandingkan pesaing raksasa industri China itu mereka tidak ada apa-apanya.
Pabrik butut itu tak lebih dari bengkel modifikasi mobil. Mereka hanya punya
modal nekad. Keberangkatan ini juga pakai acara pinjam uang Mamak Lainuri
segala. Ah, sejak kecil memang inilah yang mereka miliki. Nekad. Bandel.
Keras kepala. Di samping tentang teriakan 'kerja-keras', 'kerja-keras', 'kerja-
keras' yang selalu diocehkan Kak Laisa saat galak melotot sambil memegang
sapu lidi, memarahi mereka.
Sejak kecil Ikanuri dan Wibisana sudah kompak. Kakak-beradik yang
selalu bisa saling mengandalkan. Hari ini mereka berangkat ke Roma bersama-
sama. Menyelesikan tender hak pembuatan sasis salah-satu mobil balap
tersohor produksi Italia. Seperti biasa, pesaing mereka (juga pesaing
pengusaha-pengusaha lokal lainnya), datang dari negeri Panda, China. Mereka
sejak kecil selalu berdua. Tidak terpisahkan. Sekarang saja rumah mereka
berseberangan jalan. Dengan istri dan satu gadis kecil usia enam tahun masingmasing.
Delima dan Juwita. Bahkan, percaya atau tidak, Ikanuri dan Wibisana
menikah di hari, tempat, dan penghulu yang sama. Delima dan Juwita juga lahir
di hari yang sama. Jadi meski tidak kembar secara biologis, Ikanuri dan
Wibisana lebih dari 'kembar'.
Lima menit berlalu, burung besi berukuran jumbo itu mendarat dengan
mulus di landasan. Penumpang yang seratus persen sudah terjaga bergegas
menurunkan tas-tas dari bagasi. Bersiap turun setelah penerbangan belasan jam.
Menggerak-gerakkan badan. Berusaha mengusir pegal.
"Biar aku saja yang menghubungi mereka!" Ikanuri yang melihat
Wibisana mengeluarkan HP-nya, ikut mengeluarkan dua telepon genggam
miliknya. Satu untuk urusan bisnis. Satu untuk urusan keluarga. Dua-duanya
dikeluarkan. Perlahan menekan tombol ON. Menyalakannya. Tadi saat
keberangkatan, galak sekali pramugari pesawat menyuruh penumpang
mematikan HP. Yeah, penumpang dari Indonesia memang bebal bin bandel soal
beginian. Mereka lupa, maskapai yang mereka naiki bukan maskapai domestik
kelas kampung yang cuek dengan standar internasional keamanan penerbangan.
"Mereka berjanji menjemput di bandara, bukan?" Wibisana duduk
kembali, membiarkan penumpang lain bergegas turun duluan.
"Yap, tenang saja, Italiano Silsilia itu pasti akan menjemput kita. Kalau
tidak, paling sial kita nyasar lagi di negeri orang, haha," Ikanuri tertawa,
menunggu dua telepon genggamnya booting. Dua detik berlalu. Lantasmenekan phonebook.
Tetapi sebelum dia melakukannya, HP untuk urusan keluarganya keburubergetar duluan. SMS. Juga bergetar di saat bersamaan HP milik Wibisana. Itu
juga HP urusan keluarga. Siapa? Ikanuri dan Wibisana menelan ludah. Saling
bersitatap satu sama lain. Siapa yang mengirimkan SMS? Hanya ada enam
orang yang tahu nomor itu, dan mereka berdua diantaranya.
Keliru. Bukan dari siapa pertanyaan tepatnya Ikanuri dan Wibisana
barusan. Tapi lebih tepat: ada apa? Apa yang terjadi? Wajah mereka berduamendadak mengeras, cemas, SMS? Ini pasti Mamak Lainuri. Yang lain past
selalu menelepon jika ada urusan penting. Bukankah seumur-umur Mamak
tidak pernah mengirimkan SMS. Menggunakan HP-nya saja, Mamak tak mahir
benar. Jika Mamak yang kirim, ini pasti penting sekali.
Tangan Ikanuri dan Wibisana sedikit terburu-buru menekan tombol open.
Gagap membaca kalimat-kalimatnya. Menggigit bibir. Terdiam. Lantasbersitatap lemah satu sama lain lagi. Satu detik. Dua detik. Lima detik. Senyap.
Berdiri diam di antara sibuknya gerakan 198 penumpang beranjak turun. Danseperti sontak diperintahkan, mereka berbarengan melangkah mendekat
pramugari. Mendorong-dorong penumpang lain. Bersikutan. Lupa sudahdengan koper-koper. Lupa sudah dengan janji pertemuan bisnis yang penting
besok pagi. Lupa dengan segalanya.
Ikanuri terbata berkata: "Il Volo.. per Jakarta.. C'e un volo per Jakarta
questa sera?"
Apa ada…penerbangan kembali ke Jakarta... malam ini juga?
Fortuner, kendaraan SUV yang dikeluarkan oleh produsen Toyota Astra Motor
Kali ini, adara akan membahas mengenai si SUV tangguh nan Seksi ini.
Dengan tenaga VNTurbo yang dibekalinya pada varian terbaru Fortuner kali ini.
Dengan tagline dari Toyota Fortuner itu sendiri, “The World Is Mine”
Dunia akan menjadi milik anda, melibas jalanan Ibukota seperti melibas di jalanan milik anda sendiri.
Dengan perubahan pada mesinnya, yang dahulu menggunakan mesin 2 KD – FTV. Digantikan menjadi mesin terbaru 2 KD – FTV VN Turbo.
Tanpa takut harus memikirkan kendaraan rusak melibas jalanan yang rusak di jakarta.
Apalagi anda tidak harus memikirkan akan kemacetan jakarta dan bensin yang anda gunakan.
Karena Fortuner terbaru sudah dilengkapi VNTurbo. Yang Irit serta ramah lingkungan.
Dan anda akan terlihat gagah ketika menggunakan mobil ini, hoodscoop
yang disematkan pada kap mesin dari toyota fortuner yang akan menjadi
faktor utamanya.
Untuk lebih detailnya, silakan menuju Spesifikasi lengkapnya pada situs Astra Toyota Motor : Toyota Fortuner
berfungsi lagi. Mati—"
Dalimunte sengaja berhenti mendadak. Sejenak. Tersenyum. Meraih gelas
besar di hadapannya. Meminum seteguk-dua teguk. Membasahi
kerongkongannya. Membiarkan rasa haus ingin tahu menggantung di langit-
langit ruangan. Tapi entah kenapa, saat semua peserta bersiap menunggu
gagasan hebat, jawaban atas pertanyaan itu, menunggu penjelasan apa yang
akan disampaikan profesor muda di depan mereka. Saat Dalimunte telah
meletakkan kembali gelasnya. Kembali menunjuk slide yang terpampang di
layar LCD raksasa. Bersiap menjelaskan progress penelitiannya. Dalimunte
malah mendadak terdiam. Pelan menurunkan kembali tangannya yang
memegang pointer layar LCD.
Telepon genggam di saku celananya mendadak bergetar.
"Maaf, sebentar—" Dalimunte tersenyum tanggung ke peserta
simposium. Siapa? Menelan ludah. Ini ganjil sekali. Dia punya dua telepon
genggam. Satu untuk urusan kampus, lab dan lain-lain, yang lazimnya
dinonaktifkan dalam situasi simposium seperti ini. Satu lagi untuk urusan
keluarga, yang selalu stand-by apapun alasannya. Hanya ada enam orang yang
tahu nomor telepon genggam urusan keluarganya. Siapa?
Keliru. Bukan dari siapa tepatnya pertanyaan Dalimunte barusan. Namun:
ada apa? Apa yang sedang terjadi?
Wajah Dalimunte seketika mengeras, cemas.
Sedikit terburu-buru meraih telepon genggam. SMS. Kenapa harus
dengan SMS? Jika penting bukankah bisa langsung menelepon? Itu berarti
Mamak Lainuri yang mengirimkan. Mamak tak pandai benar berbicara lewat
HP, selalu merasa aneh. Setetah terdiam sejenak menatap layar HP, Dalimunte
gemetar menekan tombol open. SMS itu terbuka. Gagap membaca kalimatnya.
Menggigit bibir. Menyeka dahi yang berkeringat. Terdiam lagi satu detik. Dua
detik. Lima detik. Lantas dengan suara amat lemah berkata pendek di depan
speaker. "Maaf. Cukup sampai di sini— "
Kalimat yang membuat seluruh ruangan simposium itu riuh. Seketika.
Gaduh. Seruan-seruan kecewa.
Dalimunte sudah turun dari podium. Tidak peduli kalau Anne, si
moderator yang cerewet buru-buru bangkit dari kursinya, mendekat, coba
bertanya apa yang sedang terjadi. Tidak peduli beberapa koleganya juga ikut
mendekat, ingin tahu. Tidak peduli dengung suara lebah. Apalagi kilau blitz
kamera wartawan yang sejak tadi rakus membungkus tubuhnya. Tidak peduli.
Dalam hitungan detik Dalimunte sudah menggenggam tangan istrinya yang
berkerudung biru. Berbisik dengan suara bergetar. Lantas melangkah keluar
dari ruangan. Bergegas.
Meninggalkan berlarik tanya dari lima ratus peserta simposium
internasional fisika itu. Bagaimana dengan gelombang elektromagnetik tadi?
“Spektakuler! Anda tidak akan pernah menemukan kemampuan teknologi
sehebat itu hari ini! Belum. Kita yang amat bangga dengan kemajuan
peradaban, bahkan tidak bisa memindahkan fisik sebutir telur dengan apapun
itu wahana dan caranya, kecuali di film-film, yang aktornya lantas seolah-olah
ketinggalan kaki, tangan, atau telinga—" Dalimunte menyeringai.
Ruangan itu sejenak ramai oleh tawa.
".... Kita sejauh ini hanya bisa bangga dengan kode binari. Transfer data.
Jaringan telekomunikasi. Internet dan sebagainya, Tapi tidak untuk teknologi
memindahkan fisik sebuah benda. Lantas, bagaimana mungkin kita tidak
mewarisi teknologi hebat sahabat Nabi Sulaiman tersebut setelah ribuan tahun
berlalu? Bagaimana mungkin tidak ada penjelasannya dan kita sekadar
mempercayai kalau itu kondisi luar biasa. Karomah. Keajaiban. Bukankah
kepercayaan itu sebuah rasionalitas ilmiah? Seperti halnya bulan yang terbelah.
Tentu saja ada penjelasan masuk akal atas transfer fisik kursi tersebut, harus ada
penjelasan ilmiahnya, kita saja yang belum tahu. Atau mungkin tidak akan
pemah tahu.
“Nah, masalahnya kenapa kita tidak mewarisi penjelasan penting
tersebut? Jawabannya, mungkin saja karena peradaban, kemajuan teknologi itu
persis seperti siklus naik turun. Masa-masa silam, masa-masa itu, manusia
pernah menguasai berbagai teknologi hebat tersebut, malah mungkin pernah
memiliki rumus sederhana seperti rumus phytagoras untuk menjelaskan
bagaimana memindahkan kursi ke tempat lain. A kuadrat sama dengan B
kuadrat plus C kuadrat. Tapi entah oleh apa ilmu pengetahuan itu kemudian
musnah. Seperti roda yang berputar, peradaban manusia kembali lagi ke titik
terendahnya....
“Analog dengan hal itu, dan akan dibuktikan dengan serangkaian
penelitian ilmiah kami, jadi sama sekali tidak mengherankan jika saat dunia
menjelang masa senjanya, kita juga akan kehilangan senjata-senjata hebat yang
ada sekarang dalam pertempuran besar itu. Dan dunia kembali ke peperangan
dengan tangan, dengan pedang. Peperangan konvensional. Itu benar-benar
masuk akal. Itu sesuai dengan kabar dari berbagai translasi religius ini....
“Maka pertanyaan pentingnya sekarang adalah: oleh apa? Oleh apa kita
akan kehilangan ilmu pengetahuan dan berbagai teknologi canggih tersebut?
Kemana menguapnya akumulasi ilmu pengetahuan yang hebat itu? Inilah poin
terpenting penelitian Badai Etektromagnetik Antar Galaksi yang akan
menghantam planet ini sebelum hari kiamat. Yang membuat berbagai peralatan
elektronik, listrik, dan kemajuan teknologi lainnya seolah 'membeku', tidak
translasi religius ini, sepertinya kemungkinan-kemungkinan yang saya sebutkan
tadi amat berlebihan, sejauh ini belum ada buktinya. Kabar peperangan besar
tersebut sepertinya memang akan sesederhana itu. Benar-benar sesederhana itu.
Saya menyimpulkan demikian: sesederhana itu...”
“Maka, pertanyaannya jika semua teknologi senjata tadi tidak digunakan
saat pertempuran akhir jaman, lantas ke manakah ilmu pengetahuan yang telah
diakumulasi beratus-ratus tahun oleh manusia? Apakah seolah-olah kemajuan
ilmu pengetahuan seperti siklus naik turun? Apakah ketika hari kiamat tiba,
peradaban manusia justru sedang kembali ke titik apa adanya?" Dalimunte
diam sejenak. Menatap seluruh ruangan.
Mengesankan melihatnya membanjiri peserta simposium dengan berbagai
pertanyaan, entah lima ratus peserta itu mengerti atau tidak. Terus menyajikan
dengan cepat berbagai slide, termasuk pertanda dari berbagai kitab suci lainnya.
Beberapa peserta simposium yang tidak terlalu mengerti transkripsi religius
yang terpampang di layar raksasa LCD menandai besar-besar catatannya
(berjanji dalam hati: nanti akan dicari tahu penjelasannya). Sama seperti dengan
beberapa peserta yang tidak tahu, lupa, atau malah sama sekali tidak mengerti
tentang mukjijat bulan terbelah oleh Nabi penutup jaman di majalah 'Science'
sebelumnya.
Ruangan besar simposium fisika itu lengang, hanya suara pulpen
menggores kertas yang terdengar.
"Apakah seolah-olah kemajuan ilmu pengetahuan seperti siklus naik
turun? Hadirin, jawabannya adalah: Ya! Jika kita ibaratkan, maka peradaban
manusia persis seperti roda. Terus berrputar. Naik turun. Mengikuti siklusnya.
Ada suatu masa, ketika kemajuan ilmu pengetahuan mencapai puncaknya,
manusia menguasai teknologi-teknologi hebat, lantas entah oleh apa, mungkin
karena peperangan, bencana alam, atau karena entahlah, di masa-masa
berikutnya kembali meluncur ke titik terendahnya.... Jika kita ingin berpikir
sejenak, siapa bilang ribuan tahun silam manusia masih primitif? Masih
boddoh? Tidak mengenal teknologi telepon selular? Internet? Penerbangan ke
bulan, dan sebagainya?
"Ingat, disadari atau tidak, ada fakta religius yang tertulis indah di kitab
suci: Salah seorang sahabat Nabi Sulaiman, maksud saya Solomon buat hadirin
yang mengenalnya dengan nama itu. Saya garis bawahi, saat itu, seorang
manusia, pernah bisa memindahkan dalam sekejap sepotong kursi dari satu titik
ke titik lainnya yang berjarak ratusan kilometer sebelum mata sempat berkedip!
Seorang manusia.”
“Kau akan sedih, kecewa ….” Aku mengangguk.
“Kau tidak mencintaiku.” Aku menggeleng.
Idan terbelalak. “Upit!” pekiknya tertahan. “Idan!”
Tamat
Penulis: Novia Stephani
Pemenang I sayembara mengarang cerber femina 2003
Ada, puisi nih dari seorang sahabatku
baca deh lembar terakhir ini Salam,
Ku tahu sebaik apapun ku berusaha
Ku hanya manusia biasa
Yang penuh lupa dan dosa
Tapi pada-Mu ya Rabb ku pinta
Siapapun bidadari yg kau siapkan untukku
Semoga ku bisa menjadi yang terbaik baginya
Karena ku tahu ya Rabb ku
Dialah yang terbaik untukku
Dan semoga ya Rabb
Semoga Dalam naungan cinta-Mu
Kita dapat bersama
Dan selalu saling mengingatkan
Untuk sebuah cinta suci mulia
Agar dapat kembali bersua,
Di surga-Mu
“Ita! Kau tidak …. Dengar, pikir baik- baik. Menurutmu, kalau kau
tersiksa hidup dengannya, ia akan bahagia?”
“Aku tidak merasa menderita menjadi istrinya.”
“Tapi kau tidak bahagia!”
“Aku bahagia, Pram. Mungkin tidak seperti saat aku bersamamu. Tapi Idan
membuatku bahagia.”
“Kau tidak bisa melakukan ini, Ta. Kau hanya kasihan kepadanya. Sebentar
lagi kau akan berubah pikiran dan saat itu kau akan menyesal karena
membuang kesempatan ini.”
“Aku bisa belajar memaafkan diriku sendiri.”
“Ita, kau tidak mencintainya!”
“Ia mencintaiku. Itu lebih dari cukup.”
“Kau hanya bingung, Ta. Aku mengerti. Tapi apa kau lupa kalau aku sangat
mencintaimu?”
“Aku tidak pernah akan lupa, Pram.”
“Lantas apa yang membuatmu berubah pikiran secepat ini?”
“Idan mengajariku tentang cinta.”
“Hanya karena itu?”
“Juga karena aku yakin, aku akan belajar mencintainya.”
“Ita ….”
“Selamat tinggal, Pram. Mudah-mudahan kau akan sebahagia aku nantinya,
atau mungkin lebih bahagia lagi.”
Telepon kututup sebelum air mataku luruh.
“Upit.”
Aku tersentak dan berbalik seketika. Entah sudah berapa lama Idan
berdiri di belakangku. Wajahnya penuh tanda tanya dan ia menggeleng
perlahan sambil duduk di lantai di sisi kursiku.
“Kenapa?” tanyanya.
Aku tak bisa menjawab. Air mataku menetes satu-satu dan dengan lembut ia
menyeka pipiku dengan jarinya.
“Aku tak bisa melihatmu begini ,” lanjutnya pelan. “Ini keputusan yang
sangat konyol, Pit. Kau benar-benar akan membiarkan kesempatanmu berlalu
sekali lagi?”
Aku mengangguk.
“Dia akan membuatmu sangat bahagia, Pit.” Aku mengangguk.
“Kau akan menyesal.” Aku mengangguk.
sama lain... Ahya, maaf, saya tidak akan membahas soal mirip tidaknya, itu
urusan pakar, ahli agama yang relevan. Biar mereka yang menjelaskan kalau
sebenarnya kabar tersebut bersumber dari satu muasal. Penelitian fisika terbaru
kami hanya bertujuan memaparkan fakta ilmiahnya—"
"Salah satu berita yang membuat kita tercengang adalah kabar
peperangan besar, yang dikenal beberapa agama lain dengan sebutan
Armageddon. Pertempuran hebat. Penyerbuan. Penguasaan wilayah.... Menarik.
Amat menarik. Karena salah satu diantara kita mungkin pernah melipat dahi,
bagaimana mungkin begitu banyak sumber dalam berbagai riwayat sahih
terpercaya justru menyebutkan peperangan besar itu akan dilakukan dengan
pedang, dengan tangan? Jika kalian berkesempatan membaca, maka akan
menemukan berbagai translasi religius menulis begitu. Pertempuran satu lawan
satu.... Nah, pertanyaan bodohnya adalah: lantas di mana teknologi nuklir hari
ini? Di mana senjata pemusnah massal? Satelit? Senjata kimia? Bioteknologi?
"Bagi semua yang pemah mendengar cerita tentang tanda-tanda akhir
jaman, bukankah seolah-olah masa itu kembali ke masa-masa pertempuran
konvensional? Berita tentang ulat-ulat yang dikirimkan dari langit? Keluarnya
dua pasukan jahat yang menghabiskan seluruh air sungai yang mereka lewati?
Pepohonan yang menyembunyikan bangsa Yahudi— maaf jika ini terlalu
detail—" Dalimunte tersenyum, tapi heberapa peserta simposium yang datang
dari sekutu Negara bersangkutan tidak terlalu berkeberatan dengan kalimat itu,
lebih asyik melihat layar LCD raksasa di depan.
"Kita semua tahu, translasi itu sama sekali tidak menyinggung soal
senjata-senjata pemusnah massal. Nuklir misalnya! Ingat kasus Nagasaki dan
Hiroshima, perang dunia ke-2. Dua kali tembak, selesai sudah! Bagaimana
mungkin di akhir jaman nanti orang-orang seolah lupa menggunakan teknologi
hebat itu? Apalagi hari kiamat mungkin baru terjadi ratusan tahun, atau ribuan
tahun lagi. Kita tidak bisa membayangkan akan secanggih apa teknologi senjata
saat itu? Jadi jika benar-benar terjadi Armageddon, apa susahnya melepas dua
tiga rudal berhulu nuklir jutaan kiloton ke daerah musuh? Selesai sudah. Atau
jangan-jangan dua tiga ratus tahun ke depan manusia malah sudah bisa
membuat koloni pertama di Mars! Jangan-jangan maksud peperangan tersebut
adalah peperangan antar planet. Jangan-jangan Ya'juj dan Ma'juj yang dikurung
di suatu tempat oleh Dzulkarnen itu, yang hingga hari ini kita tidak tahu di
mana lokasi tembok penjaranya justru datang dari planet lain. Masuk akal
bukan—"
"Tetapi ternyata tidak. Terlepas dari bagaimana menafsirkan berbagai
Ia mengangkat bahu. “Tidak cukup untuk kau cintai.”
Sesaat aku hanya bisa terdiam, menatap kedua mata Idan, mencari tanda-
tanda kalau semua ini hanya salah satu dari sekian banyak permainannya.
Tapi ia kelihatan sungguh-sungguh.
“Kenapa kau katakan semua ini kepadaku waktu kita akan berpisah seperti
ini? Apa yang kau inginkan?” tanyaku datar.
Idan tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam senyumnya, sesuatu yang tak
pernah kutemukan sebelumnya. “Aku sendiri tidak tahu kenapa aku mesti
mengatakan semua ini kepadamu. Aku hanya ingin kau tahu aku mencintaimu.
Bukan karena aku masih berharap kau akan mencintaiku juga. Sekarang
tidak ada bedanya lagi. Tapi aku ingin kau tahu kalau kau tetap memiliki
cintaku, apapun yang terjadi, bahkan jika akhirnya kau benci kepadaku
atau melupakanku sekalipun.”
Ia tertunduk sesaat. Ada sorot yang asing berpijar di matanya saat ia
kembali menatapku. “Dan kalau kau tanya apa yang kuinginkan, aku ingin
kau di sini bersamaku, seumur hidupku. Aku ingin kau belajar dan
akhirnya benar-benar mencintaiku, mungkin tidak akan pernah sedalam dan
separah cintaku kepadamu, tapi setidaknya kau tidak lagi menganggapku
hanya sekedar sahabatmu, tapi juga kekasihmu. Aku ingin mencintaimu
lebih dari yang pernah kutunjukkan.”
Ia menghela napas berat. “Tapi itu semua keinginanku. Bukan kemauanmu.
Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu juga.”
Lama kami berdua saling berpandangan.
“Terima kasih, Dan,” desahku akhirnya. Kupeluk ia erat-erat,
menyembunyikan air mataku di bahunya.
“Aku sudah bicara dengan Idan, Pram. Tapi aku terpaksa menunda proses
perceraian itu. Idan baru saja kehilangan ibunya. Rasanya tidak pantas
bicara soal perceraian saat ini.”
“Berapa lama?”
“Entahlah. Sebulan dua bulan mungkin.”
“Kau tahu waktu kita sangat terbatas, Ta. Aku tidak bisa menunda
kepulanganku ke Jerman. Dan aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke
sini lagi. Mungkin tidak dalam setahun atau dua tahun ke depan. Dan kita
akan kehilangan waktu yang mestinya bisa kita lewati berdua.”
“Aku tahu, Pram. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan sekarang. Dia
membutuhkan aku.”
“Aku lebih membutuhkanmu dari dia, Ta. Dan pikirkan dirimu sendiri. Apa
kau tidak ingin kita bisa seterusnya bersama?” Aku menghela napas
panjang. “Entahlah, Pram, ” bisikku.
“Apa maksudmu?” suara Pram terdengar kaget.
“Aku …. Aku tidak akan bahagia kalau Idan menderita.”
terselip di ingatan dan lalai di catat takut benar terlihat sebagai orang paling
bodoh dalam ruangan simposium fisika internasional tersebut. Ini lima belas
menit yang penting.
".... Seperti yang telah kalian baca di jurnal tersebut bulan dibelah dua
sudah menjadi fakta religius ratusan tahun silam. Salah-satu mukjijat Nabi
penutup jaman. Ada banyak perdebatan, ada banyak penelitian yang justru
mencoba membuktikan kalau itu semua keliru. Ternyata tidak. Keajaiban itu
memang pernah terjadi! — Bagaimana mungkin ada satu potongan translasi
religius yang keliru? Kitab suci keliru? Hadist yang salah? Sungguh lelucon
yang tidak lucu. Itu tidak mungkin terjadi!" Profesor Dalimunte dengan muka
serius menunjuk slide gambar bulan terbelah dua di layar LCD raksasa depan
ruangan.
"Tapi seperti yang saya bilang tadi, untuk kedua kalinya maafkan saya,
karena hari ini saya memutuskan untuk tidak membicarakan penelitian yang
sudah dimuat dengan baik oleh jurnal populer yang selama ini sekuler dan
diskriminatif, 'Science'. Kalian bisa membaca sendiri seluruh buktinya di
majalah tersebut, dan jika masih ada pertanyaan, kolega dan staf saya di
laboratorium dengan senang hati membalas e-mail pertanyaan, pesan, ajakan
diskusi, atau apapun dari kalian....
“Hari ini sesuai kesepakatan dengan panitia simposium lima menit setiba
saya di sini, saya akan menyajikan pembuktian fakta religius penting lainnya.
Bukan tentang bulan, tapi isu yang lebih besar. Lebih mendesak untuk
disampaikan. Perubahan topik ini sebenarnya kabar baik bagi kalian, karena
kalian akan menjadi orang pertama yang mendengarkan progress penelitian
terbaru kami: Badai Ekktromagnetik Antar Galaksi menjelang hari kiamat...."
Slide bergerak cepat. Sekarang memunculkan sebuah translasi kitab suci.
Wajah-wajah dalam ruang besar nampaknya tidak terlalu keberatan dengan
perubahan topik yang mendadak tersebut. Buru-buru mencoret judul catatan di
atas kertas.
Profesor Dalimunte tersenyum lebar menatap sekitar dengan rileks. Lima
ratus undangan. Lima ratus ahli fisika dari berbagai penjuru dunia. Meski tidak
terlalu menyukai publisitas, dia amat terlatih untuk urusan mengendalikan
massa seperti ini. Dulu dia belajar dari guru terbaiknya.
"Pernahkah dari kita bertanya tentang detail kabar tanda-tanda hari akhir?
Hari kiamat? Membacanya? Mendengamya? Pasti pernah. Dan setidaknya bagi
siapapun yang masih mempercayai janji hari akhir tersebut, maka tidak peduli
dari kitab suci agama manapun, berita-berita tersebut boleh dibilang mirip satu
kuabaikan. Aku belajar bahwa dalam pernikahan, bila kita tidak
mendapatkan apa yang kita inginkan tidak selalu berarti kekalahan, tapi
boleh jadi suatu kemenangan bersama.”
Aku ingin menambahkan bahwa pernikahan membutuhkan cinta dan kesetiaan
seperti gurun memerlukan air, tapi aku tidak punya nyali untuk
menyatakan semua itu.
“Kau memang selalu pintar bicara,” Idan tersenyum.
“Kau sendiri? Apa yang kau pelajari selama ini?”
“Hanya satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah sebahagia ini lagi
setelah kau pergi.”
Aku tertegun. “Apa maksudmu?”
Idan bangkit dan duduk mencangkung menatapku. “Tahun ini adalah saat
paling bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi dan mendengar
suaramu, aku jadi berpikir aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia
ini. Dan setiap malam waktu aku pulang dan kau tersenyum menyambutku,
aku merasa aku jadi manusia paling beruntung di seluruh jagad raya. Aku
jadi sangat terbiasa dengan kehadiranmu bahkan mulai berharap kau akan
bersamaku terus, walaupun harapan itu, aku tahu, konyol. Tapi kalau kau
mencintai seseorang seperti aku mencintaimu, kau akan kehilangan akal
sehat.”
Kutatap wajah Idan lekat-lekat. Ia tidak kelihatan sedang bercanda. Ia
tampak sangat tenang dan serius.
“ Aku masih belum mengerti,” bisikku.
“Pernikahan ini tidak pernah hanya sebuah simulasi untukku, Pit. Ini
adalah pernikahan sesungguhnya untukku.”
“Apa maksudmu kau mencintaiku ?” suaraku tercekik.
“Apa yang tidak kau pahami? Aku mencintaimu,” kata-kata Idan begitu
lugas, menghantamku seperti sebuah pukulan keras yang membuatku
terempas. “Aku mencintaimu sejak kau memarahiku karena nyaris melindas
kelincimu, dua puluh tahun yang lalu, waktu kita masih sama-sama belasan
tahun. Dan aku tidak pernah bisa berhenti mencintaimu hingga kini.”
“Kau … kau tidak pernah ….”
“Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau selalu sedang jatuh cinta
dengan orang lain atau patah hati karena orang lain, dan kau selalu
datang kepadaku menceritakan semuanya. Aku tahu aku bukan lelaki
idamanmu. Aku tidak menggambar. Tidak menulis puisi. Kalau kau bilang
sebuah lukisan itu bagus, aku tidak mengerti kenapa. Aku bukan jago
pidato dan calon ketua OSIS yang kau gilai di SMA. Aku bukan aktivis
kampus yang membuatmu mabuk kepayang waktu kuliah dulu. Aku terlalu
biasa-biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan, memalukan dan aku
benci kau kasihani. Tapi selama ini aku benar-benar tidak punya
keberanian, belum lagi kesempatan, untuk berterus terang kepadamu.”
“Kau tidak pernah biasa-biasa saja, Dan,” ujarku lirih. “Kau istimewa
dengan caramu sendiri.”
dengan busana rapinya. Gelang itu macam gelang karet yang bertulisan
'solidarity forever', 'united for all', 'long live friendship', yang sedang trend di
anak muda.
Itu gelang pemberian Intan, putri sulungnya yang berumur sembilan
tahun. Bertuliskan, 'Safe The Planet!' Minggu-minggu ini, Intan menjadi ketua
panitia 'Earth Day' di sekolah. Memaksa siapa saja mengenakan gelang itu. Satu
gelang bernilai sumbangan 5.000 perak. Nanti uangnya buatbeli tong sampah
yang bakal dikirim ke daerah-daerah korban bencana alam. Makanya Intan
sibuk benar berpromosi. Termasuk ke Eyang Lainuri (malah seminggu lalu
mengirimkan selusin gelang ke perkebunan strawberry buat tukang-tukang
kebun); buat apa coba di pedalaman indah nan sederhana itu penduduknya
pakai gelang? Ah, Intan memang keras kepala soal proyek "Safe The Planet" -
nya, lihatlah satu gelang juga terpasang rapi di leher hamster belang miliknya,
meski yang bayar lima ribu perak, ya Ummi.
Profesor Dalimunte memperbaiki speaker di atas podium. Pelan
mengetuk-ngetuknya. Berdehem. Tepukan mereda. Peserta konvensi perlahan
duduk kembali. Menatap antusias ke depan.
"Baik, pertama-tama, terima-kasih atas perkenalan yang hebat, panjang,
dan superlengkapnya. Meski saya pikir kau agak berlebihan dengan
menceritakan bagian romantisme pertemuan itu, Anne!" Dalimunte
menganggukan kepala kepada moderator, tersenyum, "Tapi terima kasih atas
sentuhan keluarganya: profesor muda kita tetap hidup dengan segala
romantisme bersama keluarga kecilnya.... Anne, setidaknya dengan kalimat
terakhir itu, kau membuatku terlihat sedikit lebih manusiawi. Bukan seperti
daftar penelitian yang kulakukan sepanjang tahun: sistematis, serius, dan kaku.
Ya, profesor fisika juga manusia biasa, bukan—"
Tertawa. Ruangan besar itu ramai oleh tawa.
"Hadirin, sebelumnya maafkan saya untuk dua hal...." Profesor Dalimunte
mengusap wajahnya yang sedikit berkeringat, "Pertama karena saya hanya
punya waktu lima belas menit untuk memenuhi segala keingintahuan kalian.
Saya harap itu cukup setelah hampir enam bulan kalian menunggu kesempatan
ini. Kalian tahu, ada banyak pekerjaan di laboratorium, belum lagi dengan
segala tenggat waktunya. Di samping itu, kalian tahu persis, saya tidak terlalu
menikmati dikelilingi puluhan wartawan dengan kameranya. Semua popularitas
ini.... Jadi ijinkanlah saya untuk memulai langsung topik kita hari ini—"
Wajah-wajah terlihat semakin antusias. Tangan-tangan wibuk
menggenggam pulpen bersiap mencatat. Takut benar ada fakta terucap yang
“Maaf, Pit,” bisiknya. “Aku tidak bisa menangis di depan kakak-kakakku.
Mereka ….”
“Aku tahu. Tidak apa-apa ,” tanganku masih gemetar saat aku mengelus
rambutnya. “Aku buatkan teh panas, nanti kau minum, ya.”
Ia mengangguk dan aku beranjak meninggalkannya. Ketika aku kembali, ia
kelihatan agak lebih baik. Dihirupnya sedikit teh yang kubawa. Wajahnya
tidak lagi pucat setelah itu. Ketika aku merapikan kembali selimutnya,
ia memegang tanganku.
“Terima kasih.”
“Kau pernah melakukan lebih dari ini untukku.”
“Bukan untuk tehnya. Untuk tidak memberiku pernapasan buatan,” ia
tersenyum nakal.
“Oh, kau!” aku ikut tersenyum, lega.
“Dan untuk menikah denganku,” lanjut Idan kemudian, ekspresinya begitu
serius. “Setidak-tidaknya sebelum meninggal, Mama bisa tenang karena
mengira aku sudah beristri. ”
Aku tertegun sesaat. Suaraku goyah dan terbata saat aku bicara, “Aku
yang mesti berterima kasih kepadamu.”
“Untuk apa?”
“Untuk setahun yang kau lewati denganku. Untuk kesabaranmu.
Pengorbananmu.”
Idan tersenyum kecil. “ Aku tidak melakukan apapun yang tidak kusukai.
Ini setahun yang sangat menyenangkan untukku. Seharusnya aku yang
berterima kasih.”
“Jangan memaksa,” aku mencoba bercanda. “Aku yang harus berterima kasih.
Mengalahlah sedikit.”
Idan tersenyum dan mencubit hidungku. Tangannya tidak sedingin tadi dan
itu melenyapkan sisa-sisa kekhawatiranku.
“Aku masih tidak mengerti kenapa kau akhirnya mau terlibat dengan ide
gilaku ini ,” katanya.
“Entahlah, Dan,” aku tertawa kecil. “Mungkin aku sudah sangat capai
berkilah tiap kali ibuku merongrong soal perkawinan. Dan aku melihat
usulmu itu sebagai jawaban yang pal ing jitu untuk menyelesaikan dua
masalah sekaligus, keenggananku un tuk menikah, karena tidak ada calon
yang pas; dan keinginan ibuku y ang menggebu-gebu untuk segera melihatku
menikah.”
“Apa yang kau dapat setelah setahun kita menikah?” tanyanya dengan mimik
lebih serius.
Aku terdiam sejenak. “Banyak,” jawabku akhir nya. “Aku belajar bahwa aku
tidak menikah dengan malaikat atau monster, tapi dengan manusia, yang
punya kekurangan yang harus kumaafkan dan keistimewaan yang tidak bisa
plenary hall menayangkan paras cantiknya.Mengangguk anggun. Sedikit
bersemu merah.
"Ada yang berminat mendengar kisah indah pertemuan mereka?"
Moderator menyeringai lebar.
Hampir seluruh peserta simposium meski tertarik, menggdeng. Mereka
jauh-jauh datang dari berbagai universitas ternama ke ruangan besar itu jelas-
jelas ingin mendengarkan paparan mutakhir temuan fisika, bukan celoteh
moderator.
"Baiklah karena kalian memaksa, maka dengan senang hati saya akan
menceritakan bagian tersebut..."
Wajah-wajah terlipat. Gumam keberatan.
"Keluarga yang hebat meski tidak menyukai publisitas...."
"Masa kecil yang penuh perjuangan... kalian tahu, Profesor kita sudah
membuat kincir air setinggi lima meter saat ia masih kanak-kanak...."
".... Perkenalan di kontes fisika, terpesona oleh kecantikan remaja...
Profesor kita mengejar hingga ke Bandara, haha...."
Lima menit berlalu, peserta simposium mulai jengkel
".... Perkebunan strawberry yang indah...."
".... Masa kecil yang begitu mengesankan...."
Satu-dua peserta sengaja mulai berdehem (lebih keras).
".... Baik, baik." Akhirnya gadis di podium menyadari ruangan mulai
gerah, tersenyum lebar tidak-sensitif, "Karena saya pikir kalian sedikit mulai
tak-sabaran mendengar perkenalan yang sebenarnya amat penting dari saya,
baiklah, hadirin, berikan sambutan yang paling meriah, inilah salah-satu
profesor fisika termuda, ternama, yang pernah ada di negeri ini, profesor
kebanggaan kita, Profesor Da-li-mun-te!"
Tepuk-tangan bak dikomando menggema bagai dengung lebah.
Pemuda berumur 37 tahun itu tersenyum lebar.
Melepas genggaman mesra, berbisik lembut ke istrinya. Berdiri. Lantas
melangkah sigap menuju podium. Dengan langkah panjang-panjang.
Rambutnya tersisir rapi mengkilat. Matanya tajam memandang, Rahangnya
kokoh. Eskpresi wajahnya meski santun menyenangkan seperti yang dibilang
moderator cerewet itu, sebenamya terlihat keras mengiris, sisa gurat masa kecil
yang tidak selalu beruntung.
Hari ini Profesor Dalimunte mengenakan kemeja krem. Rapi seperti
biasa. Meski 'gelang karet' gaya anak muda di tangan kanan membuatnya
terlihat lebih kasual, untuk tidak bilang sebenarnya sedikit tidak matching
Idan kutemukan di sana, sedang mengisap sebatang rokok. Ia sudah tujuh
belas tahun berhenti merokok dan melihatnya kembali pada kebiasaan itu
membuatku sadar ia sedang bergelut dengan kepedihan yang lebih dalam
dari yang ditunjukkannya. Ketika aku mendekat, kulihat asbak di
sampingnya telah penuh dengan puntung rokok dan kotak di atas meja
tinggal berisi sebatang.
Kucabut rokok itu dari antara jemarinya dan kubunuh di asbak. Idan tidak
memprotes, ia bahkan tidak menatapku. Aku sadar Kak Ira memang benar.
Aku harus segera membawa Idan jauh-jauh dari semua kenangan tentang
ibunya.
“Aku mau pulang, Dan, ” ujarku sambil memegang tangannya.
Ia menggeleng pelan. “Aku akan menginap di sini. Kau pulanglah sendiri.
Besok aku pulang naik bus saja.”
“Aku tidak mau sendirian di rumah.”
Idan menghela napas berat dan akhirnya bangkit. Ia berpamitan kepada
kakak dan iparnya dan keluar untuk mengambil mobil. Saat itu Kak Ira
menggamit tanganku dan berbisik, ” Aku senang Idan sudah menikah
denganmu. Kau pasti bisa menghiburnya dalam saat-saat seperti ini. Ia
paling merasa kehilangan dengan meninggalnya Mama. Kau tahu, ia tinggal
dengan Mama selama tiga puluh tiga tahun.”
Aku terpana sesaat. Dadaku ngilu. Kupeluk Kak Ira dengan hati menggigil.
Bagaimana bisa kukatakan kepadanya bahwa aku dan Idan sudah sepakat
untuk mengakhiri pernikahan ini secepatnya?
Sesampai di rumah, Idan langsung menuju ke kamarnya.
“Kau mau kumasakkan nasi goreng, Dan?”
“Nanti saja. Aku tidak lapar.”
“Kau tidak makan apa-apa dari kemarin subuh. Nanti kau sakit. Mau ya?”
Idan mengangguk dengan mata hampa. Aku jadi semakin khawatir melihatnya.
“Tunggu di sini,” ujarku lagi. “Aku tidak akan lama.”
Ketika aku baru saja mengambil telur dari lemari es, aku mendengar suara
Idan di kamar mandi. Ia kutemukan membungkuk di wastafel, menangis dan
muntah hampir bersamaan. Untuk sesaat kepanikan melumpuhkanku dan aku
hanya bisa terpaku di ambang pintu, tak pasti apa yang harus kulakukan.
Insting pertamaku adalah lari keluar mencari bantuan. Tapi aku tidak
mungkin meninggalkan Idan dalam keadaan seperti itu.
Kuhampiri Idan dengan ragu. Perlahan kuelus punggungnya dan sentuhanku
agaknya sedikit menenangkannya, dan lambat laun isaknya mereda. Ini
membuatku lebih yakin dengan apa yang mesti kulakukan selanjutnya.
Kupijat tengkuknya dan kuseka keringat di dahinya. Tapi tiba-tiba saja
ia terkulai lemas, dan kalau aku tidak segera meraihnya ke dalam
pelukanku, ia pasti akan terpuruk ke lantai. Pelan-pelan kupapah ia ke
kamar dan kubaringkan di ranjang. Kubuka kemejanya yang basah dan
kuselimuti badannya yang menggigil.
ruangan besar dipenuhi sensasi yang diinginkannya. Terpesona. Ingin tahu.
Rasa kagum Sejenis itulah.
"Well, meski kalau dipikir-pikir sebenarnya pembuktian hebat atas bulan
yang pernah terbelah itu tidak terlalu mengejutkan kita, bukan? Hanya soal
waktu dia akan membuktikannya. Mengingat profesor muda kita adalah orang
pertama di negeri ini yang berkali-kali menulis di jurnal paling prestisius dunia
itu. Mendapat pengakuan dari berbagai institusi penelitian dunia, dan selalu
konsisten berusaha membuktikan berbagai transkripsi dan sejarah religius dari
sisi ilmiahnya...."
Muka-muka yang memadati ruang konvensi besar itu terlihat semakin
bercahaya oleh antusiasme. Seperti anak kecil yang dijanjikan mainan baru.
Atau seperti anak kecil yang melihat penuh rasa ingin tahu toples penuh gula-
gula. Menunggu tak sabaran moderator yang terus ngoceh tentang fakta yang
sebenamya mereka sudah tahu semua. Termasuk jurnal itu. Tadi pagi dibagikan
gratis ke seluruh peserta.
".... Namanya terdaftar dalam 100 peneliti fisika paling berbakat di dunia.
Dan tidak berlebihan jika mantan koleganya di Princenton University berandaiandai
dia akan menjadi salah-satu kandidat kuat penerima nobel fisika beberapa
tahun ke depan. Jadi buat peserta yang tidak sempat mengenalnya secara
langsung, hari ini setelah enam bulan berusaha menculiknya dari jadwal
laboratorium yang tidak masuk-akal, dari berbagai penelitian yang serius,
sistematis dan kaku... hari ini dengan bangga kami hadirkan sosok yang
sebaliknya memiliki wajah dan kepribadian santun menyenangkan ini...." Gadis
moderator itu tersenyum lebar, terlihat amat senang membuat seluruh peserta
simposium menunggu tak sabaran kalimat-kalimat perkenalannya.
Menikmati posisinya sebagai 'penguasa' jadwal acara.
"Ah-ya, soal wajah dan kepribadian yang santun menyenangkan? Kalian
tahu, yang menarik ternyata bukan hanya wajah profesor ini yang terlihat
santun menyenangkan. Well, di tengah kesibukannya sebagai peneliti, pakar,
dan apalah namanya yang serba serius dan menuntut banyak waktu itu, profesor
muda kita tetap hidup dengan segala romantisme bersama keluarga kecilnya.
Lihatlah, hari ini dia datang dengan istrinya yang terlihat cantik, selamat siang Nyonya!"
Muka-muka tertoleh. Penuh rasa ingin tahu. Mereka belum pernah
melihat istri sang Profesor, meski dengan begitu banyak publisitas selama ini.
Tersenyum. Wanita cantik berkerudung yang duduk di sebelah sang Profesor,
baris kedua dari depan itu ikut balas tersenyum, layar LCD raksasa di depan
“Kau tidak mendengarkan. Apa yang sedang kau pikirkan?”
“Aku sedang berpikir, gadis mana yang bisa kuajak selingkuh, supaya kau
punya alasan untuk bercerai denganku.”
Malam itu aku terbangun saat Idan mengguncang bahuku. “Pit, bangun!”
“Ada apa?” gumamku . Jam alarm di sisi ranjangku baru menunjukkan pukul
tiga lima belas dini hari.
“Ganti baju cepat, kita mesti ke rumah sekarang. Mama meninggal.”
Aku terlonjak duduk. “Apa?”
“ Ganti baju,” perintah Idan sambil meninggalkan kamarku.
Aku terpaku sejenak sebelum akhirnya lari mengejar. “Kapan.”
“ Baru saja.”
“Di?”
“Rumah. Ganti bajumu. Kita berangkat lima menit lagi.”
“Idan ….”
Ia membanting pintu kamar di depanku.
Aku kembali ke kamarku dan bergegas mengganti piyamaku dengan baju yang
pantas. Ketika aku keluar, semua lampu belum menyala dan pintu depan
masih tertutup. Juga pintu kamar Idan. Kuketuk pintu itu perlahan.
“Dan, aku sudah siap.”
Tidak ada jawaban.
Aku menyelinap masuk. Kamar Idan gelap, tapi dengan cahaya samar lampu
taman aku bisa melihatnya meringkuk di sudut, wajahnya tersembunyi di
balik kedua tangannya. Ia menepis tanganku, bahkan mendorongku
terjungkal saat aku menyentuh bahunya. Tapi ketika untuk ketiga kalinya
kuulurkan tanganku, ia tidak lagi menghindar, dan dalam rangkulanku ia
menangis.
Hanya saat itu Idan tidak bisa mengontrol emosinya. Setelah itu ia
kembali menjadi Idan yang rasional dan berkepala dingin, yang mengurus
pemakaman, menerima para tamu dan menghibur keempat kakak perempuannya
dengan ketenangan yang nyaris mengerikan.
Sore harinya, saat aku tengah membantu merapikan kembali ruang tamu,
kakak tertua Idan, Kak Ira, menghampiriku.
“Pit, bawa Idan pulang.”
“Apa tidak sebaiknya dia di sini dulu, Kak?”
Kak Ira menggeleng. “Coba lihat sendiri,” katanya sambil menunjuk ke
halaman belakang.
"HADIRIN yang kami hormati, tiba saatnya kita mengundang ke atas
panggung, seseorang yang sudah kita tunggu-tunggu sejak tadi. Seseorang yang
seolah-olah akan – maaf – membuat lima profesor sebelumnya terasa
membosankan dan membuat mengantuk"
Tertawa. Ruangan besar itu buncah oleh tawa.
".... Banyak sekali catatan hebat yang dimilikinya, tapi anehnya, meski
banyak, sekarang kita sama sekali tak perlu menyebut satupun. Ah, bukan
karena akan merepotkan membaca daftar super-panjang itu, tapi buat apa lagi,
semua sudah hafal, bukan? Jadi buat siapapun di ruangan besar ini, siapapun di
antara lima ratus peserta Simposium Fisika Intemasional ini yang tidak
mengenal sosoknya. Yang, oh, betapa malangnya peserta itu—" Tertawa lagi.
"Buat peserta malang itu, saya akan memperkenalkan pembicara utama
simposium kita hanya dengan memperlihatkan cover sebuah majalah: Science!"
Dengan sedikit dramatis, moderator simposium fisika itu sengaja mengangkat
tinggi-tinggi majatah yang dimaksud.
"Inilah jurnal ilmu-pengetahuan terkemuka di dunia. Yang memiliki
reputasi paling hebat di antara sejenisnya. Lihatlah edisi bulan ini, edisi terbaru!
Terpaksa menurunkan laporan tidak lazim, utuh sebanyak 49 halaman, hmm,
itu bisa dibilang hampir seperempat tebal majalah ini.... Kenapa saya sebut
tidak lazim? Karena laporan ini sungguh tak biasa bagi banyak ahli fisika yang
kebanyakan sekuler. Apalagi untuk konsumsi publik di negara-negara Barat
sana. Judul penelitiannya adalah: 'Pembuktian Tak Terbantahkan Bulan Yang
Pernah Terbelah'.
Kepala-kepala menyeruak. Berebut ingin melihat lebih jelas.
"Penelitian yang amat mengesankan, mengingat hari ini, ketika
kehidupan sudah begitu tidak-pedulinya dengan fakta-fakta dalam agama,
pembicara utama kita siang ini justru datang dengan sepuluh bukti bahwa bulan
memang pernah terbelah 1.400 tahun silam dalam hasil penelitian mutakhirnya.
Bukan main. Lengkap tak terbantahkan, sebagai salah satu mukjijat Nabi
penutup jaman. Benar-benar terbelah dua seperti kalian sedang membelah
semangka, bukan penampakan sihir, apalagi ilusi mata seperti yang dituduhkan
dan dipahami banyak orang sejak dulu. Lantas setelah dibelah, dua potongan
bulan tersebut disatukan kembali, seperti bulan yang biasa kita lihat sekarang.
Itu benar-benar pernah terjadi!" Moderator itu berhenti sejenak. Membiarkan
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Cinta adalah sebuah anugrah terindah dari kehidupan manusia … membahagiakan jika mereka merasakannya. Setiap insan manusia merindukan arti sebuah cinta yang tulus dari pasangannya tapi kecintaan kepada Alloh adalah sebenar benarnya cinta.
Allah Berfirman Dalam Al-Qur'an:
“… Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya …” (Q.s. Al-Maidah 5:54).
Ketika seseorang telah merasakan apa itu jatuh cinta maka hal terbaik yang harus dilakukannya adalah membangun cinta, ya... menjadikan Cinta bukan lagi sekedar kata benda, namun kata kerja yaitu Mencintai!
Sayangnya, tidak semua mengembalikan Cinta pada sang Pencipta,tidak semua memasrahkan Cinta pada sang Pencinta, Mengaku Cinta, namun tidak banyak yang TULUS...karena Cinta bukan ditunggu, namun diupayakan...
Sesaat mencoba meresapi, benarkah Cinta dan Benci itu berbeda sangat tipis??
Karenanya baginda nabi saw menasehatkan,
" .Cintailah kekasihmu dengan sederhana, boleh jadi engkau akan membencinya pada suatu ketika. Dan bencilah orang yang engkau benci dengan sederhana, boleh jadi engkau akan mengasihinya pada suatu ketika. "
(HR At-Turmuzi)
Jauh lebih menyakitkan saat merasa kehilangan rasa cinta, rindu, perhatian, cemburu, dari seseorang yang kita cintai, daripada kehilangan karena kematian (atau terpisah jarak). Jika kehilangan semua rasa itu, jasadnya ada tapi “tiada”, sedang kehilangan karena kematian, cintanya tetaplah ada. Karena kata Baginda Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam, “seseorang akan bersama yang dicintai.”
(HR Muslim)
Keseluruhan dari orang yang kita cintai adalah milik Sang Pencipta, dan melalui kekasih-Nya, dalam sabdanya, telah dijanjikan, bahwa kita akan bersama dengan orang-orang yang kita cintai. Jadi cukupkan diri dengan janji tuhan, jika kita yakin bahwa cinta tak akan hadir tanpa kehendak-Nya, dan tak akan hilang tanpa kehendak-Nya pula.
Abdullah bin Masud ra., ia berkata:
“ Seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw. dan berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang mencintai suatu kaum namun dia belum dapat bertemu dengan mereka? Rasulullah saw. menjawab: Seorang akan bersama orang yang dicintai.”
( HR Muslim )
Setiap insan ingin mendapatkan pasangan terbaik dalam hidupnya bagaimana menjadikan pasangan itu mencintainya sebuah pertanyaan yg penuh dengan berbagai jawaban….
Cinta!, cinta adalah hadiah terbesar dari Allah SWT untuk anak-anak Adam. Tanpa cinta, orang bagaikan kayu kering.
~ "* BUAT AKU JATUH CINTA PADAMU *"~
Buat aku jatuh cinta padamu....
Wahai kau yang kan menjadi pasangan tulang rusukku….
Dengan sebuah cinta yang tulus karena Illahi robbi....
Bukan dengan harta atau parasmu....
Bukan dengan buaian untaian kata-kata manismu....
Bukan dengan perhatianmu padaku....
Karena kau belum halal bagiku....
...Buat aku jatuh cinta padamu...
Dengan indahnya akhlak dan budi pekertimu....
Melabuhkan cintamu pada Allah melebihi cintamu padaku....
...Buat aku jatuh cinta padamu...
Dengan ajak aku berlomba dalam sebuah kebaikan....
Teguh dengan jihad yang kau tegakkan....
Berikan semangat berjuang menegakkan Islam....
Buat aku jatuh cinta padamu....
Dengan Menjadi sosok pribadi tegar menghadapi ujian kehidupan....
Ikhlas dan sabar atas teguran yang Allah berikan....
Selalu ingatkan aku jika niat tulus mulai pudar....
Agar semakin menguatkan aku pada jalan istiqomah....
...Buat aku jatuh cinta padamu...
Dengan sikapmu yang Selalu merindui syahid di jalan Illahi....
Pantang bagimu berpaling dari hati Ya Robbul Izzati....
Tunjukkan bahwa dirimu menautkan hatimu pada Illahi....
Agar tidak terjatuh dalam jurang cinta nafsu duniawi....
...Buat aku jatuh cinta padamu...
Dengan cintaimu kepada Allah karena dia adalah segalannya....
Kau buat dirimu mampu mengorbankan apa saja karena-Nya....
Kau jadikan kecintaan pada Tuhan adalah yang utama....
Kau mampu menderita demi kecintaanmu pada-Nya....
Ketika kecintaan itu hadir sebuah karunia indah bisa mendapatkannya… kecintaan kepada Allah adalah sebenar benarnya cinta… yang tulus ikhlas memberikan cinta tanpa berharap ia akan terbalaskan… jika sebuah hubungan didasari kecintaan karena Allah maka ia akan senantiasa terasa indah…
Allah Berfirman Dalam Al-Qur'an:
“… Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya …” (Q.s. Al-Maidah 5:54).
Ya Allah... yang membolakbalikan hati kami selama ini aku memang pernah tau bagaimana rasanya mencinta.
Namun, aku berharap bila cinta hadir menyapaku lagi aku tidak akan kehilangan Engkau.
Ya Allah.... selama ini aku hanya berharap semoga bisa mencintai orang yang memiliki cinta yang luar biasa kepada-Mu.
Ya Allah... selama ini aku juga berharap semoga bisa di cintai oleh orang yang bisa mengarahkanku menuju keridhoan-Mu.
Pintaku ya Allah...
Izinkan aku memiliki rasa ini hingga ia menjadi indah di dada kami tanpa mengurangi rasa cinta kami kepada-Mu....
Aamiin..........................
Silahkan Di Tag/Share Berbagi Dengan Yang Lainnya Semoga Bermanfaat.
Jazakumullahi Khayran Katsir.
Wa Barakallahu Fiikum.
Salam Senyum Santun Erat Ukhuwah Fillah.
****
Idan mulai berayun-ayun pelan sambil menggenggam tanganku. Ia sedang
menceritakan sebuah kejadian lucu di kantornya, tapi aku sama sekali tak
mendengarkan. Di kepalaku berdenging ribuan kata-kata yang akan segera
kuucapkan padanya. Aku telah berlatih dalam hati untuk mengutarakan
segalanya, tegas dan jelas. Tapi sekarang, semua ketetapan hati yang
telah kubangun runtuh berserpihan.
“Pit, kau tidak menyimak kata-kata Pak Guru, anak nakal,” teguran Idan
membuyarkan renunganku. “Ada apa?”
Kutatap matanya. “Dan, Pram pulang.”
Dahinya berkerut. “Pram?”
“Pacarku yang pergi ke Jerman.”
“Oh,” ia mengangguk. “Kapan?”
“Sebulan lalu, waktu aku ulang tahun.”
Ia mengangguk lagi. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa setelah itu.
“Dia sudah menikah?” tanya Idan, seperti mendorongku bicara.
Aku menggeleng.
“Lalu?”
“Dia ingin menikah denganku,” ujarku cepat-cepat, tanpa memandang
wajahnya. “Ia hanya di sini sepuluh bulan lagi. Karena itu, aku ingin
kita segera bercerai.”
“Oh.”
Idan tak mengatakan apapun selama beberapa saat. Pertanyaan berikutnya
ia ajukan dengan ringan, seolah-olah sambil lalu, ”Kau yakin ia
mencintaimu?”
Aku mengangguk.
“Kau yakin akan bahagia dengannya?”
Sekali lagi aku hanya mengangguk.
“Kalau begitu, selamat,” ketulusannya terdengar hangat. “Aku ikut
bahagia.”
Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan aku tidak menemukan setitik
pun kekecewaan di sana. Rasa lega meruahi hatiku.
Idan bertanya beberapa hal tentang Pram dan semuanya kujawab dengan
antusiasme gadis belasan tahun yang mabuk asmara. Tapi setelah beberapa
waktu, aku sadar kalau ia tidak sungguh-sungguh memperhatikan ceritaku.
“Dan?” tegurku.
“Ya?”
Nieh lihat dara sedang menikmati santai bersama ayah dan bunda, asyik kan main dipantai bareng keluarga seneng banget deh adara. ntar kalau pulang lagi pengen maen dipantai lagi ahhhh
Idan. Aku yakin keputusanku itu tidak merugikan siapa pun. Kenapa aku
harus segan menyampaikannya pada Idan?
Mula-mula aku berjanji kepada diriku sendiri untuk mencari waktu yang
tepat. Tapi saat itu tak pernah datang. Setiap kali, aku dilanda
keraguan dan akhirnya membatalkan niatku. Pram tidak bisa mengerti itu.
“Aku ingin kita menikah sebelum aku kembali ke Jerman, Ta. Dan kau harus
menempuh masa idahmu dulu. Belum lagi kita harus memikirkan pendapat
orang lain yang pasti berkomentar kalau kau menikah denganku segera
setelah masa idahmu selesai. Dan aku hanya di sini sepuluh bulan lagi.”
“Aku tahu. Aku juga berpikir begitu. Tapi … Entahlah.”
“Apa kau tidak yakin aku akan membuatmu bahagia?”
“Aku ….” aku tergagap dan menggeleng.< BR>
“Jadi, bicaralah dengan Idan.”
Sore itu, aku pulang dengan hati berat. Aku sudah bertekad untuk bicara
dengan Idan malam itu juga. Aku tak akan menundanya lagi.
Begitu aku tiba di rumah, Idan sudah menungguku di teras. Matanya
berbinar dan wajahnya berseri saat aku mendekati teras, hingga aku jadi
berpikir, ada apa sebenarnya.
“Kenapa kau sudah di rumah?” tanyaku.
Idan menyilangkan telunjuknya di depan bibir dan menggandeng tanganku ke
dalam rumah.
“Ada apa?”
“Sst!”
Ia membawaku ke serambi samping. Dengan bangga dikembangkannya
tangannya.
Di sana ada sebuah ayunan rotan berwarna putih, cukup lebar untuk tiga
orang, dengan bantal-bantal yang kelihatan sangat mengundang, berwarna
hijau dengan gambar … mawar putih?
“Ini hadiah ulang tahun pertama perkawinan kita,” katanya.
Mataku beralih cepat dari ayunan rotan itu. Wajah Idan benar-benar
sumringah. Di matanya ada sekelumit keheranan melihat wajahku yang pasti
telah berubah warna.
“Aku … aku tidak punya hadiah apa-apa,” gumamku sambil kembali menatap
ayunan itu, menyembunyikan kalutku. “Aku lupa ….”
Idan tertawa. “Kau bahkan tidak ingat ulang tahunmu sendiri,” katanya.
Ia duduk di ayunan itu. “Ayo,” katanya sambil menarik tanganku.
Aku duduk di sampingnya, tak tahu mesti mengatakan apa. Aku benar-benar
tidak ingat bahwa setahun lalu hari itu, aku dan Idan menikah, simulasi.
Kenapa Idan harus menganggap hari itu demikian istimewa sementara aku
sendiri sama sekali tak mengingatnya?
"PULANGLAH. Sakit kakak kalian semakin parah. Dokter bilang mungkin
minggu depan, mungkin besok pagi, boleh jadi pula nanti malam. Benar-benar
tidak ada waktu lagi. Anak anakku, sebelum semuanya terlambat, pulanglah...."
Wajah keriput nan tua itu menghela nafas.
Sekali. Dua kali. Lebih panjang. Lebih berat. Membaca pesan itu entah
untuk berapa kali lagi. Pelan menyeka pipinya yang berlinang, juga lembut
menyeka dahi putri sulungnya, wanita berwajah pucat yang terbaring lemah di
hadapannya. Mengangguk. Berbisik lembut: "Ijinkan, Mamak mengirimkannya,
Lais.... Mamak mohon...."
Pagi indah datang di lembah itu.
Cahaya matahari mengambang di antara kabut.
Embun menggelayut di dedaunan strawberry. Buahnya yang beranjak
ranum nan memerah. Hamparan perkebunan strawberry terlihat indah
terbungkus selimut putih sejauh mata memandang.
Satu bilur air mata akhirnya ikut menetes dari wanita berwajah redup
yang terbaring tak berdaya di atas tempat tidur. Mereka berdua bersitatap satu
sama lain, lamat-lamat. Lima belas detik senyap. Hanya desau angin lembah
menelisik daun jendela. Ya Allah, sungguh sejak kecil ia menyimpan semuanya
sendirian. Sungguh. Demi adik-adiknya. Demi kehidupan mereka yang lebih
baik. Ia rela melakukannya. Tapi, sepertinya semua sudah usai. Waktunya sudah
selesai. Tidak lama lagi.
Sudah saatnya mereka tahu. Sudah saatnya....
Perempuan berwajah pucat di atas ranjang berusaha tersenyum, dengan
sisa-sisa tenaga. Sedikit terbatuk, bercak darah merah mengalir dari sela bibir
bersama dahak. Bernafas sesak. Semakin kesakitan. Namun sekarang muka
tirusnya mengembang oleh sebuah penerimaan. Ia perlahan mengangguk.
Tangan tua itu demi melihat anggukan putri sulungnya, tanpa menunggu
lagi gemetar menekan tombol ok. Message transmitted. Maka! Dalam hitungan
seperjuta kedipan mata.
Melesat Berpilin. Berputar.
Seketika saat tombol ok itu ditekan, jika mata bisa melihatnya, bak
komet, bagai anak panah, macam rudal berkecepatan tinggi, 203 karakter SMS
itu berubah menjadi data binari 0-1-0-1! Menderu tak-tertahankan menuju
tower BTS (base transmitter station) terdekat. Sepersekian detik lagi lantas
dilontarkan sekuat tenaga menuju satelit Palapa C-2 ratusan kilometer di atas
sana, berputar dalam sistem pembagian wilayah yang rumit, bergabung dengan
jutaan pesan, suara, streaming gambar, dan data lainnya dari berbagai sudut
muka bumi (yang hebatnya tak satupun tertukar-tukar), lantas sebelum mata
sempat berkedip lagi, pesan tersebut sudah dilontarkan kembali ke muka bumi!
Pecah menjadi empat.
Bagai meteor yang terbelah, pecahan itu berpendar-pendar sejuta warna
menghujam ke empat penjuru dunia.
Empat nomor telepon genggam!
Tak peduli di manapun itu berada. Tak peduli sedang apapun pemiliknya.
Kabar itu segera terkirimkan. Melesat mencari empat nomor telepon genggam
yang dituju.
Pulanglah anak-anakku! Untuk pertama dan sekaligus untuk terakhir
kalinya, kakak kalian membutuhkan kalian………
Saat Pulang lebaran kemarin adara gak bisa lebaran karena pulang buat jenguk kakek yang sedang sakit. tapi adara masih sempet main dipantai sebelum pulang ke Jakarta
Kugigit bibir ku saat setetes air bergulir di pipiku.
“Ita, akuilah. Aku menemukan separuh hatiku kepadamu dan hidupmu baru
akan lengkap denganku. Selama ini, aku sendirian dan kau dengan Idan,
hidup kita hanya mimpi, cacat, timpang. Dan kita baru akan memulai
hidup, setelah kita bersama. Saat ini kau tidak punya apa-apa, Ta, tidak
juga masa depan, tapi berdua, kita akan miliki segalanya ….”
“Hentikan,” potongku dengan suara bergetar.
“Kalau kau minta aku untuk berhenti berusaha mendapatkanmu lagi, kau
hanya buang-buang waktu dan tenaga. Kau tahu aku tidak semudah itu
disuruh mundur. Ini menyangkut sisa hidupku dan hidupmu. Tidak ada yang
lebih penting dari itu dan aku tidak akan berhenti sampai kau kembali
denganku.”
“Aku tidak bisa ….”
“Kenapa tidak?”
Ya, kenapa tidak. Pernikahan ini hanya sebuah permainan. Menyenangkan
memang. Tapi tetap hanya sekadar sandiwara. Tapi kenapa rasanya berat
sekali memutuskannya?
“Kau tidak mencintai Idan, Ta. Kau berbeda dengannya, jadi bukan
kesalahanmu kalau kau tidak bisa mencintainya. Satu-satunya perasaan
yang layak kau simpan untuknya cuma iba, karena ia tidak akan pernah
bisa mendapatkan hatimu dan ia akan selamanya menikah dengan perempuan
yang mencintai lelaki lain.”
“Aku ….”
“Akuilah, Ta, kau mencintaiku. Kebersamaan kita adalah takdir.”
Kututup mikrofon dengan tanganku dan menghela napas panjang. Seluruh
tubuhku rasanya terbakar dan lunglai dan dunia seperti berputar makin
cepat. Kupejamkan mataku.
“Aku tidak mencintaimu,” gumamku.
“Lebih keras lagi.”
“Aku tidak mencintaimu.”
“Kau berbohong.”
Lama sekali aku terdiam sebelum akhirnya sanggup mengucapkan, ”Ya.”
“Ita,” suara Pram gemetar. “Aku berjanji untuk selalu membuatmu bahagia”
ku tahu sejak awal bahwa permainanku dengan Idan akan berakhir, cepat
atau lambat. Tapi hatiku tetap enggan berdamai dengan kenyataan bahwa
aku harus bicara padanya tentang perpisahan. Aku sadar bahwa Idan
sendiri tidak berhak dan tidak mungkin menghentikanku. Bahkan, mungkin
ia akan merasa lega dengan keputusanku itu, karena akhirnya ia bisa
membenahi hidupnya sendiri lagi. Mustahil ia akan menolak berpisah
denganku. Apalagi, aku juga tahu ia sangat menyayangiku dan ingin aku
bahagia. Dan aku tahu, keputusan untuk kembali kepada Pram adalah yang
terbaik untukku dan masa depanku, sesuatu yang pasti akan didukung oleh
Ohhh...
Wanita Memang Susah Dibuat Bahagia
Jika dikatakan cantik dikira menggoda,
Jika dibilang jelek di sangka menghina.
Bila dibilang lemah dia protes,
Bila dibilang perkasa dia nangis.
Maunya emansipasi,
Tapi disuruh benerin genteng, nolak (sambil ngomel masa disamakan dengan cowok)
Maunya emansipasi,
Tapi disuruh berdiri di bis malah cemberut (sambil ngomel, Egois amat sih cowok ini tidak punya perasaan)
Jika di tanyakan siapa yang paling di banggakan,
Kebanyakan bilang Ibunya,
Tapi kenapa ya... lebih bangga jadi wanita karir,
Padahal ibunya adalah ibu rumah tangga.
Bila kesalahannya diingatkan, mukanya merah..
Bila di ajari mukanya merah,
Bila di sanjung mukanya merah
Jika marah mukanya merah,
Kok sama semua? Bingung !!!
Di tanya ya atau tidak, jawabnya - diam;
Ditanya tidak atau ya, jawabnya - diam;
Ditanya ya atau ya, jawabnya - diam,
Ditanya tidak atau tidak, jawabnya - diam,
Ketika didiamkan malah marah (repot kita disuruh jadi dukun yang bisa nebak jawabannya).
Di bilang ceriwis marah,
Dibilang berisik ngambek,
Dibilang banyak mulut tersinggung,
Tapi kalau dibilang "Supel" wadow seneng banget.. padahal sama saja maksudnya.
Dibilang gemuk engga senang padahal maksud kita sehat gitu lho
Dibilang kurus malah senang padahal maksud kita "kenapa elo jadi begini !!!"
Nasib..
Cewek mao nggabung ke mobil yang udah penuh cowok
Kata Cowok2: ga apa2, ayo sini, kalo dipangku masih cukup kok.
Cowok mao nggabung ke mobil yang udah penuh cewek
Kata Cewek2: Enak aja!!! Mo cari kesempatan dalam kesempitan ya?
Cewek mengerjakan pekerjaan cowok (ex: presiden, direktur, polisi)
Kata Cowok2: Emansipasi wanita
Cowok mengerjakan pekerjaan cewek (ex: babysitter, pembantu)
Kata Cewek2: Di Indonesia cari kerjaan emang susah, jangan terlalu milih2
Cewek diggangguin preman
Kata Cowok2: Kasian tuh, ayo kita tolongin
Cowok digangguin preman
Kata Cewek2: Salah sendiri cari urusan ma tu preman
Cewek nuangin minuman buat cowoknya
Kata Cowok2: Calon istri idaman
Cowok nuangin minuman buat ceweknya
Kata Cewek2: ISTI (Ikatan Suami Takut Istri)
Cewek cantik, kaya, baik hati, sudah dewasa, dan masih lajang
Kata Cowok2: Perfecsionis, sedang menunggu calon suami yang tepat
Cowok cakep, Kaya, Baik hati, sudah dewasa, dan juga masih lajang
Kata Cewek2: Kalo ga impoten berarti gay
Istriku dandan sampe setengah jam sebelum pergi
Kata Cowok2: Begitulah cewek, maklum aja..
Suamiku dandan sampe setengah jam sebelum pergi
Kata Cewek2: jangan2 suamimu selingkuh tuh..
Cewek pake baju cowok
Kata Cowok2: Tomboi
Cowok pake baju cewek
Kata Cewek2: Banci, amit-amit deh
Cewek lesbi
Kata Cowok2: Pasti gara2 dia sering disakitin sama cowok
Cowok Homo
Kata Cewek2: Pasti gara2 ga ada cewek yang mau
Cewek liat bokep
Kata Cowok2: namanya aja juga penasaran, wajar..
Cowok liat bokep
Kata Cewek2: Semua Cowok emang gitu, ga ada yang bener!!
Cewekku ke salon 3 kali seminggu, apa ga kebangetan coba?
Kata Cowok2: Itu namanya merawat diri, kalo cewekmu cantik kan kamu juga yg senang
Cowokku ke salon 3 kali seminggu, apa ga kebangetan coba?
Kata Cewek2: Jangan2 salonnya salon plus-plus
Cewekku tu blom puas kalo mandinya blom sampe satu jam
Kata Cowok2: Kalo ga gitu namanya bukan cewek
Cowok mandi ampe satu jam
Kata cewek2: Mencurigakan, pasti di dalam dia lg ^&%$%
Cewek pergi ke dokter kulit & kelamin
Kata Cowok2: pasti lagi konsultasi tentang kulitnya
Cowok pergi ke dokter kulit dan kelamin
Kata Cewek2: Pasti lagi konsultasi tentang kelaminnya
“Adik-adiknya sudah ingin menikah semua, tapi orang tuanya tidak
mengizinkan karena mereka tidak mau Indri dilangkahi.”
“Astaga. Kasihan sekali.”
“Jadi bagaimana?”
Idan diam sejenak. “Aku tidak tahu, Pit. Yang aku tahu, aku tidak mau
jadi penyebab ketidakbahagiaan seseorang. Kalau aku sarankan Indri untuk
meninggalkan pacarnya, siapa tahu ia tidak akan pernah bahagia karena
merasa terpaksa terus bersama suaminya. Kalau ia meninggalkan suaminya,
aku juga tidak menjamin ia akan bahagia dengan orang yang hanya
mengenalnya di permukaan, tidak utuh, seperti suaminya.”
“Lantas aku mesti bilang apa?”
“Sampaikan saja petuahku ini kepada Indri. Bilang saja ini saran dari
pakar pernikahan kelas dunia yang reputasinya tidak diragukan lagi.”
“Kau sama sekali tidak membantu,” desahku.
“Ini bukan keran bocor atau teve rusak yang bisa diperbaiki begitu saja,
Pit. Sedangkan memperbaiki teve rusak saja aku menyerah, jangan lagi
mengurusi rumah tangga orang.”
“Bodohnya lagi, aku bertanya kepadamu.”
“Itulah, Pit. Aku sendiri heran kenapa aku mau membuang waktuku dan
terpaksa terlambat ikut rapat untuk memberimu saran yang tak berguna.”
Aku tertawa pahit. “Ya, sudah. Pergilah buat kopi sekarang. Terima kasih
untuk saran dan waktumu.”
“Sama-sama. Oh! Bosku ke sini. Aku harus pergi. I love you, Darling!” ia
berteriak. Lalu kudengar suaranya, sedikit jauh dari telepon. “Iya, Pak,
sebentar. Istri saya ….”
Kututup telepon, tiba-tiba merasa begitu dingin dan sendiri.
Pilihan yang sulit: Idan atau Pram?
Kita tidak bisa bertemu lagi Pram,” ujarku kepada Pram di telepon.
Separuh jiwaku rasanya terbang dan hilang saat kata-kata itu kuucapkan.
“Kenapa? Idan melarangmu?”
“Dia tidak tahu apa-apa.”
“Kenapa kau terus memikirkan dia, Ta. Pikirkan dirimu sendiri. Apa kau
sudi menghabiskan hidupmu dengan orang yang tidak kau cintai, sedangkan
denganku kau bisa mendapatkan semuanya?”