Masuk ke gerbang hutan rimba.
Pukul 02.00. Empat jam berlalu. Rombongan lelaki penduduk kampung
terus menyisir rimba belantara. Karena mereka harus memastikan setiap semakbelukar
bersih ditelusuri, pergerakan mereka lamban. Berteriak-teriak
memanggil. Suara itu membuat diam binatang hutan. Kosong. Sejauh ini
kosong. Tidak ada selain babi hutan yang melintas, berlari dengan anakanaknya.
Tidak ada selain desau burung malam yang terbang berderak,
terganggu.
Langit semakin kelam.
Gerakan Laisa dan Dalimunte jauh lebih cepat. Karena mereka langsung
menuju satu titik. Gunung Kendeng. Semakin masuk ke dalam hutan,
pepohonan semakin lebat. Golok di tangan Laisa tangkas memotong semak
belukar yang menghalangi langkah. Sudah sejak dua jam lalu jalan setapak
yang biasa digunakan penduduk mencari damar, rotan, menghilang. Mereka
harus menerabos semak belukar, belalai rotan, dan tumbuhan berduri lainnya.
Jarang sekali ada penduduk yang merambah hingga ke atas gunung. Jalan
setapak hanya ada di tempat-tempat biasa merek menyadap damar, mencari
rotan, menangkap kumbang, dan sebagainya.
Pukul 02.30, Laisa berhenti sejenak. Memperhatikan semak di depannya.
Jantungnya berdetak amat kencang. Seketika.
"Ada apa, Kak?" Dalimunte mendekat, ikut melihat ke depan.
Laisa menelan ludah, mendekatkan obor ke ujung dahan salah satu pohon
kecil. Patah. Khas sekali. Itu bukan karena uwa, bukan karena binatang liar.
Tapi dipatahkan oleh manusia. Benar. Ya Allah, ia benar, Ikanuri dan Wibisana
baru saja melewati gunung ini....
Laisa menggigit bibir. Cepat! Ia harus buru-buru. Meski harapan itu kecil,
meski janji itu bagai embun yang segera sirna oleh cahaya matahari pagi, ia
harus buru-buru. Menyusul Ikanuri dan Wibisana. Semoga belum terlambat.
Semoga adik-adiknya belum kenapa-napa. Semoga belum.... Golok di tangan
Laisa galak membabat ujung-ujung semak di depan yang menghalanginya.
Laisa kalap, tangannya gemetar, kakinya apalagi. Tapi rasa cinta yang besar itu
membungkus segenap ketakutan. Adik-adiknya, dimanapun saat ini dua sigung
nakal itu berada.... mereka membutuhkan dia, kakaknya.
Laisa terus maju dengan kecepatan tinggi.
"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja—" Dalimunte pelan
menyentuh lengan Laisa, bertanya cemas ke sekian kalinya.
Laisa menoleh. Menggigit bibir. Entah menjawab apa. Ia sama sekali
tidak mendengarkan pertanyaan Dalimunte. Kenangan buruk itu membungkus
kepalanya. Kemana adik-adiknya malam ini? Kemana Ikanuri dan Wibisana?
Kemana, ya Allah....
Dan entah mengapa akhirnya kesadaran itu ditanamkan di kepalanya.
Laisa mendadak ingat sesuatu. Ia ingat pernah mendengar pembicaraan Ikanuri
dan Wibisana beberapa hari lalu setelah kejadian starwagoon tua itu. Ia tahu.
Laisa tahu di mana harus mencari adiknya. Mukanya menyeringai oleh buncah
cemas tak tertahankan. Berdiri. Bergegas.
"Kak Lais, hendak kemana?" Dalimunte memotong. Tercekat. Hendak
kemana?
Pertanyaan Dalimunte barusan menyadarkan Laisa tujuan sebenarnya
Ikanuri dan Wibisana. Ya Allah, Laisa gemetar seketika saat benar-benar baru
menyadari adiknya dulu.
"Jalan pintas terdekat menuju kota kecamatan sebenarnya melalui
Gunung Kaideng. Hanya delapan kilo jika melewati gunung itu...." Ikanuri dan
Wibisana langsung menuju ke jantung sarang Siluman, entah apakah dua
sigung nakal itu menyadarinya atau tidak.
"Aku ikut—"
"TIDAK!! Kau tetap di sini, menjaga Mamak dan Yashinta—"
"Aku ikut!" Dalimunte menjawab tegas. Cepat berlari ke dalam rumah.
Suara kakinya membuat lantai rumah panggung mereka berderak. Sejurus, dia
sudah keluar lagi, membawa tombak panjang peninggalan Babak.
"Aku ikut kemana pun Kak Laisa pergi malam ini—" Tegas sekali
Dalimunte berkata. Wajahnya dipenuhi ekspresi penghargaan. Keberanian?
Tentu saja dia takut, dia tahu kakaknya akan pergi ke Gunung Kendeng. Tapi,
sumpah, Dali tidak takut mesti harus memasuki daerah terlarang itu. Lihatlah
wajah Kak Lais, wajah yang selalu berani dalam hidupnya, demi adik-adik
mereka. Wajah yang selalu melindungi. Melihat wajah itu, Dali tidak akan
pernah takut lagi.
Laisa menelan ludah. Wajah tegang itu dibasuh cahaya obor yang
dibawanya. Kerlapkerlip. Menatap adiknya sejenak. Berpikir cepat. Lantas
mengangguk. Tak apalah. Tak apalah adiknya ikut. Ya Allah, sekali ini tolong
baiklah dengan kami, tolong....
Laisa menggigit bibir. Lantas melangkah menuruni anak tangga. Diikuti
langkah Dalimunte. Lima menit lalu Laisa memutuskan juga mencari adiknya.
Ia tahu di mana adiknya berada malam ini. Mereka berdua pasti memutuskan
kabur dari rumah, pergi ke kota kecamatan. Jalan pintas. Ia tahu, hanya Ikanuri
dan Wibisani yang menganggap wanti-wanti tentang harimau Gunung Kendeng
itu lelucon. Ingatlah dua minggu lalu mereka malah memperolok-olok Yashinta
soal berang-berang yang lucu. Bagi mereka harimau-lah yang lucu.
Dalimunte demi melihat kakaknya berdiri, dengan ikut berdiri. Melihat
kakaknya berlari pulang ke rumah mengambil obor dan golok, dengan cepat
mengikuti. Mamak Lainuri yang masih semaput tidak bisa bicara hanya
menatap kosong mereka berdua. Tidak ada warga di balai kampung yang bisa
mencegah. Terlalu penat setelah kerja seharian. Penat dengan segenap
kecemasan. Tidak ada. Hanya membiarkan. Maka bergeraklah dua obor itu
menuruni cadas sungai. Menyeberangi sungai.
Mamak Lainuri yang sudah siuman mengeluh tertahan. Kalimat Wak
Burhan, kalimat terakhir Wak Burhan bukan lagi perintah mencari orang yang
masih hidup. Bercak darah…. "Hati-hati, jangan sampai ada yang terpisah dari
rombongan. Sang siluman mungkin masih mencari korban berikutnya...."
Balai kampung itu terdiam. Seruan-seruan terhenti. Menelan ludah. Nama
itu akhirnya tersebutkan sudah. Sang Siluman. Laisa sudah menggigil
ketakutan. Wak Burhan memberikan instruksi dua-tiga kalimat lagi. Lantas dua
rombongan bergerak meninggalkan bangunan. Rombongan membawa obor itu
menghilang di tengah gelapnya hutan rimba seberang cadas lima belas menit
kemudian. Menyisakan ketegangan yang meninggi.
"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja?" Dalimunte bertanya
mencicit. Cemas. Dari tadi ia tidak bisa memejamkan mata. Tegang. Sementara
Yashinta di sebelahnya sudah jatuh tertidur. Meringkuk di atas kursi bambu
balai kampung.
Kali ini Laisa hanya diam membeku. Tak kuasa mengangguk.
Delapan tahun... delapan tahun silam.
Ia menyaksikan sendiri dengan mata-kepalanya. Babak mereka dibawa
pulang dari hutan persis saat semburat jingga pagi tiba. Setelah pencarian enam
jam tanpa henti. Setelah hutan rimba. Muka yang robek tak berbentuk. Tubuh
yang tercabik-cabik itu dibawa pulang. Sudah tak bernafas. Babak diterkam
penguasa rimba, sang siluman, itulah nama seram menakutkan harimau Gunung
Kendeng. Waktu itu umurnya baru delapan, Dalimunte empat, Ikanuri dan
Wibisana dua tahun. Yashinta masih di kandungan.
Hari itu, babak mereka pergi —
Malam itu yang mereka tahu Babak hanya bilang hendak mencari
kumbang bersama dua temannya ke hutan rimba seberang cadas, tidak jauh.
Tapi entah apa pasalnya, rombongan mereka terpisah. Dua temannya panik.
Pulang, segera melapor. Tidak ada yang mengerti, bagaimana mungkin mayat
Babak justru ditemukan jauh sekali dari cadas sungai. Masuk ke dalam hutan
rimba. Bukankah Babak seperti penduduk lainnya amat hafal dengan hutan itu?
Bagaimana mungkin babak malah tersasar jauh ke sana? Seruan-seruan ganjil
terdengar,
Semua orang tahu tentang pemikat sang siluman, penguasa Gunung
Kendeng. Membuat siapa saja yang berani merambah wilayahnya di malam
hari akan tersesat di dalam hutan. Hanya berputar-putar saja di satu titik, lantas
tanpa disadarinya sudah masuk ke dalam perangkap sang siluman.
Sudah delapan tahun berlalu kejadian mengenaskan itu tidak terjadi lagi
di lembah mereka. Dulu, waktu Laisa masih kecil, ia dua kali melihat kejadian
serupa. Salah satu penduduk kampung yang tidak pulang-pulang hingga malam
hari, besoknya ditemukan sudah dengan tubuh tercabik-cabik. Orang dewasa di
kampung itu mengerti benar, kalau Ikamuri dan Wibisana sampai berani masuk
ke dalam hutan rimba, pencarian mereka malam ini akan berakhir sama—
Juga Wak Burhan. Siapa yang akan lupa lima belas tahun silam saat anak
tunggal Wak Burhan yang berumur dua puluh empat tahun ditemukan keesokan
paginya, hanyut di sungai deras dengan wajah berbilur cakaran. Yang membuat
Wak Burhan tinggal sendirian hingga hari ini, karena istrinya sudah kapan
tahun meninggal.
Sekejap. Pencarian itu dimulai. Mamak Lainuri sudah sejak tadi hanya
terduduk di kursi bambu. Dipegangi oleh ibu-ibu lainnya. Mamak semaput.
Wajahnya pucat oleh perasaan gentar. Ya Allah, ia seperti bisa melihat kejadian
delapan tahun silam. Seperti tergambar jelas di depannya. Wak Burhan yang
waktu itu lebih muda, juga dengan cepat memberikan perintah. Orang-orang
yang membawa obor. Tombak. Golok. Pencarian hingga dinihari. Dan hasilnya?
Mamak Lainuri jatuh pingsan lagi.
Laisa berusaha menyeka keringat di wajah Mamak.
Dalimunte yang terlalu kecil untuk ikut rombongan pencari duduk
tertunduk di dekatnya, gentar. Yashinta memeluk lutut. Bahkan ia masih terlalu
kecil untuk ingat banyak kejadian. Masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang
sedang terjadi.
"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja?" Laisa mengangguk
pelan ke arah Dalimunte.
Cahaya obor rombongan pencari yang bergerak terlihat mulai menjauh.
Ada yang menaiki lembah, ke desa atas. Menyeberangi ladang-ladang. Ke kiri.
Ke kanan. Kerlapkerlip. Meski nyaris separuh penduduk kampung mencari
Ikanuri dan Wibisana, balai kampung tetap ramai. Seluruh penduduk membawa
anggota keluarganya ke sini. Tidak ada yang ingin meninggalkan anak-anaknya
di rumah setelah mengerti maksud bunyi kentongan tadi. Mereka bermalam di
balai kampung bersama-sama. Di atas kursi-kursi bambu Saling bersitatap
ketakutan.
Laisa menggigit bibir. Mengusap wajahnya berkali-kali. Gelisah melihat
sekitar. Ia sungguh cemas. Ini pasti gara-gara ia tadi siang mengancam adikadiknya.
Ya Allah… Ini semua salahnya. Mereka pasti enggan pulang gara-gara
dibilang akan dihukum tidak boleh masuk rumah, harus tidur di bale bambu,
bawah rumah. Apakah ia harus menceritakan pertengkarannya ke Mamak?
Tidak. Itu tidak perlu, dan jelas tidak bisa dilakukannya. Tapi kalau terjadi
kenapa-napa dengan Ikanuri dan Wibisana? Ya Allah, semoga tidak. Semoga
mereka hanya bermalam di desa atas.
Gemerlap bintang di atas entah kenapa pelan mulai diselimuti gumpalan
awan hitam. Seperti menambah tinggi tingkat kecemasan. Hening. Mencekam.
Sudah pukul 22.00. Lembah itu mulai hening. Suara jangkrik berderik pelan
mereda. Uhu burung hantu. melemah. Suara uwa menghilang. Malam beranjak
matang. Satu jam berlalu.
Rombongan pencari satu per satu kembali. Melapor.
Hasilnya kosong—
Maka benar-benar tegang sudah balai kampung itu. "Hati-hati... Tetap
dalam rombongan, jangan ada satupun yang terpisah—" Wak Burhan berkata
dengan intonasi suara tegas tanpa kompromi. Kelompak lelaki dewasa yang
sudah terbagi menjadi dua rombongan tersebut, mengangguk "Saat pijar
matahari pagi terlihat di kejauhan, saat merah terlihat menyemburat
membungkus lembah, kita berkumpul lagi di sini.... Sebelum itu, cari sampai
dapat. Periksa seluruh semak belukar, jangan sampai ada yang tertinggal.
Pastikan kalian mengenali bercak darah...."
"Sejak kapan?" Wak Burhan menyemburkan sirihnya.
"Sejak tadi siang—"
"Ada yang tahu tadi siang anak itu kemana?" Wak Burhan menyambar
obor di depan pintunya, memotong kalimat Mamak.
"Ee, tadi siang, tadi siang mereka bermain-main di ladang—" Laisa
menjawab patah-patah. Serba salah. Ia tidak ingin menceritakan pertengkaran
itu. Tidak ingin orang tahu kalau Ikanuri mengatakan kalimat kasar itu.
"Dan belum pulang?" Wak Burhan memotong lagi. Cemas.
"Belum, Wak—"
"Sekarang sudah hampir setengah sembilan," Wak Burhan menyimak
gerakan bulan malam ketiga belas di atas sana,
"Ya Allah, Lainuri. Ini benar-benar mencemaskan." Mamak menelan
ludah, wajahnya mengeras, amat tegang.
"Apa yang harus kulakukan, Bang?" Wak Burhan bergumam. Seperti
membaca mantra sajalah. Berhitung dengan cepat. Lantas berseru cepat. "LAIS,
BUNYIKAN BEDUK DI SURAU! Panggil seluruh pemuda kampung, suruh
kumpul di balai, SEKARANG!" Wak Burhan menyemburkan ludah sirinya.
"Dan kau Lainuri, ikut denganku ke balai pertemuan!"
Ini serius. Serius sekali. Semua orang juga tahu, kampung mereka berada
di dekat hutan rimba. Di seberang cadas sungai, di hutan rimba sana, malammalam
begini ada sejuta mara bahaya mengintai. Pemuda dewasa saja berpikir
dua kali kalau harus mencari kumbang masuk jauh-jauh ke dalam sana. Mereka
biasanya hanya merambah dekat-dekat dengan cadas sungai. Itupun harus
berombongan.
Dua anak kecil?
Laisa tidak perlu diteriaki dua kali. Dengan tangan gemetar, ikut
merasakan ketegangan yang segera meninggi, langsung berlari menuruni anak
tangga. Semoga adik-adiknya tidak kenapa-napa. Semoga mereka hanya
bermain di desa atas, memutuskan untuk tidak mau pulang. Atau entah pergi ke
manalah. Semoga mereka... Ya Allah, kenangan masa lalu itu serentak
menyergapnya. Ya Allah! Wajah robek tak berbentuk. Tubuh tercabik-cabik
bersimbah darah. Laisa menggigil. Ketakutan. Kakinya yang berlari terasa berat
sekali.
Bangkai korban sang siluman memenuhi pelupuk matanya.
Hanya dalam waktu lima belas detik. Beduk masjid melenguh kencang.
Kentongan bambu telah di pukul ramai-ramai. Sahut-menyahut. Bertalu-talu.
Semua penduduk kampong keluar. Hilang sudah lelah tadi siang. Disingkirkan
jauh-jauh. Benar-benar rusuh. Mereka mengenali ramai bunyi kentongan itu.
Terakhir terdengar dipukul delapan tahun silam. Mereka berkumpul di balai
kampung. Membawa obor. Membawa golok. Membawa tombak. Apa saja
senjata yang bisa dibawa. Wajah-wajah cemas. Tegang. Balai kampung ramai
kembali.
Wak Burhan berdiri di tengah-tengah balai kampung, Kerlip cahaya obor
membasuh wajah tuanya. Umur Wak Burhan sudah berbilang tujuh puluh, tapi
dia masih gagah. Masih tegap sekali. Dalam situasi serius seperti ini, kedut
wajahnya terlihat amat mengesankan. Kumis melintang. Rahang kokoh. Mata
yang tajam. Makanya penduduk kampung amat segan padanya.
"Dua orang mencari ke desa atas. Dua orang mencari ke desa seberang.
Kau dan teman-temanmu ke Curug Cuak.... yang lain ikut aku...." Wak Burhan
membagi kelompok-kelompok dengan cepat.
"Satu jam dari sekarang, saat bulan berada persis di atas gunung
Kendeng, semua kembali ke sini... Jika Ikanuri dan Wibisana tidak ditemukan
juga, seluruh rombongan akan dipecah dua, kita harus menyusuri hutan rimba.
Kita harus melakukannya—"
Kepala-kepala mengangguk. Seruan-seruan kecil setuju.
CELAKA. Benar-benar celaka. Kesibukan penduduk Lembah Lahambay hari
itu ternyata tidak berhenti saat senja tiba. Tapi benar-benar hingga malam hari,
24 jam.
Menjelang maghrib setelah dipotong istirahat shalat ashar, lima kincir air
itu sudah berderet rapi di dinding cadas sungai. Lubang-lubang pondasi sudah
dituangi cor semen. Belum terpasang. Meski pondasinya sudah siap, lima kincir
itu baru akan dipasang minggu depan, jadwal gotong-royong berikutnya.
Pondasinya dibiarkan dulu kering.
Wak Burhan, para orang tua, pemuda dewasa, menyeringai lega melihat
pekerjaan mereka. Lembah mulai remang, Wak Burhan menghentikan gotongroyong.
Cukup untuk ahad ini. Kesibukan di pinggir sungai itu memang
berhenti ketika mereka beramai-ramai beranjak pulang. Mandi. Berganti
pakaian. Siap menjemput malam, beristirahat.
Tetapi kesibukan lainnya mendadak menyusul. Lebih ramai dari sebelumsebelumnya.
Laisa setelah hampir setengah jam menangis di bawah pohon mangga
beranjak kembali ke pinggir sungai. Menyeka luruh sisa-sisa tangis. Berusaha
senormal mungkin saat bilang ke Mamak kalau Ikanuri dan Wibisana tidak mau
nurut. Mereka bermain-main di ladang, dan justru lari menghindar saat disuruh
pulang. Mamak mengomel, berjanji dalam hati akan menghukum dua sigung
itu nanti malam. Meneruskan pekerjaan memberesi peralatan masak. Senja
mulai turun, jingga membungkus lembah. Sementara Yashinta sejak tadi hanya
dudukduduk saja di pinggir sungai selepas asyik mengejar capung air bersama
teman-temannya.
Tetapi keliru. Laisa yang berpikir Ikanuri dan Wibisana setelah pergi
meninggalkan dirinya akan kembali ke rumah itu keliru. Juga Mamak yang
sudah berencana membuat aturan main baru di rumah saat mengomel nanti
malam. Keliru, Ikanuri dan Wibisana ternyata tidak pulang-pulang. Juga saat
mereka sudah bersiap-siap shalat berjamaah. Dua sigung itu tetap tidak
kelihatan batang hidungnya.
Lepas maghrib, saat orang-orang pulang dari surau, denting kecemasan
itu mulai tumbuh. Mamak Lainuri menatap cemas dari bingkai jendela depan
yang masih terbuka. Kemana pula dua anak nakalnya pergi?
Adzan isya. Lepas shalat isya. Lembah sempurna gelap. Dan sedikit pun
tidak kelihatan tanda-tanda batang hidung Ikanuri dan Wibisana. Mamak
semakin cemas. Menatap siluet hutan rimba dengan nafas bergetar.
Pukul 19.30. Tegang sekali.
Pukul 20.00, Mamak Lainuri akhirnya menyererah.
Sejengkel apapun ia dengan Ikanuri dan Wibisana, dawai kecemasannya
sudah berdenting terlalu tinggi. Ia menyambar obor di depan pintu. Melangkah
cepat ke rumah Wak Burhan. Kak Laisa, yang meski hatinya masih bagai buah
tersayat-sayat sejak kejadian tadi sore ikut ke rumah Wak Burhan. Mamak
hendak melapor. Dua anaknya belum pulang.
"Belum pulang bagaimana, Lainuri?"
"Belum pulang, Bang! Ikanuri dan Wibisana belum pulang ke rumah!"
Mamak mengusap wajahnya, tegang, cemas.
Melawan semakin berani. "LIHAT! Kulit kau hitam. Tidak seperti kami,
yang putih. Rambut kau gimbal, tidak seperti kami, lurus. Kau tidak seperti
kami, tidak seperti Dalimunte dan Yashinta. KAU BUKAN KAKAK KAMI.
Kau pendek! Pendek! Pendek!"
Kali ini kalimat Ikanuri benar-benar bak roket yang ditembakkan tiga kali
di lubang yang sama. Berdebum. Membuat lubang besar itu menganga lebarlebar,
hitam pekat. Laisa terperangah. Sesak. Nafasnya sesak seketika. Ya
Allah, apa yang barusan dikatakan adiknya. Apa ia sungguh tak salah dengar?
Laisa gemetar. Tangannya yang mencengkeram ranting bergetar, terlepas.
"Kenapa? Kenapa kau diam? Kau marah kami mengatakan itu, hah?" Ikanuri
tanpa rasa iba bertanya bengis.
Laisa menelan ludah.Matanyat iba-tiba berair. Ya Allah, aku mohon,
jangan pernah, jangan pernah buat aku menangis di depan adik-adikku. jangan
pernah! Itu akan membuat mereka kehilangan teladan. Laisa meremas pahanya
kencang-kencang. Berusaha mengalihkan rasa sakit di hati ke rasa sakit di
tubuhnya.
"Kami tidak akan lagi menurut... Kau bukan Kakak kami. Bukan! Bukan!
BUKAN!" Ikanuri berseru amat puas. Berkali-kali.
"Hentikan Ikanuri. Hentikan...." Laisa berseru, terbata.
"Kau bukan kakak kami!"
"Hentikan Ikanuri, atau kau kuadukan pada Mamak, dan kalian akan
dihukum tidak boleh masuk rumah selama seminggu," Laisa berkata dengan
suara bergetar. Menahan tangis.
"Kau jelek! Jelek! JELEK!"
"Hentikan Ikanuri—"
"Pendek! Pendek!"
"Hentikan, Ikanuri. Aku mohon — "
"Jelek! Jelek! Pendek! Pendek!" Ikanuri tertawa lepas. Lantas beranjak
melangkah dari bawah pohon mangga dengan seringai penuh kemenangan,
disusul oleh Wibisana (yang tertunduk dalam-dalam, sedikit merasa ganjil
dengan teriakan kasar Ikanuri).
Laisa sudah jatuh terduduk. Sempurna jatuh terduduk. Menatap punggung
adik-adiknya yang menghilang dari balik semak belukar.
Seekor jangkrik di batang pohon mangga berderik.
Pelan. Meningkahi isak tertahan.Gadis tanggung berumur enam belas
tahun itu mendekap wajahnya. Ia tak kuasa lagi menahan sedih di hati. Bukan
karena Ikanuri melawannya, karena toh selama ini Ikanuri selalu berani
melawan. Tapi karena itu benar! Ya Allah, apa yang dikatakan adiknya benar
sekali. Ia bukan siapa-siapa bagi mereka. Ia bukan Kakak mereka. Seluruh
penduduk lembah itu juga tahu. Ia bukan kakak mereka.
Senyap. Hanya tangis tertahan yang terdengar.
Senyap. Juga hanya tangis tertahan yang terdengar di sini.
Kereta ekspress Eurostar melesat membelah perbatasan Swiss-Perancis.
Kecepatan super tinggi. Maximum speed. Masinisnya berusaha membayar dua
jam waktu yang terbuang di pegunungan Alpen. Setelah untuk ketiga kalinya
tebing itu longsor lagi saat dibersihkan, beberapa insinyur dari dewan terdekat
akhirnya tiba di lokasi dengan helikopter, mereka memberikan saran konstruksi
darurat untuk menahan laju longsoran berikutnya. Satu jam berlalu, sejak
dinding seadanya dipasang, kereta ekspress itu bisa kembali melesat menuju
Paris. Menjejak batangan baja relnya.
Hujan sejak lima belas menit lalu juga sudah berhenti.
Jalan kereta yang meliuk melangkahi pegunungan sudah lama digantikan
oleh hamparan tanah luas. Perkebunan anggur. Hamparan padang rumput.
Pohon cemara tinggi-tinggi sudah tertinggal di belakang, Sepuluh menit lagi
Eurostar akan tiba di perbatasan tanah bekas kekuasaan Kaisar Louis, Perancis.
Wibisana memutuskan tidur. Lelah. Membiarkan Ikanuri yang sejak kereta
berjalan lagi tadi tetap terjaga. Pukul 03.30 dini hari di sini. Di luar terlihat
gelap. Hanya sesekali cahaya lampu yang berasal dari rumah pedesaan kecil
pedalaman Swiss terlihat. Seperti kerlip kunang-kunang dari kejauhan. Indah.
Mengembalikan semua kenangan.
Wibisana menggeliat, merubah posisi tidurnya. Kabin itu luas. Lazimnya
diisi berempat, karena mereka hanya berdua, jadi nyaman tidur di kursi panjang
berhadapannya. Tapi Ikanuri tidak tidur, ia tidak bisa tidur sejak kereta jalan
lagi, ia justru sedang sibuk menyeka ujungujung matanya.
Ikanuri terisak pelan. Tertahan.
Menatap kosong keluar melewati jendela kereta.
Kunang-kunang—
Ya Allah, dia jahat sekali. Jahat! Dua puluh lima tahun silam. Seperempat
abad lalu. Kejadian itu tidak akan pernah terlupakan. Tidak akan. Wajah Kak
Laisa yang menangis saat itu. Wajah Kak Laisa yang seperti tak percaya
mendengar dia mengatakan kalimat-kalimat menusuk itu. Ikanuri tersedan.
Lihatlah, wajah Kak Laisa sekarang seperti mengukir sempurna di bayangan
jendela kereta. Wajahnya yang tersenyum, wajahnya yang selalu melindungi
mereka, adik-adiknya yang bebal. Semua pengorbanan itu. Semua....
Ikanuri tersungkur. Tergugu. Dia benar-benar tidak tahan lagi Menangis
terisak. Ya Allah, jika ada yang bertanya siapa yang paling penting dalam
hidupnya.... Jika ada yang bertanya: Siapa? Maka itu sungguh adalah Kak
Laisa.
**********
"Ya, Kak. Kita lagi menghitung jumlah buahnya. Ada berapa gitu—"
"DIAM!!"
"Err, bener Kak. Ada seratus sembilan puluh—"
"DIAM!! Kalian benar-benar tak tahu malu! Semua orang bekerja di
cadas sungai, kalian justru di sini. MENCURI MANGGA!"
Kak Laisa semakin galak, semakin dekat, tangannya cepat mematahkan
salah satu ujung dahan semak belukar.
Ikanuri dan Wibisana tahu persis apa yang akan terjadi. Mereka beringsut
mundur. Laisa semakin dekat. Tertahan, gerakan Ikanuri dan Wibisana tertahan
pohon mangga di belakangnya. Ujung dahan di tangan Laisa sudah terarah
sempurna ke dada mereka berdua.
"Katakan apa ini? Apa yang kau lihat?" Kak Laisa menunjuk dua-tiga
buah mangga hampir ranum yang tergeletak di ujung kaki mereka. Terjatuh dari
saku celana.
"Eee, aku tidak melihat apa-apa, ya kan Wibi?"
"Ya, ya, kami tidak melihat apa-apa. Memangnya ada apaan—" Kak
Laisa benar-benar jengkel.
"Berani sekali kalian mencurinya. BERANI SEKALI Tidak ada di
keluarga kita yang menjadi pencuri meski hidup kita susah, TIDAK ADA." Kak
Laisa berseru marah. Menusuk nusukkan ujung dahan itu ke dada Ikanuri.
Mereka berdua terdiam. Ikanuri meringis. Tidak sakit, hanya berpura-pura
saja. Dia sudah kebal dipukul Kak Laisa. "Apa yang kalian lakukan sepanjang
siang? Main-main di Curug Cuak? Lantas pulang mencuri mangga Wak Burhan
Tidak tahu malu. Apa yang akan dibilang Wak Burhan kalau dia tahu! APA
COBA!?"
Diam, Ikanuri dan Wibisana bungkam.
"Kalian tidak pernah jera. Tidak pernah! Mau jadi apa kalian, hah? MAU
JADI APA??" Kak Laisa mendesis.
"Kalau Mamak tahu kalian mencuri lagi, kalian pasti dihukum tidak boleh
masuk rumah malam ini. Kalau Mama tahu...." Kak Laisa menelan ludah,
berusaha mengendalikan diri. Kalau Mamak tahu Ikanuri dan Wibisana ternyata
justru sedang mencuri saat orang lain sibuk bekerja? Itu benar-benar akan jadi
marah besar.
"Pulang. Kalian ikut denganku ke pinggir sungai, sekarang—" Laisa
melotot, menatap galak. Memberikan perintah. Ikanuri dan Wibisana tetap
bungkam seribu bahasa.
"AYO, PULANG!" Tusukan ujung dahan itu semakin kencang, Ikanuri
meringis, tapi dia tetap tidak beranjak berdiri.
"PULANG KATAKU! SEKARANG!!"
"TIDAK MAU!" Ikanuri entah apa yang sedang ada di kepalanya, tibatiba
berteriak tidak kalah kencangnya. Melawan. Menepis kasar ujung dahan di
dadanya.
"APA KAU BILANG? AYO, PULANG!"
"TIDAK MAU!" Ikanuri melotot.
Dua ekor burung pipit terbang rendah di bawah pohon mangga itu.
Mendesing menjauh mendengar keributan. "Kami tidak mau pulang. Tidak
mau. Kau bukan Kakak kami, kenapa pula kami harus menurut!" Ikanuri
mendesis tak kalah galak. Wajah anak berumur sepuluh tahun itu mengeras.
Kalimat itu benar-benar membungkam waktu. Selaksa senyap di bawah
pohon mangga. Seekor elang melenguh di atas sana, suaranya seperti dibatukan
udara. Terdiam. Laisa sempurna membeku.
"A-pa.... A-pa yang kau katakan?"
"Kau bukan Kakak kami! Kenapa pula kami harus nurut" Ikanuri
mengatakannya sekali lagi. Lebih lantang. Lebih kencang. Beranjak berdiri,
malah.
Laisa menelan ludah. Matahari sudah tergelincir dari puncaknya. Sudah
pukul tiga. Laisa dan penduduk kampung terlatih sekali membaca jam dari
gerakan matahari dan bayangan pepohonan. Di pinggir sungai, penduduk
kampung sudah sejak tadi meneruskan pekerjaan. Jangan-jangan dua sigung itu
sudah kembali ke pinggir sungai? Laisa mendesis jengkel. Baik, ia akan
kembali ke sana sambil menyelusuri jalan yang berbeda dari berangkatnya tadi.
Melewari kebun-kebun penduduk. Siapa tahu dua anak itu tiduran di pondok
rumbia lading padi mereka.
Angin lembah bertiup lembut, Laisa menghela nafas sedikit lega, itu
membantu banyak di tengah terik matahari awal musim kemarau. Kebun
penduduk terlihat menguning. Batang padi merekah oleh bilur-bilur buahnya
yang montok. Sebulan lagi mereka panen bersama. Penduduk kampung lembah
itu umumnya berladang. Jika sudah dua-tiga kali mereka menanam padi,
biasanya diganti dengan kopi atau lada. Atau diseling dengan jagung dan
sejenisnya. Apa saja yang hasilnya bisa dijual di kota kecamatan.
Setengah jam lagi berlalu. Ikanuri dan Wibisana tidak ada di pondok
rumbia lading mereka. Laisa mendengus sebal. Meneruskan langkah kaki.
Harapan satu-satunya, dua anak nakal itu sudah kembali ke pinggir sungai
setelah berpuas diri bermain. Saat itulah, saat Laisa mulai putus asa, tanpa
sengaja sudut matanya yang terlatih menangkap gerakan dedaunan pohon
mangga kebun Wak Burhan, di kejauhan lembah. Tidak lazim. Angin tidak akan
membuat cabangnya bergoyang sedemikian rupa. Dan tidak ada uwa atau
monyet yang sampai di sini, sungai dengan cadas lima meter itu bagai "tembok
besar" membuat kampong mereka seolah terpisah dari hutan rimba.
Laisa mendekat. Menyelidik. Menatap tajam pohon mangga yang sedang
ranumranumnya berbuah. Daunnya yang rimbun seperti dipenuhi benjol-benjol
buah yang besar-besar. Dahan pohon itu bergoyang-goyang lagi. Laisa
melangkah semakin cepat. Tinggal sepelemparan batu, tinggal lima belas meter,
akhirnya ia bisa melihat bayangan yang membuat pohon itu bergerak.
"Cepat, Ikanuri—" Berbisik tertahan.
"Sebentar." Suara itu ikut tertahan.
"Kak Laisa! Ada Kak Laisa! Cepat turun..."
"Sebentar, celanaku tersangkut—"
GEDEBUK!
Ikanuri yang bergegas turun dari pohon mangga malah terjatuh,
kehilangan keseimbang saat buru-buru, menimpa Wibisana yang sudah turun
duluan. Tidak tinggi benar, hanya satu meter, karena mereka sudah tiba di
dahan terendah. Tapi itu membuat pelarian mereka gagal total. Ikanuri yang
sibuk mengaduh selama lima detik, memberikan waktu yang cukup bagi Laisa
untuk mengenali siapa.
"IKANURI! WIBISANA!" Persis seperti radio yang tiba-tiba disetel
kencang-kencang. Laisa berseru galak. Berlari mendekat.
Ikanuri dan Wibisana tersedak. Menatap jerih Kak Laisa yang mendekat.
Berusaha menyembunyikan bukti kejahatan
"APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?"
"Ergh, ee, kita sedang memeriksa pohon mangga Wak Burhan, benar
begitu kan, Wibi?—" Ikanuri menjawab cepat, khas Ikanuri, seadanya bin
ngarang, dengan wajah sama sekali merasa tidak berdosa. Wibisana tidak kalah
begonya ikut mengangguk,
"Apa perlu Lais cari, Mak?"
Mamak Lainuri berpikir cepat, "Nanti. Lepas dzuhur kalau tidak kelihatan
juga ekornya, kau cari mereka. Dasar tak tahu malu. Tidak pernah ada di
keluarga kita yang berpangku tangan saat orang lain sibuk bekerja—" Mamak
mengomel tertahan. "Jangan-jangan mereka ikut starwagoon ke kota lagi,
Mak!"
Muka Mamak mendadak memerah. Sebal. Kemungkinan itu benar-benar
membuat Mamak marah. Apa tidak kapok juga keduanya setelah diomelin
minggu lalu. "Ee, atau hanya pulang sebentar ke rumah disuruh Dali ambil
sesuatu—" Laisa menelan ludah. Menyesal kemungkinan soal starwagoon itu.
Mencoba membuat Mamak lebih nyaman. Percuma. Kalimat itu keliru, kalau
dengan Laisa saja mereka berdua enggan menurut, apalagi dengan Dalimunte.
Mana mau mereka disuruh-suruh begitu. Dan jelas Laisa keliru kalau
membayangkan urusan kali ini sesederhana itu.
Menjelang dzuhur, dua kincir air selesai. Dengan pasak besi, bebatan
batang rotan, kincir bambu itu terlihat kokoh. Disandarkan di dinding cadas
sungai. Dalimunte tersenyum senang, juga yang lain. Sejauh ini rancangan
Dalimunte hanya keliru satu hal, jumlah potongan bambu yang dibutuhkan.
Beberapa lelaki dewasa terpaksa masuk lagi ke hutan, mengambil belasan
bambu berikutnya.
"Mak, Ikanuri dan Wibisana belum kelihatan juga—" Laisa berbisik ke
Mamak.
Muka Mamak yang sedang membawa piring-piring plastik kentara sekali
jengkel. Sementara penduduk kampung berkumpul di pinggir sungai, duduk
membuat kelompok-kelompok di atas bebatuan. Wak Burhan menyuruh mereka
makan siang. Istirahat hingga satu jam ke depan. Beberapa selepas makan
beranjak ke surau. Shalat dzhuhur.
"Kau cari sekarang, Lais. Bila perlu seret saja dua sigung bebal itu
kemari—" Mamak menahan marah. Bagaimana pula ia tak marah, tadi salah
satu tetangga sebelah rumah sempat bertanya di mana Ikanuri dan Wibisana.
Pertanyaan itu tidak serius, hanya bertanya apa kedua anak itu sakit? Pulang?
Tidak enak badan? Mamak hanya tersenyum tipis, mengangguk. Bagi Mamak
urusan ini sensitif sekali.
Laisa tidak perlu diperintah dua kali, segera bergegas meletakkan ceret air
yang digunakannya untuk mengisi gelas-gelas. Melepas kain celemek butut.
Lantas beranjak menyeberangi sungai. Ia sama sekali tidak punya ide di mana
Ikanuri dan Wibisana berada. Meski begitu, tempat yang pertama kali harus
diperiksa adalah rumah. Siapa tahu mereka berdua sedang tidur mendengkur di
bale bambu.
Tidak ada. Laisa tidak menemukan Ikanuri dan Wibisana saat tiba di
rumah sepuluh menit kemudian. Mungkin mereka bermain-main di desa atas.
Laisa menyeka keringat di leher. Matahari siang, terik membakar lembah. Dari
surau, Wak Burhan mengumandangkan adzan. Baiklah. Mamak menyuruhnya
mencari. Itu artinya cari sampai dapat. Tidak ada kata kembali ke pinggir
sungai itu tanpa Ikanuri dan Wibisana. Maka tubuh gemuk dan gempal Laisa
beranjak menuruni anak tangga rumah panggung.
Percuma. Satu jam berlalu. Ikanuri dan Wibisana tidak ada di desa atas.
Starwagoon tua itu juga terparkir rapi di halaman rumah pemiliknya. Laisa
menyeka keringat yang mengucur semakin deras, satu kilo berjalan, sia-sia.
Memutuskan untuk memeriksa tempat kedua anak itu suka bermain-main.
Tidak ada. Mereka tidak ada di Curug Cuak (air terjun). Tidak ada juga di
jembatan gantung desa satunya lagi. Tidak ada di tempat biasa mereka mancing.
Tidak ada.
OMELAN MAMAK LAINURI malam itu hanya mempan seminggu. Ikanuri
dan Wibisana memang rajin sekolah, sok rajin belajar, shalat di surau, lancar
ngajinya, tidak banyak bertingkah, patuh dengan Kak Laisa selama seminggu
terakhir. Namun lepas satu pekan, tabiat lama mereka kembali lagi. Lebih parah
malah.
Ahad berikutnya, seperti kesepakatan pekan lalu, penduduk kampung
bergotong-royong membuat lima kincir air di pinggir cadas sungai.
Melaksanakan ide Dalimunte.
Lelaki dewasa, mulai dari orang tua hingga pemuda tanggung, setengah
hari menghabiskan waktu di hutan, menebang belasan batang bambu besarbesar,
setidaknya tak kurang satu jengkal diameternya. Setengah hari lagi
dihabiskan untuk memotong-motong, mengikatnya dengan tali rotan,
memakunya dengan pasak besi. Wak Burhan dua hari lalu juga memutuskan
menggunakan uang kas warga kampung, membelinya di kota kecamatan,
beserta semen dan keperluan pondasi lainnya.
Sementara ibu-ibu dan gadis tanggung membantu meyiapkan kue-kue
kecil macam serabi, putri salju, juga teh panas. Beserta pula makan siang.
Meski seadanya, hanya dengan sayur terong dan sambal terasi, tapi setelah lelah
bergotong-royong seperti ini, makan sepiring nasi yang masih mengepul terasa
nikmat nian walau tanpa lauk. Apalagi mereka mengerjakan kincir air itu
langsung di pinggir sungai bawah cadas. Asyik benar duduk di atas bebatuan
sambil menyantap makan siang.
Jika sudah sampai sejauh ini, maka tak ada lagi yang sibuk bertanya apa
semuanya akan berhasil. Apa salahnya mencoba (lagi). Maka sesiang itu,
Dalimunte sibuk membentangkan kertas-kertas miliknya, sibuk menjelaskan
bagan konstruksi yang telah dibuatnya. Sebenarnya ganjil sekali melihatnya,
lihatlah, tubuh kecil Dalimunte terselip di antara belasan lelaki dewasa lainnya.
Wajah-wajah yang mengangguk-angguk mendengarkan penjelasannya, tidak
banyak bicara.
Ahad ini seluruh penduduk kampung 30-40 atap rumah itu berkumpul di
pinggir sungai. Semua bekerja, membantu. Tak terkecuali Yashinta, ia
membantu mengangkut bebatuan dengan keranjang rotan, bakal pondasi kincir.
Anak-anak kecil lainnya juga sibuk mengumpulkan pasir. Yang sedikit besaran,
terampil melubangi ruas bambu. Membuat 'pipapipa'. Jika pun tidak ikut
bekerja, anak-anak kecil lainnya sibuk 'menonton' di pinggir sungai sambil
bermain-main. Membuat sekitar ramai oleh teriakan (juga tangisan setelah satu
sama lain bertengkar).
"Lais, kau lihat Ikanuri dan Wibisana?" Mamak bertanya pelan.
"Ee.. bukannya tadi ada di sana, Mak?" Laisa menoleh, menyeka dahinya,
melepas gagang pelepah nyiur, uap mengepul dari dandang besar penanak nasi,
menunjuk kelompok anak lelaki tanggung yang asyik membuat pipa-pipa.
"Tidak ada, Lais"
"Ee, tadi ada di sana, Mak...."
"Benar-benar sigung bebal! Kemana pula mereka pergi ketika semua
sedang sibuk bekerja. Bikin malu keluarga saja!" Mamak Lainuri mendesis
sebal. Memperbaiki bebat kain di kepala.
Laisa menelan ludah. Mengangguk dalam hati. Kemana pula Ikanuri dan
Wibisana sekarang. Lihatlah, semua penduduk kampung berkumpul di sini,
bergotong-royong, dan mereka berdua entah kabur kemana. Menatap sekitar.
Berkeliling. Tidak ada. Di dekat cadas Yashinta sedang tertawa bersama teman
sepantarannya, ada satu yang terpeleset di air saat membawa keranjang pasir,
basah kuyup. Di sisi lain, Dalimunte masih sibuk menunjuknunjuk kincir air
yang mulai berbentuk. Tidak ada Ikanuri dan Wibisana. Juga tidak ada di antara
anak-anak lainnya.
Empat jam setelah Dalimunte dan keluarganya mendarat di bandara kota
provinsi, giliran Jasmine, istri Ikanuri, Wulan, istri Wibisana, beserta anak-anak
mereka, Juwita dan Delima tiba di sana. Repot sekali Juwita dan Delima
mendorong sepeda BMX mereka keluar dari lobi kedatangan bandara.
Tadi meski Ummi mereka berdua memaksa buruan, kedua anak nakal
usia enam tahun itu justru kompak memaksa membawa sepeda BMX spesialis
trek gunung masing-masing, "NGGAK MAU! Juwita harus bawa sepeda! Kan,
asyik buat keliling kebun strawberry bareng Eyang Lainuri dan Wawak Laisa!"
Karena rumah mereka berseberangan halaman, maka jika yang satu membawa
sepeda, otomatis yang lainnya juga ikutan bawa. Tidak mau kalah.
Juwita dan Delima memutuskan untuk tidak banyak berdebat lagi.
Membiarkan saja putrid-putri tunggal mereka membawanya. Jadi terlihat
sedikit mencolok saat dua anak perempuan berumur enam tahun itu mendorong
sepedanya dari counter pengambilan bagasi bandara.
"Mi, Kak Intan sudah sampai, belum?" Delima bertanya,
"Masih di perjalanan, di mobil jemputan perkebunan—" Wulan, Ummi
Delima memasukkan telepon genggamnya ke tas tangan. Barusan menelepon
Cie Hui, Ummi Intan.
"Eh, Mi, Kak Intan bawa sepeda juga, nggak?" Juwita yang bertanya ke
Umminya.
"Tidak tahu, sayang. Yang Ummi tahu Kak Intan pasti bawa gelang 'Safe
The Planet'-nya" Jasmine, Ummi Juwita tertawa kecil. Membantu memotong
tali rafia. Perkebun strawberry mengirimkan jemputan kijang kapsul, jadi dua
sepeda itu terpaksa diikat diatas mobil.
Dua gadis kecil itu menyeringai, bersitatap satu sama lain, idih, pasti Kak
Intan maksa-maksa lagi makai gelang itu. Perasaan baru dua minggu lalu
mereka dikirimi satu kotak. Disuruh-suruh jual ke teman-teman di sekolah.
Ditanyain tiap hari lewat telepon dan email. Orang mereka berharapnya kak
Intan juga bawa sepeda, kan asyik bisa bertiga keliling kebun strawberry bareng
Eyang atau Wawak. Siapa pula yang mau dipaksa-paksa pakai gelang karet
norak itu.
"Mi, Tante Yashinta sudah di mana?"
"Nggak tahu, sayang—"
"Tante Yashinta juga pulang, kan?"
"Nggak tahu. Harusnya iya—"
"Abi kapan tibanya dari Itali, Mi?"
"Ummi nggak tahu, Delima. Keretanya masih terjebak badai—"
"Eh, Wak Laisa emang sakitnya apaan sih, Mi?"
"Nggak tahu, Delima—" Ummi melotot, ia sibuk membantu sopir
mengikat sepeda, Delima justru sibuk bertanya.
"Terus yang Ummi tahu apaan, dong? Payah nih!" Delima nyengir,
sedikitpun merasa tidak berdosa dengan celetukannya.
Imbalannya lengan Delima dicubit. Meringis. Dua gadis kecil itu benarbenar
menyerupai Ikanuri dan Wibisana waktu kecil. Bedanya, mereka lebih
jago bicaranya, ngeles. Terlatih. Lah, mereka belajar dari guru terbaiknya: Abi
nya yang sering kasih contoh di rumah.
Setengah jam berlalu, mobil kedua melesat menuju perkampungan
Lembah Lahambay. Melewati hampir tiga ratus kilo perjalanan. Kota-kota
kabupaten. Kota-kota kecamatan. Pedesaan. Hutan-hutan lebat. Semak-belukar.
Pohon bambu. Perkebunan kelapa sawit. Perkebunan karet. Padang rumput
meranggas. Naik turun lembah. Melingkari bukit barisan. Sungai-sungai yang
meliuk. Persawahan. Menyaksikan monyet yang berani bergelantungan di tepitepi
hutan. Satu-dua babi liar yang nekad menyeberangi jalan aspal.
Itu semua sebenarnya pemandangan yang menarik, sayang tidak untuk
situasi saat ini. Juwita dan Delima pun sejak separuh perjalanan akhirnya lebih
banyak tertidur. Lelah bertengkar di atas mobil. Bertengkar soal siapa yang
akan duduk di tengah-tengah Eyang dan Wawak Laisa pas makan malam,
padahal percuma juga mereka rebutan sekarang, toh Kak Intan biasanya ngusir
mereka dari kursi strategis itu.
Juwita dan Delima tertidur dengan wajah polos. Saling memegangi jidat.
Bagi mereka, urusan ini sederhana.
**********
"DALIMUNTE sudah di mana?"
"Sudah naik mobil jemputan perkebunan strawberry, bersama Kak Cie
Hui dan Intan." Ikanuri memasukkan telepon genggam ke saku. Merapatkan
jaket hujan yang dikenakan.
Kereta ekspres itu berhenti persis di tengah hutan.
Di depan Sana belasan lampu sorot berkekuatan ribuan watt menerangi
lokasi longsoran tebing. Hanya butuh setengah jam sejak longsoran itu terjadi,
tim tanggap darurat kepolisian dan pasukan militer Swiss dari kota terdekat tiba
di lokasi. Membawa alat-alat berat untuk membersihkan tanah liat yang
menumpuk sepanjang lima belas meter. Mereka terbilang taktis dan gesit. Ada
sekitar dua peleton pasukan di sana. Tapi hujan yang turun semakin deras,
membuat pekerjaan semakin sulit. Apalagi, baru saja bersih lima meter, tebing
itu longsor lagi. Lebih banyak.
"Signori, siete pregati di rientrare nelle carrozze, per favore? Senior,
sebaiknya kalian segera masuk kembali ke gerbong, please?" Gadis berambut
pirang, petugas berseragam yang melayani penumpang kabin kereta (macam
pramugari di pesawat terbang) berteriak dari pintu gerbong dengan toa. Ikanuri
menoleh, mendesis sebal.
"epiu confortevole dentro— " Gadis itu membujuk lagi.
"Sebentar Lagi—" Ikanuri yang bete sejak tadi, menjawab mengkal
seruan itu (dengan bahasa Indonesia pula). Gadis itu mengernyit, tidak
mengerti.
Mereka baru tiga jam dari Roma. Kereta beranjak melintasi perbatasan
Swiss. Tidak bisa tidur, meski kabin itu amat lega dan nyaman. Saat sedang
berusaha menelepon Yashinta, Mamak Lainuri, dan Dalimunte kereta tiba-tiba
berhenti. Aneh. Kereta itu kereta express, mana boleh berhenti sembarangan
macam kereta di Indonesia. Ada apa? Ikanuri dan Wibisana beranjak keluar dari
kabin. Segera mencari tahu. Dan segera pula menyumpah-nyumpah (Ikanuri)
saat tahu masalahnya.
Karena sebal, Ikanuri dan Wibisana memutuskan turun dari kereta, ingin
melihat langsung pekerjaan pembersihan rel. Masinis berbaik hati meminjami
dua jaket hujan besar. Malam ini, kereta hanya berpenumpang tujuh orang.
Penumpang yang lain sibuk tidur di kabin masing-masing. Tidak peduli. Siapa
pula yang mau hujan-hujanan di luar dengan suhu nyaris nol derajat celcius.
Masinis itu malah santai menonton siaran live sepak bola Juventus-Manchester
United dari teve mungilnya. Kejadian ini berkah baginya, dia jelas tidak boleh
menonton saat menjalankan kereta.
"Kau sudah telepon Yashinta lagi? Tersambung?" Wibisana mengangguk,
sudah. Terus menggeleng, tidak tersambung.
"Kenapa pula di situasi sepenting ini HP anak itu dimatikan?" Ikanuri
mendengus jengkel. Menatap putus asa puluhan petugas kepolisian dan
pasukan militer yang seliweran membersihkan rel kereta. Lihatlah, dinding
tebing itu longsor lagi setelah mereka berhasil memindahkan separuh tumpukan
lumpur di atas rel.
Bisa tidak sih mereka berpikir jenius seperti Dalimunte! sepuluh persen
saja dari otak hebat Dalimunte. Dinding tebing itu harusnya di tahan dulu.
Diberikan konstruksi penahan, atau entahlah yang penting bisa mencegah
longsoran baru. Baru dibersihkan rel keretanya. Kalau begini urusannya, masih
butuh berjam-jam lagi kereta ini bergerak. Bah! Percuma juga mereka taktis
dan gesit kalau melakukannya dengan bodoh.
"Juwita dan Sekar sudah tiba di mana?" Ikanuri bertanya.
"Lima menit lalu mereka bilang sudah di bandara, menunggu jadwal
penerbangan dua jam lagi." Wibisana menjawab.
"Semoga kita bukan yang terakhir tiba."
"Tentu tidak, Ikanuri—"
"Semoga kita tidak datang terlambat." Ikanuri mengeluh sekali lagi. Itu
benar-benar keluhan tertahan. Wibisana menepuk-nepuk bahu Ikanuri.
Tersenyum. Berbisik,
"Tidak akan terjadi apa-apa, Ikanuri. Kita akan tiba tepat waktu.
Berdoalah, Kak Laisa akan baik-baik saja...." Hujan turun semakin deras. Badai
semakin kencang.
"Tidak ada salahnya, bukan?" Laisa menatap sekitar.
"Sampai kapan kita harus mengalah atas cadas lima meter itu! Sampai
kapan?" Penduduk justru saling bersitatap.
"Baik. Sekarang siapa yang setuju dengan usul Dalimunte?" Kak Laisa
berseru dari tengah-tengah balai kampung, menghentikan dengung lebah untuk
kedua kalinya. Menatap tajam.
Muka-muka masih saling bersitatap satu-sama-lain. Sedetik. Dua detik.
Dalimunte menggigit bibir. Sia-sia. Urusan ini tidak selancar yang
dibayangkannya. Ide lima kincir air itu percuma. Lihatlah, tidak ada yang
hendak mengacungkan tengan, meski Kak Laisa terlihat amat yakin dengan
idenya.
"Siapa yang setuju dengan usul Dalimunte?" Kak Laisa bertanya tegas.
Sekali lagi.
Tiga puluh detik berlalu. Tetap lengang.
Yashinta yang pertama kali mengangkat tangannya, takut-takut (entah ia
mengerti atau tidak urusan itu). Muka gadis kecil enam tahun itu menyeringai
menggemaskan seperti biasa. Orang-orang menoleh. Wak Burhan menyusul,
ikut megangkat tangan dengan mantap, sambil tersenyum ke arah Yashinta.
Lantas Mamak Lainuri, Ikanuri, Wibisana, terus ibu-ibu kampung lainnya,
hingga orang tua, dan akhirnya pemuda-pemuda itu.
Kak Laisa tertawa lebar. Menyikut bahu Dalimunte yang berdiri di
sampingnya. Anggukan dan seruan 'kenapa tidak' sekarang ramai keluar dari
mulut penduduk. Mereka akan mencobanya. Sekali lagi! Tertawa lebar dengan
ide lima kincir air itu.
Dalimunte mengigit bibir. Menghela nafas, lega.
Hari itulah saat Dalimunte menyadari sesuatu. Memang dia yang
memulai ide lima kincir air tersebut, tapi semua orang tahu, karena Kak Laisalah
ide itu akhirnya dikerjakan. Hari itulah, Dalimunte belajar satu hal:
bagaimana bicara yang baik di hadapan orang banyak. Belajar langsung dari
Kak Laisa yang entah bagaimana caranya menguasai benar hal tersebut. Begitu
yakin. Begitu tenang.
Dalimunte mungkin tidak akan pernah tahu. Tidak pernah! Kak Laisa
sama gugupnya seperti dia, sama gentarnya bicara di tengah-tengah balai
kampung itu. Tetapi Kak Laisa tidak akan pernah membiarkan adik-adiknya
kecewa. Tidak akan pernah membiarkan adiknya merasa malu. Jika harus ada
yang kecewa dan malu, itu adalah ia. Bukan adik-adiknya. Bagi Laisa, sejak
babak pergi, hidupnya amat sederhana. Adik-adiknya berhak atas masa depan
yang lebih baik dibandingkan dirinya. Lagipula Laisa akhirnya mengerti
kenapa Dalimunte bolos sekolah kemarin. Maka demi rasa sesal telah memukul
lengan Dalimunte, keberanian itu muncul begitu saja. Memberikan energi yang
luar biasa. Begitu yakin. Begitu tenang. Dan tidak hanya hari itu Laisa
melakukannya. Sungguh tidak. Ia melakukannya berkali-kali sepanjang
umurnya. Demi keempat adik-adiknya.
Mata-mata serempak memandang ingin tahu. Dalimunte seketika terdiam.
Dia tidak tahu itu. Mana sempat lihatnya, keburu disuruh pulang Kak Laisa.
Jangan-jangan kincirnya malah roboh duluan tidak cukup kokoh dihantam arus
deras sungai. Dalimunte mulai ragu dengan idenya. Menatap sekitar mencari
dukungan. Wak Burhan hanya diam. Seruan-seruan semakin ramai terdengar.
Dalimunte menelan ludah. Tertunduk. Sia-sia. Idenya akan mubazir.
Tidak ada yang menanggapinya serius. Persis seperti selama ini, penduduk
kampung seolah sudah pasrah dengan takdir cadas lima meter itu. Mereka toh
dulu sudah berkali-kali membuat kincir air raksasa, dan tidak ada hasilnya.
Dalimunte perlahan mengumpulkan kertas-kertas, tertunduk, menelan ludah.
"Tentu saja kincir-kincir itu bekerja!"
Seseorang tiba-tiba berseru. Berseru dengan suara lantang sekali.
Membuat dengung lebah terdiam. Seketika.
Dalimunte menoleh. Gerakan tangannya terhenti. Dia kenal sekali
intonasi suara itu.
Kak Laisa! Kak Laisa sudah berdiri dari duduknya. "Kita bisa
melakukannya. Apa susahnya membuat kincir-kincir itu. Jika Dalimunte bisa
membuat dua dengan bambu seadanya, kita bisa membuatnya yang lebih bagus,
lebih kokoh." Kak Laisa berseru, melangkah ke depan.
Mata-mata sekarang memandang Kak Laisa. Gadis tanggung berumur
enam belas tahun itu dengan berani justru 'galak' membalas tatapan penduduk
lainnya yang jelas-jelas lebih tua dan lebih besar darinya. Kak Laisa terlihat
begitu yakin dengan setiap kalimatnya. Sama sekali tidak terlihat gugup.
"Itu akan membuang-buang tenaga, Lais— " Pemuda yang tadi
menyahut, berusaha menurunkan intonasi suaranya.
"Tidak ada yang akan membuang-buang tenaga, Tidak ada, Jogar—" Kak
Laisa menukas cepat. Lebih galak.
"Siapa yang akan memastikannya akan berhasil, Lais? Kita dulu pernah
membuat kincir besar itu. Dan percuma saja, terlalu besar, air sungai tidak
cukup kuat untuk memutarnya, cadas itu terlalu tinggi!" Salah satu orang tua
memotong. Berusaha menjelaskan.
"Kalian tidak mendengarkan dengan baik kalau begitu. LIMA KINCIR
AIR. Dalimunte bilang lima kincir air! Bukan kincir raksasa—"
"Apa bedanya? Siapa yang akan menjamin itu berhasil?"
"Tidak ada. Tidak ada yang menjamin itu akan berhasil. Benar! Itu akan
membuang-buang tenaga jika gagal! Tapi jika berhasil? Kita sudah bertahuntahun
hanya menggantungkan nasib ladang kita, hidup kita, kampung kita, dari
kebaikan hujan. Sudah saatnya kita membuat irigasi sendiri untuk ladangladang
itu. Berpuluh-puluh tahun sejak kincir raksasa itu gagal dibuat tidak ada
lagi yang memikirkan bagaimana caranya mengangkat air sungai dari bawah
cadas. Tidak ada salahnya mencoba kincir-kincir air itu. Lima kincir bertingkat.
Itu masuk akal. Semasuk akalnya seperti kita berharap benih di ladang tumbuh
saat musim penghujan! —" Kak Laisa berkata lantang dan cepat. Amat
meyakinkan.
Seruan-seruan terdengar lagi dibalai kampung. Lebih ramai dibanding
saat membicarakan perambah hutan tadi. Seruan-seruan ragu-ragu, seruanseruan
sangsi, meski sekarang anggukan-anggukan kecil mulai bermunculan.
"MAKSUDMU, kita bisa mengangkat air sungai itu dengan kincir-kincir itu,
Dali?" Salah seorang pemuda bertanya, memecah lengang setelah Dalimunte
selesai menunjukkan gambar-gambarnya.
Dalimunte mengangguk mantap.
"Lantas membuatnya mengairi ladang-ladang kita?" Bertanya lagi.
Sedikit terpesona, lebih banyak sangsinya.
Dalimunte mengangguk sekali lagi. Bahkan kincir-kincir itu bisa sekalian
digunakan sebagai pembangkit listrik. "Itu lima meter tingginya, Dalimunte!
Sebesar apa kincir yang harus kita buat agar bisa mengangkat air dari sungai
bawah cadas? Kau harusnya tahu itu." Pemuda itu berseru sedikit putus-asa.
"Tidak besar. Tidak besar!" Dalimunte menjawab cepat. Setelah lima menit
menjelaskan kertas-kertasnya dengan terbata-bata, meski masih gugup, dia jauh
lebih tenang sekarang, "Tapi kita akan membuat lima kincir air, membuatnya
bertingkat! Tidak besar!"
"Mustahil! Itu tidak mudah dilakukan—" Pemuda yang lainnya
menimpali, memotong, "Bagaimana kau akan memastikan kincir-kincir itu bisa
bergerak bersamaan? Menyusunnya agar bisa sesuai satu sama lain?
Memasangnya di cadas batu?"
"Ergh, dengan, dengan disusun secara tepat...."
"Secara tepat? Bah, secara tepat menurutmu itu apa. Kau tahu tidak ada
yang sekolah hingga kelas enam di sini selain kau...."
Tertawa, beberapa penduduk menyeringai.
"Lantas bagaimana pula kau akan memastikan air itu bisa dialirkan sejauh
satu kilometer ke ladang-ladang kita?" Yang lain berseru. Bertanya.
"Dengan pipa-pipa—"
"Pipa-pipa? Itu pasti mahal membuatnya, Dalimunte! Belum lagi kayukayu.
Pasak besi, Rel pemutar! Mana cukup uang kas kampung...." Mengeluh.
"Tidak! Tidak mahal, hanya dengan pipa bambu—"
"Bambu? Omong-kosong! Kincir air itu tidak akan cukup kuat. Babakbabak
kita dulu pernah membuatnya,"
Seruan-seruan sangsi terdengar. Balai kampung itu ramai kembali oleh
seruan-seruan.
"Ergh, aku sudah membuat dua kemarin.... Sudah ada di sungai bawah
cadas—"
Dalimunte mencoba meningkahi keramaian setelah terdiam sebentar, dia
tidak menyangka akan ada banyak pertanyaan, seruan ragu-ragu semacam ini.
Sepanjang pagi tadi dia hanya memikirkan hanya bilang soat idenya. Sisanya
terserah Wak Burhan. Ternyata —
"Kau sudah buat dua? Lantas apa kincirnya bekerja?" Pemuda yang lain
mendesak. Ingin tahu.
Sinyal sambungan langsung internasional itu payah, putus-putus. Dengan
jeda waktu bicara lama pula. Jadi kalian bicara sekarang, baru tiga detik
kemudian terdengar di seberang sana. Juga sebaliknya.
"Kami persis di pegunungan Alpen, Swiss. Ya ampun, ini benar-benar
sialan semua urusan ini—
Ada longsor yang menimbun jalan kereta! SWISS. Kami di SWISS,
bukan ITALIA, PROFESOR. Hallo? Hallo? Tidak. Kami tidak berangkat dari
Roma. Sepakbola sialan ini membuat semua penerbangan dari kota-kota di
Italia penuh hingga dua hari ke depan. Terpaksa berangkat dari Paris. PARIS,
bukan SWISS—"
Suara gemuruh hujan terdengar dari latar suara Ikanuri.
"Tidak. Tidak. Kami akan terbang dari Paris, Dalimunte. Dengan
penerbangan besok pagi, jika semua tanah sialan ini berhasil dibersihkan. Di
sini sedang hujan deras. Ada tebing yang longsor. Tanahnya memenuhi jalanan
kereta. Apa? Sialan. SUARANYA PUTUS-PUTUS, DALIMUNTE! APA? Oo-
Juwita, Delima, dan Ummi mereka sudah dalam perjalanan ke sana. Seharusnya
dua-tiga jam lagi tiba di bandara. Kau sudah dijemput di bandara?" Ikanuri
entah untuk ke berapa kalinya memaki.
Sementara di sini, sambil menelepon, Dalimunte melangkah cepat menuju
lobi depan bandara. Mobil jemputan perkebunan strawberry sudah menunggu
sejak tiga jam lalu. Perjalanan Jakarta menuju ibukota provinsi ini hanya butuh
satu jam. Tujuh jam berikutnya dihabiskan dengan perjalanan darat menuju
Lembah Lahambay. Dulu itu menjadi perjalanan yang menantang. Terpaksa tiga
kali ganti kendaraan. Satu kali menumpang bus ke kota kabupaten. Satu kali
lagi menumpang angkutan pedesaan terbuka menuju kota kecamatan. Terakhir
naik starwagoon tua itu menuju perkampungan. Sekarang tidak lagi, sejak
perkebunan strawberry punya cabang pabrik pengalengan di kota provinsi,
akses ke sana jauh lebih mudah.
"Apa? Hallo? YASHINTA? Aku tidak tahu, Dalimunte!" Ikanuri
berteriak, suara hujan semakin deras,
"Aku sudah hampir sepuluh kali menghubungi telepon genggam satelit
Yashinta. Tidak ada sinyal. APA? HALLO? TIDAK TAHU! Aku tidak tahu!
Tentu saja ia baik-baik saja, Dalimunte—"
Kedua kakak-beradik itu (satu di Italia, satu di sini) mengernyit
berbarengan. Dalimunte melipat dahinya lebih lebal, terlihat amat cemas. Dia
juga sudah tiga kali mengontak HP Yashinta tadi. Sama. Sama sekali tidak ada
sinyal. "Mematikan HP? Tidak mungkin ia sudah di pesawat, bukan? Apa? Oo
Terakhir aku ditelepon Yashinta tadi malam. Ia menginap di punggung lereng
Semeru. Apa? Tentu tidak, Dalimunte. Kenapa pula kau persis seperti Mamak,
mencemaskan hal-hal kecil. Anak itu dua kali lebih atletis dibandingkan Kak
Laisa, apalagi dibandingkan kau! DIA AKAN BAIKBAIK SAJA,
DALIMUNTE!" Pembicaraan itu terdiam sejenak. Kelu. Dalimunte menelan
ludah mendengar nama Kak Laisa disebut Ikanuri.
"Kau sudah menelepon Mamak di kampung?" Ikanuri setelah ikut
terdiam sebentar, bertanya. Dengan intonasi sedikit berbeda. Juga ikutan
merasa ganjil setelah menyebut nama Kak Laisa.
"Baik. Baik. Jika kau tiba tujuh jam lagi bilang Mamak, aku dan
Wibisana akan berusaha segera tiba di sana, Dalimunte. Ya ampun, apa yang
sering kubilang dulu? Kau seharusnya sudah menemukan alat agar kami bisa
pindah kemana saja dalam sekejap, Profesor. Bukan hanya mengurus soal bulan
yang terbelah, itu kan sudah jelas pasti benar, Mamak dulu jugasudah bilang itu
benar dalam cerita-ceritanya lepas Shubuh, tak perlu kau buktikan—" Ikanuri
mencoba bergurau, sebelum menutup sambungan internasional.
Lengang. Dalimunte mengusap wajahnya sekali lagi. Terdiam. Bukan
karena gurauan Ikanuri soal penelitiannya. Wibisana dan Ikanuri berdua
memang sejak kecil kompak sudah suka mengganggu 'penelitian-penelitiannya'.
Menyembunyikan alat-alatnya. Dalimunte terdiam karena memikirkan sesuatu.
Cemas.
"Abi, jadi naik nggak?" Intan berseru memanggil dari dalam mobil.
Putrinya sudah duduk rapi memeluk si belang. Sopir perkebunan strawberry
juga sejak dari tadi menunggu.
Dalimunte menghela nafas. Ya Allah, bertambah satu lagi hal
mencemaskan. Yashinta! Kemana pula adik bungsunya itu? Ganjil sekali HP
satelitnya tidak ada sinyal. Apa dia harus cek GPS (global positioning system)
agar tahu posisi Yashinta? Tapi kalau HP satelitnya saja mati, apalagi GPS-nya.
Itu satu paket dengan gagdet canggih Yashinta. Dalimunte setelah menghela
nafas untuk kesekian kalinya, beranjak menghempaskan pantat di jok mobil.
Mengangguk, memberikan kode jalan ke sopir.
Wak Burhan meletakkan palu bonggol kayunya. Tersenyum tipis. Itu
janggal sekali, pertemuan tahunan itu meski diikuti oleh seluruh penduduk
kampung, hanya pria dewasalah yang bicara. Sisanya menonton.
"Ergh, eee, iya Wak...." Dalimunte menelan ludah, amat gugup dengan
tatapan penduduk lainnya.
"Baik. Apa yang ingin kau sampaikan, Dalimunte?"
Wak Burhan tersenyum lebih lebar, mengeluarkan sirih dari mulut. Dia
mengenal sekali anak Lainuri yang satu ini. Rajin shalat berjamaah di surau.
Masih anak-anak. Tapi siapa bilang dia masih anak ingusan umur dua belas
tahun. Sejak Babak mereka meninggal, anak-anak Lainuri tumbuh berbeda
dengan yang lain, tumbuh menjadi anak-anak yang bisa diandalkan.
"Ergh, sebentar—" Dalimunte dengan tangan sedikit bergetar membawa
kertas-kertasnya ke depan. Saking gugupnya, beberapa kertas berjatuhan.
Dalimunte patah-patah mengumpulkannya.
Mamak Lainuri masih mengernyitkan dahi. Kak Laisa menatap lebih
bingung. Buat apa kertas-kertas itu? Penduduk lain menunggu.
"Ee, maaf kalau, maaf kalau—" Dalimunte mengusap dahinya.
"Kau tidak perlu gugup begini, Dalimunte. Katakan sajalah. Kami akan
mendengarkan!" Wak Burhan mengangguk mantap padanya.
Dalimunte menelan ludah. Menatap Kak Laisa, menatap Mamak Lainuri.
Menatap Yashinta. Lantas sedikit tersenyum tanggung demi melihat wajah
adiknya. Lihatlah, adiknya dengan bola mata membulat penuh rasa ingin tahu
balas menatapnya. Ekspresi yang sama seperti setiap kali Yashinta diajak
melihat anggrek hutan raksasa. Atau melihat pohon salak hutan. Atau melihat
sigung berkejaran. Tidak. Yashinta sedikitpun tidak merasa ganjil dengan
Dalimunte yang tiba-tiba berdiri di tengah balai kampung. Yashinta hanya ingin
tahu. Baiklah, Dalimunte menekuk ibu jari kakinya, ini semua mudah.
Tersenyum penuh penghargaan sekali lagi ke arah Yashinta. Maka meluncurlah
penjelasan itu—
"HALLO! HALLO! PROFESOR—"
Ikanuri terdengar berteriak di seberang sana. Meningkahi berisiknya
suara krsk telepon genggam.
"Kau kemana saja, Dalimunte? Aku sejak sejam lalu berusaha menelepon.
Hallo? Hallo? Ya, kau dengar? Aku sejak tadi menelepon kau. Tidak ada sinyal,
Dali. Sama sekali tidak ada. Akhirnya justru kau yang menghubungi sekarang.
Bah, sejak kapan kau memattkan HP urusan keluarga?"
"Tadi di pesawat—"
"Apa? Hallo? Oo, pesawat—
Kau sudah di mana?"
Dalimunte tidak mempedulikan.
Balai kampung itu sudah ramai saat mereka tiba. Pertemuan sengaja
dilakukan sepagi mungkin, biar selepas acara, mereka masih sempat bekerja di
ladang. Kursi-kursi bambu berjejer rapi. Sudah disiapkan sejak semalam oleh
pemuda kampung.
Wak Burhan, sesepuh kampung berdehem, setelah memastikan semua
warga hadir, mengetukkan palu dari bonggol bambu, segera memulai
pertemuan. Warga kampung diam memperhatikan. Pertama, mereka
membicarakan soal kesepakatan lumbung kampung. Berapa kaleng yang harus
disetorkan setiap rumah untuk cadangan padi kampung. Per-kepala atau perhasil
panen. Lima belas menit penuh seruan-seruan. Usul-usul. Kalimat-kalimat
keberatan. Usul-usul lagi. Satu dua kalimat tidak penting. Satu dua usul lagi.
Setuju. Beres.
Mamak Lainuri menyeka dahi. Meski lima kaleng itu benar-benar akan
mengurangi penghasilan ladang mereka yang tidak luas, cadangan padi selalu
penting. Dua tahun silam saat ladang mereka terkena hama belalang, lumbung
kampung memastikan perut anakanaknya tetap kenyang. Setidaknya panen kali
ini semoga masih ada sisa buat membeli seragam sekolah buat Yashinta.
Lebih banyak lagi waktu dihabiskan untuk membahas soal perambah
hutan dari daerah lain, Seruan-seruan marah makin ramai. Memaki.
Mengancam. Wak Burhan, yang masih terhitung saudara Mamak Lainuri (dan
juga warga kampung lainnya) menengahi. Sepakat melaporkan soal itu ke polisi
hutan kota kecamatan. Separuh dari hutan di Lembah Lahambay itu adalah
kawasan taman nasional. Daerah konservasi. Hanya lokasi-lokasi tertentu yang
dibolehkan diolah, meski penduduk setempat sendiri kadang juga melanggarnya
dengan menangkapi uwa, kukang, atau binatang dilindungi lainnya. Tapi
perlakuan perambah hutan itu memang mencemaskan, mereka tega membawa
senso (gergaji mesin) besar, dan tanpa ampun mulai menebangi pohon-pohon
raksasa.
Perbaikan jalan bebatuan tiga meter itu diputuskan hanya dalam hitungan
menit. Keputusannya adalah: Menunggu. Menunggu pemerintah kota berbaik
hati sajalah. Mereka sudah terlalu repot dengan kehidupan sehari-hari untuk
ditambahi memperbaiki jalan sepanjang duapuluh kilometer itu. Lagipula desadesa
sekitar mereka juga menolak memperbaikinya, agar perambah hutan tidak
semakin sembarangan masuk membawa truktruk yang akan mengangkuti kayu
gelondongan hasil jarahan.
Membicarakan perselisihan batas ladang, sepakat memberikan tanda baru
untuk setiap batas kebun. Jadwal pengajian mingguan. Gotong-royong
perbaikan tangga kayu di cadas setinggi lima meter sungai. Sumbangan rutin
buat acara besar (Maulid, Isra Mi'raj). Dan beberapa masalah kecil lainnya.
"Masih ada yang ingin dibicarakan?" Dua jam berlalu sejak tadi pagi,
Wak Burhan sekarang menatap seluruh balai kampung. Lengang sejenak.
"Masih ada?" Wak Burhan bertanya sekali lagi.
Sepertinya sudah selesai. Tidak ada lagi yang hendak melaporkan sesuatu.
Wak Burhan tersenyum, meraih pentungan dari bongkol bambu, bersiap
menutup pertemuan. Saat itulah, saat penduduk kampung menggeliat santai
karena pertemuan sudah selesai, saat mereka beranjak merapikan baju yang
terlipat, tiba-tiba Dalimunte mengangkat tangannya. Awalnya ragu-ragu, tapi
karena sudah kadung, sudah sejak seminggu lalu meniatkan diri, maka sambil
menggigit bibir, Dalimunte menaikkan tangannya lebih tinggi, Muka-muka
tertoleh.
Muka-muka bingung. Bukannya sudah selesai?
Mamak Lainuri mengernyitkan dahi. Kak Laisa yang merasa ganjil,
menyikut bahu Dalimunte yang duduk di sebelahnya. Ikanuri dan Wibisana
yang sejak tadi hanya jahil tertawa-tawa saling berbisik menganggu dan sibuk
berkomentar terhenti cengirannya. Hanya mata Yashinta yang membesar penuh
rasa ingin tahu.
"Ya, kau ingin menyampaikan sesuatu Dalimunte?"
PAGI BERIKUTNYA datang lagi.
Wak Burhan mengumandangkan adzan shubuh. Meski sudah sepuh, suara
Wak Burhan yang tanpa speaker dari surau terdengar menggema di
perkampungan bawah Lembah Lahambay. Dalimunte terkantuk-kantuk menarik
sarung adik-adiknya. Kerlip lampu canting semakin lemah, minyak tanahnya
hampir habis.
"Bangun Ikanuri! Wibisana!"
Yang dibangunkan hanya menggeliat sebal. Menarik bantal. Lantas
menutupkannya ke kepala. Dalimunte menggosok-gosok mata, sedikit
terhuyung berdiri. Pagi ini penting baginya. Sebenarnya juga bagi seluruh
penduduk kampung. Seperti kesepakatan minggu lalu, bakal ada pertemuan
rutin tahunan di balai kampung. Membicarakan soal panen ladang-ladang
mereka, perbaikan jalan bebatuan selebar tiga meter itu, perselisihan antar
tetangga (jika ada), perambah hutan dari luar lembah yang semakin sering
masuk, hal-hal kecil. Dulu, waktu Babak masih ada, Babak-lah jadi wakil di
pertemuan, mereka bersama-sama datang ke balai kampung. Asyik menyimak
pembicaraan.
Dalimunte menguap sekali lagi, melangkah mengambil kopiah. Mamak
sejak jam empat tadi sudah sibuk di dapur, masak air enau, Ditemani Kak Laisa.
Brr... dingin. Musim kemarau, dinginnya semakin terasa menusuk tulang. Tapi
Dalimunte semangat shalat di surau. Teringat ada hal penting yang harus
dikerjakannya hari ini. Itulah kenapa kemarin dia nekad bolos, dia ingin
melakukannya sendiri sebelum pertemuan kampung dilakukan.
Suara kokok ayam hutan terdengar dari kejauhan. Juga lenguh pagi uwa.
Beberapa tetangga membawa obor bambu menuju surau. Jalanan kampung
masih gelap. Obor itu sekalian juga penerangan di surau. Tidak banyak peserta
shalat shubuh, paling berbilang enam-tujuh orang. Dan satu-satunya peserta
anak kecil, ya, Dalimunte.
Sekembali dari surau, Ikanuri dan Wibisana masih tertidur, saling
membelakangi punggung, dengan kaki-kaki menyilang. Dalimunte nyengir
melihat posisi aneh itu, malas membangunkan lagi; menuju kertas-kertasnya
yang ditumpuk di atas meja.
Siapapun di lembah itu tahu persis, di sekolah Dalimunte dikenal sebagai
anak yang paling pintar, meski sekolah ini benar-benar seadanya. Dan satu
bakat besar milik Dalimunte (meski untuk yang ini tidak semua penduduk
lembah tahu), dia suka sekali mengutak-atik sesuatu. Diam-diam melakukannya
di sela-sela membantu Mamak di ladang, Apa saja. Menciptakan alat-alat yang
aneh. Seperti keranjang aneh penangkap udang, alat panjang penyadap damar,
dan sebagainya.
Ahad pagi, hari ini sekolah libur. Selepas Kak Laisa meneriaki Ikanuri
dan Wibisana bangun agar shalat shubuh, sesudah sarapan nasi goreng, benarbenar
hanya nasi yang digoreng plus potongan cabai dan bawang merah,
mereka beramai-ramai berangkat ke balai kampung. Pertemuan rutin warga
kampung.
"Kakak bawa apa, sih?" Yashinta bertanya, melihat kertas-kertas yang
dipegang Dalimunte.
"Biasa, penemu. Paling juga bawa peta harta karun—" Ikanuri dan
Wibisana nyengir. Tertawa menggoda. Mereka berdua selama ini juga suka
jahil merusak kertas-kertas atau apa saja yang dikerjakan Dalimunte.
Yashinta tanpa perlu diperintah dua kali, membuka ikatan kantung plastik
kecil. Sekejap terdiam memegang kotak berwarna itu. Seperti tidak percaya.
Satu detik. Dua detik. Lantas berseru senang sekali.
"CRAYON 12 WARNA—" Yashinta tertawa lebar. Ikanuri ikut tertawa.
Mengusap jidatnya.
"TERIMAKASIH, KAK!"
Ah, malam itu, di tengah sejuknya angin malam menilisik lubang.-lubang
dinding. Di tengah gemerlap sejuta bintang di angkasa sana. Malam itu, Mamak
Lainuri setelah seharian bekerja, setelah sepanjang malam mengkal melihat
ulah anak lelakinya, akhirnya bisa tersenyum lebar. Juga Kak Laisa....
"Abi, Tante Yashinta juga pulang, kan?"
Dalimunte yang mendorong koper sepanjang lorong garbarata pesawat
mengangguk pelan. Ummi berjalan di belakang.
Asyik. Asyik. Kalau begitu ia bisa lihat-lihat kamera keren Tante
Yashinta. Lihat-lihat foto yang indah. Dulu waktu Intan masih kecil, Tante
Yashinta yang suka ngajarin melukis. Makanya Intan suka dengan pelajaran itu
di sekolah.
"Oom Ikanuri? Oom Wibisana juga pulang, Bi?"
Dalimunte mengangguk lagi. Teringat sesuatu. Urusan ini benar-benar
membuatnya tak sempat berpikir panjang. Bagaimana mungkin dia belum
menghubungi mereka satu pun? Sejak menerima SMS di konferensi fisika. Itu
berarti tiga jam berlalu, dan dia belum tahu apa yang sedang dilakukan adik-
adiknya. Juga kabar Kak Laisa dan Mamak Lainuri di perkebunan strawberry.
Dalimunte mengeluarkan HP dari sakunya. Antrian penumpang keluar dari
pintu garbarata membuat langkah terhenti. Menyalakan telepon genggam.
"Kalau begitu Delima dan Juwita juga datang.... Horee!" Intan tertawa
lebar. Meraba tasnya. Ia bisa memaksa mereka berdua memakai empat gelang
karet "Safe The Planet". Meski sedikit nyengir ketika kemudian membayangkan
Oom Ikanuri dan Oom Wibisana. Pasti mereka lagi-lagi suka jahil ngerjain
Intan.
Dulu pernah hamster belang Intan disembunyikan di tong belakang
perkebunan. Untung ada Wak Laisa yang belain. Perasaan Oom Ikanuri dan
Oom Wibisana nurutnya hanya sama Wak Laisa, deh, Sekarang? Kata Abi tadi
kan Wak Laisa lagi sakit. Jadi tidak ada yang belain Intan kalau lagi dikerjain
Oom Ikanuri dan Oom Wibisana. Ah, Wak Laisa paling sakit perut atau
mencret-mencret, tidak bakal serius ini. Masih bisa menemani Intan jalan-jalan
di kebun strawberry. Intan sibuk mikir sambil memperhatikan Abi yang
menunggu nada sambung.
Orang dewasa tuh rumit, ya? Kenapa pula coba tampang Abi tegang
begini sejak tadi dari sekolah. Cemas karena Wak Laisa sakit? Lah? Kan
dikasih oralit, mencret Wak Laisa paling juga sudah sembuh. Intan jago kok
bikin minuman itu.
*********
Lepas isya, setelah Dalimunte mengajak Ikanuri dan Wibisana shalat di
surau; dan kali ini dua sigung nakal itu menurut barulah ruang tengah rumah
panggung itu terasa lebih lega. Lampu canting besar di dinding kerlap-kerlip.
Ikanuri dan Wibisana belajar di atas tikar pandan. Membaca, entah benaran
membaca atau hanya pura-pura agar tidak kena marah lagi. Mereka sekali dua
saling berbisik pelan,
"...iya, itu katanya jalan pintas menuju kota kecamatan..."
"...aku dengar dari pemburu harimau di kota kecamatan tadi...".
Terdiam saat Mamak menoleh.
"...lewat jalan itu lebih cepat..."
Yashinta asyik menggambar berang-berangnya tadi pagi. Dalimunte entah
mengerjakan apa dengan kertas-kertas besar diujung tikar satunya. Kak Laisa
dan Mamak duduk di sebelah Yashinta, menganyam topi pesanan.
Malam beranjak matang.
"Eh, Kak Lais, Yashinta nanti boleh sekolah, kan?" Yashinta mendadak
menghentikan gerakan tangannya, menoleh ke Kak Laisa. Ia teringat kata-kata
Kak Laisa tadi siang di sungai bawah cadas.
"Apa?" Kak Laisa yang sibuk dengan anyaman bertanya balik,
"Eh, nanti Yashinta boleh sekolah, kan?" Yashinta bertanya sekali lagi,
ragu-ragu. Ah, kalau ia sekolah, Mamak dan Kak Laisa pasti lebih repot lagi
mencari uangnya.
"Sekolah! Lepas panen ladang musim ini Yashinta masuk sekolah!"
Mamak Lainuri yang menjawab.
Beneran? Yashinta menyeringai. Matanya membulat. Mamak
mengangguk selintas, tetap konsentrasi menganyam. Yashinta sudah tersenyum
riang. Tadi kan, Kak Laisa bilang anak lelaki harus sekolah. Kalau anak
perempuan? Lihat, Kak Laisa kan anak perempuan. Makanya ia tidak sekolah.
Yashinta berpikiran pendek. Jadi dipikirkan sepanjang hari. Ia tidak tahu kalau
sebenarnya Kak Laisa yang memutuskan mengalah untuk tidak sekolah agar
adik-adiknya bisa sekolah.
Asyik, asyik, ternyata ia juga akan sekolah.
Biasanya, kalau bicara soal sekolah begini, Ikanuri dan Wibisana
otomatis akan nyeletuk sama seperti tadi pagi, "Memangnya asyik sekolah?"
Tapi karena mereka berdua malam ini lagi alim, mereka hanya sibuk belajar,
berbisik-bisik. Meneruskan membaca buku.
"Kak Laisa, lihat gambar berang-berangnya, deh! Bagus, kan?" Yashinta
menghentikan gerakan tangannya lagi. Menyeringai sambil menyodorkan
kertas gambarnya,
Kak Laisa menoleh, menyimak. Tersenyum. Mengangguk. Yashinta
menyeringai senang, kan jarang-jarang Kak Laisa tersenyum. Mamak Lainuri
juga beranjak mendekat melihat gambar Yashinta. Ikut tersenyum. Yashinta
memang berbakat melukis. Meski hanya dengan pensil, gambarnya tetap bagus.
Lima berang-berang itu terlihat begitu nyata. Andai saja ia bisa membelikan
putri bungsunya crayon warna. Mamak menghela nafas pelan, meneruskan
menganyam. Sejak dulu Yashinta sudah minta dibelikan.
Ikanuri dan Wibisana juga melirik selintas, meski lantas sok serius
kembali lagi ke buku. Dalimunte masih sibuk dengan kertas-kertasnya. Entah
membuat apa.
Sejurus, Yashinta menguap. Beranjak membereskan pensil dan kertas
gambar. Sudah hampir pukul 21.00. Saatnya tidur. Hanya ada satu kamar di
rumah panggung itu. Mamak, Kak Laisa dan ia tidur di kamar, beralaskan kasur
butut. Sementara, Dalimunte, Wibisana dan Ikanuri tidur di ruang tengah. Pakai
tikar pandan dan sarung.
"Ah-iya, Ikanuri lupa —" Entah kenapa Ikanuri tiba-tiba bangkit dari
belajarnya. Semua menoleh. Langkah Yashinta tertahan.
Ikanuri mengambil bungkusan kecil dari kota kecamatan tadi. Lantas
menyerahkannya ke Yashinta.
"Buat, Yashinta!"
" Apa-an?" Yashinta bertanya sambil menguap.
"Buka saja—" Ikanuri nyengir.
ANGIN MALAM bertiup lembut.
Menyelisik sela-sela dinding anyaman bambu.
Malam beranjak datang. Rumah panggung kecil itu akhirnya lengang,
setelah sejak maghrib tadi terdengar riuh oleh hardikan-hardikan. Hanya suara
burung hantu dari kejauhan yang menghias malam, ditingkahi derik jangkrik
bernyanyi. Langit terlihat cerah. Gemintang menunjukkan berjuta formasinya.
Di sana ada Taurus, ada Pisces, ada Leo, Gemini, dan lebih banyak lagi rasi
yang tidak memiliki nama.
Tadi siang, hingga sore benar-benar ribut.
Kak Laisa setiba di rumah panggung langsung menyiapkan bekal
makanan seadanya, kemudian menyusul Mamak Lainuri di ladang bersama
Dalimunte —yang tetap lebih banyak berdiam diri setelah dimarahi di sungai
tadi, menunggu rumah. Ia belum pernah diajak-ajak ke ladang… Kata Mamak
ia masih terlalu kecil. Ladang itu tidak jauh hanya satu kilo dari kampung.
Seperti tetangga lainnya, Mamak bertanam padi. Musim ini kabar baik, hujan
datang teratur. Maksudnya, saat nugal (masa tanam) hujan turun, saat akan
panen seperti sekarang, hujan justru berkurang. Kalau sebaliknya, bisa celaka.
Bisa urung tanam, atau gagal panen karena busuk.
Menjelang ashar Mamak Lainuri, Kak Laisa dan Kak Dalimunte pulang.
Biasanya Mamak langsung ke hutan, menghabiskan dua jam sebelum maghrib
mencari damar, rotan, atau apalah. Tapi hari ini tidak. Mamak sudah
mendapatkan laporan Kak Laisa soal kejadian tadi siang, jadi wajah Mamak
terlihat marah sepanjang sore. Mamak sebenarnya tidak suka marah. Lebih
banyak berdiam diri. Melotot, dan anak-anaknya langsung mengerti.
Bagaimanalah Mamak akan sempat marah? Mamak sudah terlanjur lelah
dengan jadwal harian. Bangun jam empat shubuh, menanak nasi, membuat gula
aren, menyiapkan keperluan ladang. Lantas berangkat ke ladang. Nanti, baru
lepas isya, setelah anak-anaknya tidur baru bisa istirahat. Itupun setelah
menyelesaikan anyaman, rajutan atau apalah.
Tapi sore ini Mamak tidak dapat menahan marah. Bukan karena
Dalimunte, Ikanuri, dan Wibisana sekaligus bolos sekolah, kasus bolos itu
sudah biasa. Sudah bebal dua sigung itu diceramahi Tetapi lebih karena baru
selepas maghrib Ikanuri dan Wibisana pulang ke rumah. Selama ini, meski suka
bolos, Ikanuri dan Wibisana paling hanya bermain-main ke manalah. Pulang
sebelum lembah gelap. Tapi apa yang dilakukan mereka seharian ini? Mereka
baru pulang setelah yang lain selesai shalat maghrib. Ikanuri dan Wibisana,
berani sekali ikut menumpang mobil starwagoon tua ke kota kecamatan,
membantu tauke desa atas menjual sayur-mayur di sana.
Mereka pulang sambil tersenyum lebar membawa bungkusan dari kota,
upah kerja seharian, tapi Mamak tidak peduli. Terlanjur marah. Maka kena
omellah Ikanuri dan Wibisana. Tentang mau jadi apa mereka? Sekolah! Sekolah
jauh lebih penting daripada bekerja. Kalian tidak akan jadi apa-apa kalau bodoh
sepertiMamak! Kalian pikir hidup susah itu menyenangkan? Hanya karena
menyadari adzan isya akan segera berkumandang dari suraulah omelan Mamak
akhirnya terhenti. Menyuruh mereka ambil wudhu. Shalat maghrib! lantas
makan bersama di hamparan tikar. Lebih banyak berdiam diri. Padahal Kak
Laisa masak ikan asap. Menu yang terhitung istimewa buat keluarga miskin
mereka. Tapi itu tidak cukup membantu suasana.
"Kamu sekarang bawa gelang karetnya, sayang?" Dalimunte merubah
posisi duduknya, bertanya lembut. Ah, seharusnya dia bisa lebih rileks
sekarang, mereka sudah duduk nyaman di atas pesawat.
"Bawa. Memangnya kenapa, Bi?"
"Abi minta satu lagi—"
Intan tertawa, mengambil tas sekolah di bawah kakinya, mengeluarkan
satu gelang. Menjulurkan gelang itu. Dalimunte hendak mengambil dari tangan
putrinya. Tapi Intan tidak melepaskan gelangnya.
"Abi bayar dulu lima ribu!"
Dalimunte tertawa kecil, mengeduk saku celananya, kosong.
"Minta sama, Ummi!"
Ummi ikut tertawa, mengeluarkan tas tangannya.
Seharusnya perjalanan ini menyenangkan. Mereka hampir setiap dua
bulan sekali berkunjung ke perkebunan strawberry Mamak Lainuri. Dan itu
selalu menjadi perjalanan yang menyenangkan. Berkumpul bersama yang lain.
Apalagi Intan, menikmati benar menjadi kakak-kakak bagi Juwita dan Delima
(maksudnya menikmati merintah-merintah mereka). Menikmati masakan Wak
Laisa. Berjalan keliling kebun bersama Eyang Lainuri, atau yang lebih seru
Iagi, ikut Tante Yashinta melihat berang-berang di pagi buta.
Tadi mereka amat terlambat datang di bandara. Seharusnya pesawat itu
sudah take-off lima belas menit lalu. Tapi kolega peneliti Dalimunte yang
mengerti situasinya berbaik hati menelepon kantor pusat maskapai penerbangan
tersebut dari lab. Hari ini, pakar fisika ngetop seperti Profesor Dalimunte sudah
seperti selebritis saja, apalagi salah satu petinggi maskapai itu sama persis
dengan Headmaster Miss Elly, fans berat Profesor Dalimunte, maka mereka
berbaik hati menunda penerbangan. Toh, penumpang lain tidak berkeberatan
setelah tahu yang naik ke pesawat terakhir adalah Profesor Dalimunte.
"Eh, Ummi sudah telepon Eyang Lainuri kalau kita mau datang? Biar
Eyang masak yang banyak. Masakan kesukaan Intan: rebung bakar!" Intan
nyengir. Teringat sesuatu.
Ummi tersenyum simpul, bagi putrinya kunjungan ini mungkin tidak jauh
Editor By. I-One
berbeda dengan kunjungan-kunjungan sebelumnya. Mengangguk.
"Tapi mengapa mendadak benar, Mi?"
"Mendadak apanya?"
"Kita pulang! Kenapa mendadak benar? Orang kalau mau hujan saja ada
gunturgeledeknya..."
"Wak Laisa sakit, sayang—" Dalimunte yang menjawab, setelah
menghela nafas. Cepat atau lambat Intan akan tahu.
"Sakit? Mana bisa Wak Laisa sakit?" Mata Intan membesar, sedikit pun
tidak percaya. Kan, Wak Laisa tuh terlihat tambun. Gemuk meski gempal.
Mana bisa sakit? Lah, Abi saja tidak kuat gendong Intan naik tangga kayu cadas
sungai. Hanya Wak Laisa yang kuat gendong. Jadi mana bisa sakit?
"Bukannya sebulan lalu Wak Laisa sehat walafiat, Bi?" Intan menggaruk
rambutnya. Sok berpikir. Gayanya sudah seperti orang dewasa saja.
Dalimunte menatap datar wajah putrinya yang amat ingin tahu. Itulah
yang Abi juga tidak mengerti, sayang. Sebulan lalu Wak Laisa memang terlihat
sehat. Hanya sedikit pucat. Soal pucat, sudah sejak dulu Kak Laisa memang
sedikit pucat. Tapi ia masih sibuk bekerja. Sibuk dengan keseharian. Tidak
pernah mengeluh, bahkan sejak mereka masih kecil dulu. Tidak pernah sakit.
Kak Laisa selalu sigap dan disiplin menghadapi rutinitasnya. Jadi mana
mungkin Kak Laisa sakit? Tapi SMS dari Mamak Lainuri pasti serius. Benar-
benar serius. Dalimunte menelan ludah, mengusap lembut rambut putrinya.
Dokter bilang mungkin minggu depan, mungkin besok pagi, boleh jadi
pula nanti malam....Bagaimana mungkin kalimat itu tidak serius?
***********
"Nanti Yashinta kasih minyak urut—" Yashinta berbisik pelan,
mengambil bunga rumput di dahinya.
Dalimunte mengangguk lagi.
Senyap. Angin lembah membuat ujung-ujung semak bergoyang. Terasa
menyenangkan. Caping anyaman Yashinta bergerak-gerak.
"Anak berang-berangnya ketemu?" Dalimunte bertanya pelan.
Giliran Yashinta yang mengangguk.
"Lucu?"
Yashinta mengangkat dua jempolnya, "Top banget, deh!"
Dalimunte tersenyum tipis, meski kemudian meringis lagi, lengannya
yang tadi dipukul terasa perih. Mereka terus berjalan menyusuri jalan setapak,
tanpa bercakap-cakap lagi. Kak lisa terus melotot di belakang.
Matahari hampir tiba di puncaknya. Terik membakar lembah.
Ah, meski belum satupun yang menyadarinya, hari ini garis kehidupan
masa depan mereka yang cemerlang sudah dimulai. Hari ini, garis kehidupan
sederhana dan apa adanya milik mereka mulai menjejak masa-masa depan yang
gemilang. Anak-anak terbaik dari Lembah Lahambay. Anak-anak yang
mengukir indahnya perjuangan hidup, Yashinta dengan berang-berangnya,
Dalimunte dengan kincr airnya. Ikanuri dan Wibisana, entah dengan apanya.
Dan Kak Laisa dengan segala pengorbanannya.
Lihatlah, meski Dalimunte tidak sempat menyaksikannya sendiri, kincir
airnya ternyata sempurna bekerja. Air itu perlahan bergerak naik. Dari kincir
pertama. Naik terus ke atas, berputar seiring arus air sungai memutarnya.
Tumpah. Langsung disambar kincir air yang kedua. Kincir air yang kedua itu
lantas bergerak pelan. Berkereketan. Pondasinya bergetar. Tapi pelan mulai
berputar, air itu naik lagi, berputar terus. Tumpah....
Masih butuh tiga kincir air lainnya di cadas itu.
*********
"Bi, kenapa Abi tiba-tiba jadi pendiam?" Intan menarik ujung kemeja
Dalimunte, "Sakit gigi, yee?" Nyengir lebar.
Dalimunte mengusap wajahnya. Tersadarkan dari kenangan. Menatap
keluar jendela pesawat. Hamparan awan menggumpal putih nremenuhi
sekeliling. Mereka berada di ketinggian 30.000 kaki.
"Abi masib marah gara-gara hamster Intan, ya?"
Dalimunte perlahan menggeleng, lembut mengusap kuncir rambut
putrinya. Tersenyum. Tentu saja tidak. Hamster belang itu sekarang pasti
mendekam gelisah di ruang kargo pesawat. Dulu, putrinya suka sekali
menyelundupkan hamster dalam saku bajunya. Lolos di pintu pemeriksaan.
Maka hebohlah pesawat itu saat hamster belangnya ternyata menyelinap turun,
lantas masuk ke salah satu kotak makanan yang dibawa pramugari untuk
penumpang. Loncat. Berlarian di dalam pesawat yang sedang terbang persis di
atas lautan.
"Apa yang kau kerjakan di sini? JAWAB!" Kak Laisa menghardik lagi.
Lebih kencang. Mengkal karena yang diteriaki sejak tadi malah menunduk
bengong.
Dalimunte hanya diam. Menelan ludah. Tetap menunduk.
"APA YANG KAU KERJAKAN DI SINI?"
Dalimunte membisu.
"KAU ANAK LELAKI DALIMUNTE! Anak lelaki harus sekolah. Akan
jadi apa kau jika tidak sekolah? Pencari kumbang di hutan sana seperti orang
lain di kampung ini? Penyadap damar? Kau mau menghabiskan seluruh masa
depanmu di kampung ini? Setiap tahun berladang dan berharap hujan turun
teratur? Setiap tahun berladang hanya untuk cukup makan! Kau mau setiap
tahun hanya makan ubi gadung setiap kali hama belalang menyerang ladang?
Hah, mau jadi apa kau, Dalimunte?"
Yashinta yang berdiri di belakang Kak Laisa ikut tertunduk.
Hilang sudah semua kesenangannya setelah melihat anak berang-berang.
Yashinta memainkan caping anyamannya pelan-pelan. Menggigit bibir. Kalau
Kak Ikanuri dan Kak Wibisana yang dimarahi, Yashinta tidak terlalu sedih.
Mereka memang bandel. Tapi kalau Kak Dalimunte yang dimarahi? Kan, Kak
Dalimunte selalu baik. Membantu Mamak. Membantu Kak Laisa. Suka
membuatkan Yashinta mainan. Yashinta ingin menyela, membujuk Kak Laisa
agar berhenti, tapi melihat muka Kak Laisa yang merah padam macam
kumbang membuat niatnya urung.
"Kau tahu! Mamak setiap hari ke ladang! Setiap sore ke hutan mencari
damar! Mengumpulkan uang sepeser demi sepeser agar kalian bisa sekolah!
Lantas apa yang kau berikan sebagai rasa terima kasih? BOLOS SEKOLAH!!
BERMAIN AIR??"
Dalimunte tertunduk dalam-dalam. Menyeka matanya yang tiba-tiba
panas, berair. Dali tidak sedang bermain air, Kak Lais. Sungguh —
"KAU BENAR-BENAR TIDAK TAHU MALU! MAU JADI APA KAU
KALAU BESAR NANTI??"
Tidak. Kak Lais keliru. Dali mengerti benar. Mamak sudah bekerja keras
demi mereka. Mengerti benar Kak Laisa mengorbankan seluruh masa kanak-
kanak dan remajanya agar bisa membantu Mamak setiap hari tanpa lelah demi
adik-adiknya sekolah. Dalimunte menyeka matanya. Menangis, rusukan ranting
Kak Laisa di dada terasa sakit sekali, tapi hatinya lebih sakit lagi. Sungguh dia
tidak bolos demi sesuatu yang percuma. Dia tidak sedang main air. Tapi dia
tidak bisa menjelaskannya.
"KAU DENGAR KATAKU?!"
Dalimunte terisak, mengangguk.
"PULANG! PULANG SANA!!" Kak Laisa keras memukul lengan
Dalimunte dengan ranting. Yang dipukul menyeka hidungnya yang kedat. Sakit.
Tangannya terasa pedas, perih. Tapi hatinya tertusuk lebih sakit. Dia tahu. Tentu
saja dia tahu, Dalimunte melangkah pelan, menyusuri inang sungai.
Kak Laisa sekarang menatap tajam Yashinta. Tanpa perlu di teriaki dua
kali, Yashinta buru-buru melangkah, mengikuti Dalimunte dari belakang.
Menuju tepi sungai. Menaiki tangga dari kayu setinggi lima meter itu.
Kampung mereka terpisah dari hutan oleh cadas setinggi lima meter itu. Tiba di
hamparan semak belukar, berjalan tiga ratus meter lagi baru akan tiba di
perkampungan. Atap seng yang sudah karatan dari rumah-rumaah panggung
penduduk terlihat berbaris. Seadanya. Yang paling ujung, yang paling tua, dan
yang paling kecil, itulah rumah mereka.
"Sakit, Kak?" Yashinta yang berjalan dibelakang Dalimunte berbisik
pelan, berusaha mensejajari langkah kakaknya. Kak Laisa berjalan sepuluh
meter di belakang mereka. Masih mengawasi galak.
Dalimunte hanya mengangguk. Matahari semakin terik. Dikejauhan suara
elang mengitari rimba terdengar gagah. Satu bunga rumput terbang, hinggap di
dahi Yashinta—
Matahari sudah benar-benar tinggi ketika ia berhasil meletakkan kincir itu
di pondasi dinding cadas. Bajunya penuh oleh licak lumpur. Berhenti sejenak.
Sekali lagi tersenyum riang melihat pekerjaannya. Lantas melangkah ke sungai
yang mengalir jernih. Berusaha membersihkan muka dan tubuh yang kotor.
Saat itulah, saat dia sekalian menyelam di sungai sedalam pinggang itu, saat
asyik menikmati sejuknya arus deras sungai, terdengar gemerisik dedaunan
diinjak dari jalan setapak mulut rimba. Mengangkat kepala.
"DALIMUNTE! APA YANG KAU KERJAKAN DI SINI?" Tanpa tedeng
aling-aling teriakan itu meluncur, menyergap.
Dalimunte, nama anak kecil berumur dua belas tahun itu seketika gagap.
Kak Laisa bersama Yashinta, muncul dari gerbang jalan setapak hutan
belantara, turun ke anak sungai yang mengalir deras.
"BUKANNYA kau seharusnya ada di sekolah, Dali? Apa yang kau
lakukan di sini?" Kak Laisa mendesis galak, melangkah mendekat. Seram benar
melihat tampangnya. Bahkan Yashinta yang sepanjang perjalanan pulang tadi
hatinya berbunga-bunga, ikut-ikutan takut mendengar seruan Kuk Laisa.
Berdiri mengkerut di belakang Kak Laisa.
"Ee,ee, Dalimunte sakit, Kak!" Anak lelaki itu menyeringai, terdesak,
sembarang mengarang. Meniru kelakuan dua adik lelakinya yang memang jago
ngarang kalau sudah ketahuan salah begini.
"BOHONG! Sakit apa?" Kak Laisa melotot. Semakin dekat.
"Errgh, pilek...."
"Bagus sekali! Pilek, pilek tapi kau main air!" Kak Laisa menukas tajam,
tangkas menyambar ranting yang kebetulan hanyut di dekat kaki-kaki mereka,
dan tentu saja ranting itu gunanya buat menunjuk-nunjuk dada Dalimunte.
"Sejak kapan kau berani bolos sekolah, hah?" Kak Laisa menghardik.
Dalimunte mencicit Aduh, dia pikir Kak Laisa dan Yashinta bakal lama
lihat berangberangnya. Dia pikir akan cukup waktu mengerjakan kincir-kincir
ini sebelum Kak Laisa kembali. Ternyata perhitungannya keliru. Dia memang
sudah tak sabar menunggu waktu senggang menyelesaikan pekerjaan yang
sudah direncanakan dan dikerjakannya berbulanbulan. Mumpung Kak Laisa
pagi ini tidak ada di rumah untuk mengawasi. Makanya memutuskan bolos
sekolah. Selama ini sedikitpun tidak tersedia waktu yang cukup untuk
menyelesaikan kincir-kincirnya. Lepas sekolah dia langsung keladang. Hari
ahad juga begitu, sepanjang hari harus ke ladang. Padahal pertemuan di Balai
Desa dilakukan besok pagi.
"Kalau kau bolos, berarti Ikanuri dan Wibisana juga bolos!" Kak Laisa
bertanya menyelidik, menusuk dadanya lebih keras.
Dalimunte meringis. Soal itu tidak usah ditanya lagi, meski ada Kak Laisa
sekalipun Ikanuri dan Wibisana rajin bolos, apalagi jika Kak Laisa tidak ada.
Lebih berani melawan. Tadi pagi sih mereka bertiga pamitan ke Mamak,
memakai seragam, menuju sekolah di desa atas. Tapi baru tiba di pertigaan
jalan bebatuan selebar tiga meter itu, Ikanuri dan Wibisana sudah kabur duluan,
naik starwagoon tua yang kebetulan lewat ke kota kecamatan. Dalimunte
sebenamya jauh lebih nurut. Dia meski terkadang bosan sekolah, tapi tidak
pernah membolos. Tadi pagi saja, butuh waktu sepuluh menit di pertigaan itu
hingga akhirnya dia berani memutuskan untuk ikut membolos. Menyelesaikan
kincir airnya.
ANAK KECIL berumur dua belas tahun itu sedang sibuk menyusun balok-
balok bambu di pinggir sungai yang mengalir deras. Mukanya serius. Mulutnya
sedikit terbuka. Kepalanya terus berpikir. Sekali, dua kali, tiga kali, berkali-kali,
dia menyusun ulang balok-balok itu. Jatuh, disusun kembali. Gesit. Terampil
tangannya mengikatkan tali rotan. Memukul ujung bambu dengan batu agar
melesak lebih dalam ke tepi sungai. Cahaya matahari pagi yang meninggi
menyinari Wajahnya.
Herhenti sejenak. Menyeka keringat. Lantas beranjak ke tepi sungai.
Mengambil kincir yang tersandar di cadas batu setinggi lima meter. Kincir dari
batang bambu itu benar-benar seadanya. Jauh dari kokoh. Tapi itulah usaha
terbaiknya. Sudah seminggu terakhir dia sembunyi-sembunyi membuatnya.
Selepas pulang sekolah. Selepas membantu Mamak Lainuri dan Kak Laisa di
ladang. Kapan saja ada waktu luang. Dia akan berlari ke tubir cadas sungai.
Mengerjakan proyek rahasianya jadi bagaimanalah akan kokoh dan baik
bentuknya.
Kakinya sedikit bergetar membawa kincir yang lumayan besar untuk anak
dua belas tahun seumurannya. Arus air sungai yang deras membuatnya semakin
sulit melangkah. Hatihati kincir itu diletakkan di atas susunan balok bambu.
Anak itu menghela nafas lega. Tinggal memperbaiki posisinya. Akhirnya satu
kincir terpasang sudah. Celananya basah. Bajunya juga basah. Sedikit belepotan
tanah liat cadas sungai.
Dia melangkah ke pinggir sungai. Tersenyum senang melihat
pekerjaannya. Kincir itu mulai bergerak pelan mengikuti arus air. Dan bumbung
kosong bambu yang dibuat sedemikian rupa mulai berputar, mengalirkan air
sungai ke atas. Tumpah saat tiba di putaran tertingginya. Berhasil! Anak kecil
itu menyeringai lebar. Masih perlu setidaknya empat kincir lagi hingga akhirnya
tiba di atas cadas sana, pagi ini dia harus menyelesaikan dua di antaranya.
Dengan demikian, setidaknya dia bisa membuktikan air-air ini bisa dibawa ke
atas dengan lima kincir bersambung. Bukan dengan kincir raksasa yang selama
ini selalu dianggap solusi terbaiknya. Dia beranjak memasang pondasi balokbalok
bambu berikutnya di dinding cadas.
Kali ini jauh lebih sulit. Cadas itu keras untuk dihantam meski dengan
ujung bambu runcing sekalipun. Berkali-kali ujung bambunya penyok.
Terpaksa dipampas lagi dengan golok. Setengah jam berlalu, pondasi sederhana
di dinding cadas sungai itu akhirnya jadi. Kali ini benar-benar lebih sulit
memasangkan kincir kedua yang tersandar di dinding cadas. Berat. Tidak
mudah mengangkatnya. Tidak kehabisan akal, anak kecil itu mengambil tali
rotan yang telah disiapkannya. Menyangkutkan ujung-ujungnya di salah satu
pohon besar lima meter di atas cadas. Lantas pelan-pelan menarik kincir itu ke
atas.
"Aca, aca, ini lewat mana, hei?" Sopir India itu juga ikutan panik dengan
teriakan-teriakan Ikanuri.
Setelah berpikir lima belas detik di depan gadis penunggu counter biro
perjalanan, Wibisana akhirnya memutuskan untuk segera ke Paris. Itulah
pilihan terbaik yang ada. Memutuskan ke Paris dengan menumpang kereta
ekspres lintas negara, Eurostar. Soal perjalanan menggunakan kereta api, benua
Eropa nomor satu. Di sini, untuk mengililingi Eropa, kalian cukup menumpang
kereta lintas negara. Kabin kereta yang nyaman, bisa sekalian jadi hotel tempat
beristirahat. Semuanya amat memadai. Tanpa perlu repot melewati pemeriksaan
paspor dan visa setiap kali melintasi perbatasan. Ke sanalah, Ikanuri dan
Wibisana terburu-buru. Mengejar kereta malam.
"Dipukul Kak Laisa berkali-kali? Maksudmu?" Ikanuri balik bertanya,
sedikit bingung dengan kalimat kakaknya barusan. Wajahnya masih tegang
sejak dari bandara tadi.
Wibisana tertawa kecil, berusaha lebih santai, "Kau sudah tiga kali
memaki setengah jam terakhir, bukan? Kalau sampai Kak Laisa tahu, itu berarti
sembilan kali pukulan sapu lidi —"
Ikanuri nyengir. Mengerti kalau Wibisana sedang bergurau soal masa
kecil dulu. Terus melangkah. Mereka akhirnya tiba di depan pintu gerbong
kereta. Lampu peron berpendar-pendar menawan.
"Tiketnya, Senior—"
Wibisana menyerahkan tiket ke penjaga.
"Paspor dan Visanya, Senior—"
Ikanuri menarik travel-binder. Tidak banyak cakap menyerahkan
dokumen perjalanan, meski tadi sebenarnya di pintu gerbang stasiun juga sudah
diperlihatkan kepada petugas imigrasi.
"Indonesia, Senior? Ah, saya tahu Pulau Bali. Cantik, bukan?"
Wibisana dan Ikanuri mengangguk. Malas bicara.
"Jika sempat suatu saat saya hendak ke sana, berlibur, menghabiskan
masa pensiun.... Wah, kalian jauh-jauh dari Indonesia, tapi tidak untuk
menyaksikan pertandingan final Liga Champion Juventus-Manchester United,
Senior?" Penjaga itu berbasa-basi.
Ikanuri kali ini benar-benar menggeleng tidak peduli.
"Ah saya mengerti, tim sepakbola negara Anda tidak terlalu bagus, tidak
menarik untuk ditonton, tapi di sini beda, senior...."
Ikanuri mendesis sebal; buruan periksa tiketnya.
"Selamat menikmati Eurostar, Senior. Semoga nyaman. Asal kalian tahu,
gara-gara final itu, malam ini kami hanya punya tujuh penumpang…. Kecuali
jadwal kereta setelah selesai pertandingan; nah yang itu baru full-booked!"
Penjaga itu tertawa lebar, mengembalikan tiket ke Wibisana.
Pintu otomatis kereta berdesis terbuka nyaris tanpa suara.
Ikanuri dan Wibisana tak terlalu mendengarkan tawa riang penjaga itu,
sudah membawa koper masuk. Melangkah di sepanjang lorong. Mencari nomor
kabin mereka. Melihat interior kereta, mereka segera menyadari, setidaknya
kereta ini lebih dari cukup untuk beristirahat setelah penerbangan belasan jam.
Menurut gadis penjaga counter tadi, butuh waktu setidaknya dua belas jam
untuk tiba di Paris, Perancis. Melewati setidaknya dua ibukota negara-negara
eksotis Eropa. Andai saja situasinya lebih baik, mungkin ini bisa jadi perjalanan
hebat, bisa menjadi trip perayaan atas suksesnya kesepakatan bisnis dengan
produsen mobil balap itu.
Ikanuri menghela nafas, teringat telepon yang terputus barusan, pelan
melemparkan kopernya ke kursi. Wibisana menutup pintu kabin. Juga
memikirkan hal yang sama. Tapi lupakan! Lupakan soal pertemuan di Piaza de
Palozzo besok pagi. Lupakan soal kesepakatan bisnis itu, meski mereka butuh
bertahun-tahun untuk mendapatkan kesempatan tersebut. Itu bisa diurus nanti-
nanti, jika masih sempat. Jika produsen itu belum keburu memilih partner
bisnis dari China. Pulang segera ke Lembah Lahambay jauh lebih penting.
Itu benar-benar jauh lebih penting.
"Albertino, Anda tidak mengerti. Saya harus kembali sekarang juga ke
Jakarta. Kau masih menunggu di bandara? BANDARA? Tidak. Kami sekarang
di stasiun kereta Roma! Apa? Bukan bandara, kami sekarang ada di stasiun
kereta! Roma Termini. Tidak. Ya Allah, tentu saja kami tidak naik kereta dari
Jakarta, Albertino. Bagaimana mungkin?—"
"Teng-tong-teng-tong.... Panggilan terakhir untuk penumpang Kereta
Lokal Chievo3000. Harap segera menuju peron nomor 7...."
"Kau dengar? Tidak usah ditunggu. Kami harus pulang malam ini juga ke
Jakarta, kau dengar? Ya? Ya? Albertino, pertemuan besok batal! Batal! BATAL!
Kau dengar? Apa? Ah, sialan—" Ikanuri memaki.
Wibisana yang berlari-lari kecil di sampingnya menoleh.
"Sinyalnya terputus—" Ikanuri menelan ludah.
"Tung-tong-teng-tong.... Kereta ekspres menuju Swiss Benin nomor 12
dibatalkan karena alasan cuaca buruk. Badan metereologi meramalkan akan
turun hujan lebat di selatan Swis. Kemungkinan longsor. Penumpang bisa
melapor ke loket penjualan tiket kami untuk fullrefund, atau meminta klaim
kamar hotel jika memutuskan untuk menunggu kereta besok pagi. Seluruh staf
dan manajemen Trenitalia, dengan rendah hati meminta maaf..."
"Ini semua gara-gara sepak-bola sialan itu, bah!" Ikanuri bersungut-sungut.
Menyeret kopernya.
"Andaikata Kak Laisa ada di sini, kau pasti sudah dipukulnya dengan
sapu lidi berkali-kali!" Wibisana menarik nafas pendek, memperlamban
langkah kaki, papan elektronik yang bertuliskan angka 9 (peron tujuan Paris,
Perancis lewat Pegunungan Alpen, Swiss) sudah di depan mereka. Mencoba
untuk lebih rileks. Ada gunanya juga setelah setengah jam terakhir terburuburu,
mereka tidak terlalu terlambat, masih ada waktu lima menit lagi.
Tadi keluar dari Bandara Roma amat terburu-buru. Meneriaki taksi
terburu-buru. Memaksa sopir taksi (yang keturunan India itu) untuk terburu-
buru, ngebut menuju stasiun kereta. Beruntung jalanan lengang. Persis setengah
jam lagi Final Piala Champion di Stadion Olimpico, penduduk kota Roma
sudah dari tadi duduk manis di stadion atau depan teve masing-masing. Sialnya,
meski lengang, di mana-mana ada konsentrasi massa yang bersiap nonton
bareng lewat layar teve raksasa. Mending nontonnya di lapangan, ini justru
digelar persis di tengah-tengah perempatan jalan. Benarlah adigum itu, bagi
penduduk Roma, sepak bola sudah jadi agama. Jadi, terpaksa taksi berputar-
putar mencari jalan yang perempatannya tidak vorbodden. Itu sama saja
menyisir seperempat kota Roma dengan kecepatan tak kurang 70 mil per-jam.