33. Setelah Kau Menikahiku - kuabaikan. Aku belajar bahwa dalam pernikahan, bila kita tidak
mendapatkan apa yang kita inginkan tidak selalu berarti kekalahan, tapi
boleh jadi suatu kemenangan bersama.”
Aku ingin menambahkan bahwa pernikahan membutuhkan cinta dan kesetiaan
seperti gurun memerlukan air, tapi aku tidak punya nyali untuk
menyatakan semua itu.
“Kau memang selalu pintar bicara,” Idan tersenyum.
“Kau sendiri? Apa yang kau pelajari selama ini?”
“Hanya satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah sebahagia ini lagi
setelah kau pergi.”
Aku tertegun. “Apa maksudmu?”
Idan bangkit dan duduk mencangkung menatapku. “Tahun ini adalah saat
paling bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi dan mendengar
suaramu, aku jadi berpikir aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia
ini. Dan setiap malam waktu aku pulang dan kau tersenyum menyambutku,
aku merasa aku jadi manusia paling beruntung di seluruh jagad raya. Aku
jadi sangat terbiasa dengan kehadiranmu bahkan mulai berharap kau akan
bersamaku terus, walaupun harapan itu, aku tahu, konyol. Tapi kalau kau
mencintai seseorang seperti aku mencintaimu, kau akan kehilangan akal
sehat.”
Kutatap wajah Idan lekat-lekat. Ia tidak kelihatan sedang bercanda. Ia
tampak sangat tenang dan serius.
“ Aku masih belum mengerti,” bisikku.
“Pernikahan ini tidak pernah hanya sebuah simulasi untukku, Pit. Ini
adalah pernikahan sesungguhnya untukku.”
“Apa maksudmu kau mencintaiku ?” suaraku tercekik.
“Apa yang tidak kau pahami? Aku mencintaimu,” kata-kata Idan begitu
lugas, menghantamku seperti sebuah pukulan keras yang membuatku
terempas. “Aku mencintaimu sejak kau memarahiku karena nyaris melindas
kelincimu, dua puluh tahun yang lalu, waktu kita masih sama-sama belasan
tahun. Dan aku tidak pernah bisa berhenti mencintaimu hingga kini.”
“Kau … kau tidak pernah ….”
“Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau selalu sedang jatuh cinta
dengan orang lain atau patah hati karena orang lain, dan kau selalu
datang kepadaku menceritakan semuanya. Aku tahu aku bukan lelaki
idamanmu. Aku tidak menggambar. Tidak menulis puisi. Kalau kau bilang
sebuah lukisan itu bagus, aku tidak mengerti kenapa. Aku bukan jago
pidato dan calon ketua OSIS yang kau gilai di SMA. Aku bukan aktivis
kampus yang membuatmu mabuk kepayang waktu kuliah dulu. Aku terlalu
biasa-biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan, memalukan dan aku
benci kau kasihani. Tapi selama ini aku benar-benar tidak punya
keberanian, belum lagi kesempatan, untuk berterus terang kepadamu.”
“Kau tidak pernah biasa-biasa saja, Dan,” ujarku lirih. “Kau istimewa
dengan caramu sendiri.”
dan anda bisa menemukan artikel 33. Setelah Kau Menikahiku ini dengan url
http://adara-wpr.blogspot.com/2012/09/33-setelah-kau-menikahiku.html,
anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel 33. Setelah Kau Menikahiku ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,
namun jangan lupa untuk meletakkan link 33. Setelah Kau Menikahiku sebagai sumbernya.
0 comments:
Post a Comment