Masuk ke gerbang hutan rimba.
Pukul 02.00. Empat jam berlalu. Rombongan lelaki penduduk kampung
terus menyisir rimba belantara. Karena mereka harus memastikan setiap semakbelukar
bersih ditelusuri, pergerakan mereka lamban. Berteriak-teriak
memanggil. Suara itu membuat diam binatang hutan. Kosong. Sejauh ini
kosong. Tidak ada selain babi hutan yang melintas, berlari dengan anakanaknya.
Tidak ada selain desau burung malam yang terbang berderak,
terganggu.
Langit semakin kelam.
Gerakan Laisa dan Dalimunte jauh lebih cepat. Karena mereka langsung
menuju satu titik. Gunung Kendeng. Semakin masuk ke dalam hutan,
pepohonan semakin lebat. Golok di tangan Laisa tangkas memotong semak
belukar yang menghalangi langkah. Sudah sejak dua jam lalu jalan setapak
yang biasa digunakan penduduk mencari damar, rotan, menghilang. Mereka
harus menerabos semak belukar, belalai rotan, dan tumbuhan berduri lainnya.
Jarang sekali ada penduduk yang merambah hingga ke atas gunung. Jalan
setapak hanya ada di tempat-tempat biasa merek menyadap damar, mencari
rotan, menangkap kumbang, dan sebagainya.
Pukul 02.30, Laisa berhenti sejenak. Memperhatikan semak di depannya.
Jantungnya berdetak amat kencang. Seketika.
"Ada apa, Kak?" Dalimunte mendekat, ikut melihat ke depan.
Laisa menelan ludah, mendekatkan obor ke ujung dahan salah satu pohon
kecil. Patah. Khas sekali. Itu bukan karena uwa, bukan karena binatang liar.
Tapi dipatahkan oleh manusia. Benar. Ya Allah, ia benar, Ikanuri dan Wibisana
baru saja melewati gunung ini....
Laisa menggigit bibir. Cepat! Ia harus buru-buru. Meski harapan itu kecil,
meski janji itu bagai embun yang segera sirna oleh cahaya matahari pagi, ia
harus buru-buru. Menyusul Ikanuri dan Wibisana. Semoga belum terlambat.
Semoga adik-adiknya belum kenapa-napa. Semoga belum.... Golok di tangan
Laisa galak membabat ujung-ujung semak di depan yang menghalanginya.
Laisa kalap, tangannya gemetar, kakinya apalagi. Tapi rasa cinta yang besar itu
membungkus segenap ketakutan. Adik-adiknya, dimanapun saat ini dua sigung
nakal itu berada.... mereka membutuhkan dia, kakaknya.
Laisa terus maju dengan kecepatan tinggi.
"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja—" Dalimunte pelan
menyentuh lengan Laisa, bertanya cemas ke sekian kalinya.
Laisa menoleh. Menggigit bibir. Entah menjawab apa. Ia sama sekali
tidak mendengarkan pertanyaan Dalimunte. Kenangan buruk itu membungkus
kepalanya. Kemana adik-adiknya malam ini? Kemana Ikanuri dan Wibisana?
Kemana, ya Allah....
Dan entah mengapa akhirnya kesadaran itu ditanamkan di kepalanya.
Laisa mendadak ingat sesuatu. Ia ingat pernah mendengar pembicaraan Ikanuri
dan Wibisana beberapa hari lalu setelah kejadian starwagoon tua itu. Ia tahu.
Laisa tahu di mana harus mencari adiknya. Mukanya menyeringai oleh buncah
cemas tak tertahankan. Berdiri. Bergegas.
"Kak Lais, hendak kemana?" Dalimunte memotong. Tercekat. Hendak
kemana?
Pertanyaan Dalimunte barusan menyadarkan Laisa tujuan sebenarnya
Ikanuri dan Wibisana. Ya Allah, Laisa gemetar seketika saat benar-benar baru
menyadari adiknya dulu.
"Jalan pintas terdekat menuju kota kecamatan sebenarnya melalui
Gunung Kaideng. Hanya delapan kilo jika melewati gunung itu...." Ikanuri dan
Wibisana langsung menuju ke jantung sarang Siluman, entah apakah dua
sigung nakal itu menyadarinya atau tidak.
"Aku ikut—"
"TIDAK!! Kau tetap di sini, menjaga Mamak dan Yashinta—"
"Aku ikut!" Dalimunte menjawab tegas. Cepat berlari ke dalam rumah.
Suara kakinya membuat lantai rumah panggung mereka berderak. Sejurus, dia
sudah keluar lagi, membawa tombak panjang peninggalan Babak.
"Aku ikut kemana pun Kak Laisa pergi malam ini—" Tegas sekali
Dalimunte berkata. Wajahnya dipenuhi ekspresi penghargaan. Keberanian?
Tentu saja dia takut, dia tahu kakaknya akan pergi ke Gunung Kendeng. Tapi,
sumpah, Dali tidak takut mesti harus memasuki daerah terlarang itu. Lihatlah
wajah Kak Lais, wajah yang selalu berani dalam hidupnya, demi adik-adik
mereka. Wajah yang selalu melindungi. Melihat wajah itu, Dali tidak akan
pernah takut lagi.
Laisa menelan ludah. Wajah tegang itu dibasuh cahaya obor yang
dibawanya. Kerlapkerlip. Menatap adiknya sejenak. Berpikir cepat. Lantas
mengangguk. Tak apalah. Tak apalah adiknya ikut. Ya Allah, sekali ini tolong
baiklah dengan kami, tolong....
Laisa menggigit bibir. Lantas melangkah menuruni anak tangga. Diikuti
langkah Dalimunte. Lima menit lalu Laisa memutuskan juga mencari adiknya.
Ia tahu di mana adiknya berada malam ini. Mereka berdua pasti memutuskan
kabur dari rumah, pergi ke kota kecamatan. Jalan pintas. Ia tahu, hanya Ikanuri
dan Wibisani yang menganggap wanti-wanti tentang harimau Gunung Kendeng
itu lelucon. Ingatlah dua minggu lalu mereka malah memperolok-olok Yashinta
soal berang-berang yang lucu. Bagi mereka harimau-lah yang lucu.
Dalimunte demi melihat kakaknya berdiri, dengan ikut berdiri. Melihat
kakaknya berlari pulang ke rumah mengambil obor dan golok, dengan cepat
mengikuti. Mamak Lainuri yang masih semaput tidak bisa bicara hanya
menatap kosong mereka berdua. Tidak ada warga di balai kampung yang bisa
mencegah. Terlalu penat setelah kerja seharian. Penat dengan segenap
kecemasan. Tidak ada. Hanya membiarkan. Maka bergeraklah dua obor itu
menuruni cadas sungai. Menyeberangi sungai.
Mamak Lainuri yang sudah siuman mengeluh tertahan. Kalimat Wak
Burhan, kalimat terakhir Wak Burhan bukan lagi perintah mencari orang yang
masih hidup. Bercak darah…. "Hati-hati, jangan sampai ada yang terpisah dari
rombongan. Sang siluman mungkin masih mencari korban berikutnya...."
Balai kampung itu terdiam. Seruan-seruan terhenti. Menelan ludah. Nama
itu akhirnya tersebutkan sudah. Sang Siluman. Laisa sudah menggigil
ketakutan. Wak Burhan memberikan instruksi dua-tiga kalimat lagi. Lantas dua
rombongan bergerak meninggalkan bangunan. Rombongan membawa obor itu
menghilang di tengah gelapnya hutan rimba seberang cadas lima belas menit
kemudian. Menyisakan ketegangan yang meninggi.
"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja?" Dalimunte bertanya
mencicit. Cemas. Dari tadi ia tidak bisa memejamkan mata. Tegang. Sementara
Yashinta di sebelahnya sudah jatuh tertidur. Meringkuk di atas kursi bambu
balai kampung.
Kali ini Laisa hanya diam membeku. Tak kuasa mengangguk.
Delapan tahun... delapan tahun silam.
Ia menyaksikan sendiri dengan mata-kepalanya. Babak mereka dibawa
pulang dari hutan persis saat semburat jingga pagi tiba. Setelah pencarian enam
jam tanpa henti. Setelah hutan rimba. Muka yang robek tak berbentuk. Tubuh
yang tercabik-cabik itu dibawa pulang. Sudah tak bernafas. Babak diterkam
penguasa rimba, sang siluman, itulah nama seram menakutkan harimau Gunung
Kendeng. Waktu itu umurnya baru delapan, Dalimunte empat, Ikanuri dan
Wibisana dua tahun. Yashinta masih di kandungan.
Hari itu, babak mereka pergi —
Malam itu yang mereka tahu Babak hanya bilang hendak mencari
kumbang bersama dua temannya ke hutan rimba seberang cadas, tidak jauh.
Tapi entah apa pasalnya, rombongan mereka terpisah. Dua temannya panik.
Pulang, segera melapor. Tidak ada yang mengerti, bagaimana mungkin mayat
Babak justru ditemukan jauh sekali dari cadas sungai. Masuk ke dalam hutan
rimba. Bukankah Babak seperti penduduk lainnya amat hafal dengan hutan itu?
Bagaimana mungkin babak malah tersasar jauh ke sana? Seruan-seruan ganjil
terdengar,
Semua orang tahu tentang pemikat sang siluman, penguasa Gunung
Kendeng. Membuat siapa saja yang berani merambah wilayahnya di malam
hari akan tersesat di dalam hutan. Hanya berputar-putar saja di satu titik, lantas
tanpa disadarinya sudah masuk ke dalam perangkap sang siluman.
Sudah delapan tahun berlalu kejadian mengenaskan itu tidak terjadi lagi
di lembah mereka. Dulu, waktu Laisa masih kecil, ia dua kali melihat kejadian
serupa. Salah satu penduduk kampung yang tidak pulang-pulang hingga malam
hari, besoknya ditemukan sudah dengan tubuh tercabik-cabik. Orang dewasa di
kampung itu mengerti benar, kalau Ikamuri dan Wibisana sampai berani masuk
ke dalam hutan rimba, pencarian mereka malam ini akan berakhir sama—
Juga Wak Burhan. Siapa yang akan lupa lima belas tahun silam saat anak
tunggal Wak Burhan yang berumur dua puluh empat tahun ditemukan keesokan
paginya, hanyut di sungai deras dengan wajah berbilur cakaran. Yang membuat
Wak Burhan tinggal sendirian hingga hari ini, karena istrinya sudah kapan
tahun meninggal.
Sekejap. Pencarian itu dimulai. Mamak Lainuri sudah sejak tadi hanya
terduduk di kursi bambu. Dipegangi oleh ibu-ibu lainnya. Mamak semaput.
Wajahnya pucat oleh perasaan gentar. Ya Allah, ia seperti bisa melihat kejadian
delapan tahun silam. Seperti tergambar jelas di depannya. Wak Burhan yang
waktu itu lebih muda, juga dengan cepat memberikan perintah. Orang-orang
yang membawa obor. Tombak. Golok. Pencarian hingga dinihari. Dan hasilnya?
Mamak Lainuri jatuh pingsan lagi.
Laisa berusaha menyeka keringat di wajah Mamak.
Dalimunte yang terlalu kecil untuk ikut rombongan pencari duduk
tertunduk di dekatnya, gentar. Yashinta memeluk lutut. Bahkan ia masih terlalu
kecil untuk ingat banyak kejadian. Masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang
sedang terjadi.
"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja?" Laisa mengangguk
pelan ke arah Dalimunte.
Cahaya obor rombongan pencari yang bergerak terlihat mulai menjauh.
Ada yang menaiki lembah, ke desa atas. Menyeberangi ladang-ladang. Ke kiri.
Ke kanan. Kerlapkerlip. Meski nyaris separuh penduduk kampung mencari
Ikanuri dan Wibisana, balai kampung tetap ramai. Seluruh penduduk membawa
anggota keluarganya ke sini. Tidak ada yang ingin meninggalkan anak-anaknya
di rumah setelah mengerti maksud bunyi kentongan tadi. Mereka bermalam di
balai kampung bersama-sama. Di atas kursi-kursi bambu Saling bersitatap
ketakutan.
Laisa menggigit bibir. Mengusap wajahnya berkali-kali. Gelisah melihat
sekitar. Ia sungguh cemas. Ini pasti gara-gara ia tadi siang mengancam adikadiknya.
Ya Allah… Ini semua salahnya. Mereka pasti enggan pulang gara-gara
dibilang akan dihukum tidak boleh masuk rumah, harus tidur di bale bambu,
bawah rumah. Apakah ia harus menceritakan pertengkarannya ke Mamak?
Tidak. Itu tidak perlu, dan jelas tidak bisa dilakukannya. Tapi kalau terjadi
kenapa-napa dengan Ikanuri dan Wibisana? Ya Allah, semoga tidak. Semoga
mereka hanya bermalam di desa atas.
Gemerlap bintang di atas entah kenapa pelan mulai diselimuti gumpalan
awan hitam. Seperti menambah tinggi tingkat kecemasan. Hening. Mencekam.
Sudah pukul 22.00. Lembah itu mulai hening. Suara jangkrik berderik pelan
mereda. Uhu burung hantu. melemah. Suara uwa menghilang. Malam beranjak
matang. Satu jam berlalu.
Rombongan pencari satu per satu kembali. Melapor.
Hasilnya kosong—
Maka benar-benar tegang sudah balai kampung itu. "Hati-hati... Tetap
dalam rombongan, jangan ada satupun yang terpisah—" Wak Burhan berkata
dengan intonasi suara tegas tanpa kompromi. Kelompak lelaki dewasa yang
sudah terbagi menjadi dua rombongan tersebut, mengangguk "Saat pijar
matahari pagi terlihat di kejauhan, saat merah terlihat menyemburat
membungkus lembah, kita berkumpul lagi di sini.... Sebelum itu, cari sampai
dapat. Periksa seluruh semak belukar, jangan sampai ada yang tertinggal.
Pastikan kalian mengenali bercak darah...."