Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 13 KAU BUKAN KAKAK KAMI Bag 5 - Melawan semakin berani. "LIHAT! Kulit kau hitam. Tidak seperti kami,
yang putih. Rambut kau gimbal, tidak seperti kami, lurus. Kau tidak seperti
kami, tidak seperti Dalimunte dan Yashinta. KAU BUKAN KAKAK KAMI.
Kau pendek! Pendek! Pendek!"
Kali ini kalimat Ikanuri benar-benar bak roket yang ditembakkan tiga kali
di lubang yang sama. Berdebum. Membuat lubang besar itu menganga lebarlebar,
hitam pekat. Laisa terperangah. Sesak. Nafasnya sesak seketika. Ya
Allah, apa yang barusan dikatakan adiknya. Apa ia sungguh tak salah dengar?
Laisa gemetar. Tangannya yang mencengkeram ranting bergetar, terlepas.
"Kenapa? Kenapa kau diam? Kau marah kami mengatakan itu, hah?" Ikanuri
tanpa rasa iba bertanya bengis.
Laisa menelan ludah.Matanyat iba-tiba berair. Ya Allah, aku mohon,
jangan pernah, jangan pernah buat aku menangis di depan adik-adikku. jangan
pernah! Itu akan membuat mereka kehilangan teladan. Laisa meremas pahanya
kencang-kencang. Berusaha mengalihkan rasa sakit di hati ke rasa sakit di
tubuhnya.
"Kami tidak akan lagi menurut... Kau bukan Kakak kami. Bukan! Bukan!
BUKAN!" Ikanuri berseru amat puas. Berkali-kali.
"Hentikan Ikanuri. Hentikan...." Laisa berseru, terbata.
"Kau bukan kakak kami!"
"Hentikan Ikanuri, atau kau kuadukan pada Mamak, dan kalian akan
dihukum tidak boleh masuk rumah selama seminggu," Laisa berkata dengan
suara bergetar. Menahan tangis.
"Kau jelek! Jelek! JELEK!"
"Hentikan Ikanuri—"
"Pendek! Pendek!"
"Hentikan, Ikanuri. Aku mohon — "
"Jelek! Jelek! Pendek! Pendek!" Ikanuri tertawa lepas. Lantas beranjak
melangkah dari bawah pohon mangga dengan seringai penuh kemenangan,
disusul oleh Wibisana (yang tertunduk dalam-dalam, sedikit merasa ganjil
dengan teriakan kasar Ikanuri).
Laisa sudah jatuh terduduk. Sempurna jatuh terduduk. Menatap punggung
adik-adiknya yang menghilang dari balik semak belukar.
Seekor jangkrik di batang pohon mangga berderik.
Pelan. Meningkahi isak tertahan.Gadis tanggung berumur enam belas
tahun itu mendekap wajahnya. Ia tak kuasa lagi menahan sedih di hati. Bukan
karena Ikanuri melawannya, karena toh selama ini Ikanuri selalu berani
melawan. Tapi karena itu benar! Ya Allah, apa yang dikatakan adiknya benar
sekali. Ia bukan siapa-siapa bagi mereka. Ia bukan Kakak mereka. Seluruh
penduduk lembah itu juga tahu. Ia bukan kakak mereka.
Senyap. Hanya tangis tertahan yang terdengar.
Senyap. Juga hanya tangis tertahan yang terdengar di sini.
Kereta ekspress Eurostar melesat membelah perbatasan Swiss-Perancis.
Kecepatan super tinggi. Maximum speed. Masinisnya berusaha membayar dua
jam waktu yang terbuang di pegunungan Alpen. Setelah untuk ketiga kalinya
tebing itu longsor lagi saat dibersihkan, beberapa insinyur dari dewan terdekat
akhirnya tiba di lokasi dengan helikopter, mereka memberikan saran konstruksi
darurat untuk menahan laju longsoran berikutnya. Satu jam berlalu, sejak
dinding seadanya dipasang, kereta ekspress itu bisa kembali melesat menuju
Paris. Menjejak batangan baja relnya.
Hujan sejak lima belas menit lalu juga sudah berhenti.
Jalan kereta yang meliuk melangkahi pegunungan sudah lama digantikan
oleh hamparan tanah luas. Perkebunan anggur. Hamparan padang rumput.
Pohon cemara tinggi-tinggi sudah tertinggal di belakang, Sepuluh menit lagi
Eurostar akan tiba di perbatasan tanah bekas kekuasaan Kaisar Louis, Perancis.
Wibisana memutuskan tidur. Lelah. Membiarkan Ikanuri yang sejak kereta
berjalan lagi tadi tetap terjaga. Pukul 03.30 dini hari di sini. Di luar terlihat
gelap. Hanya sesekali cahaya lampu yang berasal dari rumah pedesaan kecil
pedalaman Swiss terlihat. Seperti kerlip kunang-kunang dari kejauhan. Indah.
Mengembalikan semua kenangan.
Wibisana menggeliat, merubah posisi tidurnya. Kabin itu luas. Lazimnya
diisi berempat, karena mereka hanya berdua, jadi nyaman tidur di kursi panjang
berhadapannya. Tapi Ikanuri tidak tidur, ia tidak bisa tidur sejak kereta jalan
lagi, ia justru sedang sibuk menyeka ujungujung matanya.
Ikanuri terisak pelan. Tertahan.
Menatap kosong keluar melewati jendela kereta.
Kunang-kunang—
Ya Allah, dia jahat sekali. Jahat! Dua puluh lima tahun silam. Seperempat
abad lalu. Kejadian itu tidak akan pernah terlupakan. Tidak akan. Wajah Kak
Laisa yang menangis saat itu. Wajah Kak Laisa yang seperti tak percaya
mendengar dia mengatakan kalimat-kalimat menusuk itu. Ikanuri tersedan.
Lihatlah, wajah Kak Laisa sekarang seperti mengukir sempurna di bayangan
jendela kereta. Wajahnya yang tersenyum, wajahnya yang selalu melindungi
mereka, adik-adiknya yang bebal. Semua pengorbanan itu. Semua....
Ikanuri tersungkur. Tergugu. Dia benar-benar tidak tahan lagi Menangis
terisak. Ya Allah, jika ada yang bertanya siapa yang paling penting dalam
hidupnya.... Jika ada yang bertanya: Siapa? Maka itu sungguh adalah Kak
Laisa.
**********
dan anda bisa menemukan artikel Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 13 KAU BUKAN KAKAK KAMI Bag 5 ini dengan url
http://adara-wpr.blogspot.com/2012/11/bidadari-bidadari-surga-mozaik-13-kau_5855.html,
anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 13 KAU BUKAN KAKAK KAMI Bag 5 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,
namun jangan lupa untuk meletakkan link Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 13 KAU BUKAN KAKAK KAMI Bag 5 sebagai sumbernya.
0 comments:
Post a Comment