Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 11 LIMA KINCIR ANGIN bag 3 - "Tidak ada salahnya, bukan?" Laisa menatap sekitar.
"Sampai kapan kita harus mengalah atas cadas lima meter itu! Sampai
kapan?" Penduduk justru saling bersitatap.
"Baik. Sekarang siapa yang setuju dengan usul Dalimunte?" Kak Laisa
berseru dari tengah-tengah balai kampung, menghentikan dengung lebah untuk
kedua kalinya. Menatap tajam.
Muka-muka masih saling bersitatap satu-sama-lain. Sedetik. Dua detik.
Dalimunte menggigit bibir. Sia-sia. Urusan ini tidak selancar yang
dibayangkannya. Ide lima kincir air itu percuma. Lihatlah, tidak ada yang
hendak mengacungkan tengan, meski Kak Laisa terlihat amat yakin dengan
idenya.
"Siapa yang setuju dengan usul Dalimunte?" Kak Laisa bertanya tegas.
Sekali lagi.
Tiga puluh detik berlalu. Tetap lengang.
Yashinta yang pertama kali mengangkat tangannya, takut-takut (entah ia
mengerti atau tidak urusan itu). Muka gadis kecil enam tahun itu menyeringai
menggemaskan seperti biasa. Orang-orang menoleh. Wak Burhan menyusul,
ikut megangkat tangan dengan mantap, sambil tersenyum ke arah Yashinta.
Lantas Mamak Lainuri, Ikanuri, Wibisana, terus ibu-ibu kampung lainnya,
hingga orang tua, dan akhirnya pemuda-pemuda itu.
Kak Laisa tertawa lebar. Menyikut bahu Dalimunte yang berdiri di
sampingnya. Anggukan dan seruan 'kenapa tidak' sekarang ramai keluar dari
mulut penduduk. Mereka akan mencobanya. Sekali lagi! Tertawa lebar dengan
ide lima kincir air itu.
Dalimunte mengigit bibir. Menghela nafas, lega.
Hari itulah saat Dalimunte menyadari sesuatu. Memang dia yang
memulai ide lima kincir air tersebut, tapi semua orang tahu, karena Kak Laisalah
ide itu akhirnya dikerjakan. Hari itulah, Dalimunte belajar satu hal:
bagaimana bicara yang baik di hadapan orang banyak. Belajar langsung dari
Kak Laisa yang entah bagaimana caranya menguasai benar hal tersebut. Begitu
yakin. Begitu tenang.
Dalimunte mungkin tidak akan pernah tahu. Tidak pernah! Kak Laisa
sama gugupnya seperti dia, sama gentarnya bicara di tengah-tengah balai
kampung itu. Tetapi Kak Laisa tidak akan pernah membiarkan adik-adiknya
kecewa. Tidak akan pernah membiarkan adiknya merasa malu. Jika harus ada
yang kecewa dan malu, itu adalah ia. Bukan adik-adiknya. Bagi Laisa, sejak
babak pergi, hidupnya amat sederhana. Adik-adiknya berhak atas masa depan
yang lebih baik dibandingkan dirinya. Lagipula Laisa akhirnya mengerti
kenapa Dalimunte bolos sekolah kemarin. Maka demi rasa sesal telah memukul
lengan Dalimunte, keberanian itu muncul begitu saja. Memberikan energi yang
luar biasa. Begitu yakin. Begitu tenang. Dan tidak hanya hari itu Laisa
melakukannya. Sungguh tidak. Ia melakukannya berkali-kali sepanjang
umurnya. Demi keempat adik-adiknya.
dan anda bisa menemukan artikel Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 11 LIMA KINCIR ANGIN bag 3 ini dengan url
http://adara-wpr.blogspot.com/2012/11/bidadari-bidadari-surga-mozaik-11-lima_26.html,
anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 11 LIMA KINCIR ANGIN bag 3 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,
namun jangan lupa untuk meletakkan link Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 11 LIMA KINCIR ANGIN bag 3 sebagai sumbernya.
Artikel Terkait: Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 11 LIMA KINCIR ANGIN bag 3
- Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 14 PENGUASA GUNUNG KENDENG Bag 6
- Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 14 PENGUASA GUNUNG KENDENG Bag 5
- Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 14 PENGUASA GUNUNG KENDENG Bag 4
- Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 14 PENGUASA GUNUNG KENDENG Bag 3
- Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 14 PENGUASA GUNUNG KENDENG Bag 2
- Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 14 PENGUASA GUNUNG KENDENG Bag 1
- Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 13 KAU BUKAN KAKAK KAMI Bag 5
- Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 13 KAU BUKAN KAKAK KAMI Bag 4
- Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 13 KAU BUKAN KAKAK KAMI Bag 3
- Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 13 KAU BUKAN KAKAK KAMI Bag 2
0 comments:
Post a Comment