Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 10 PERTEMUAN DI BALAI KAMPUNG 4 - Sinyal sambungan langsung internasional itu payah, putus-putus. Dengan
jeda waktu bicara lama pula. Jadi kalian bicara sekarang, baru tiga detik
kemudian terdengar di seberang sana. Juga sebaliknya.
"Kami persis di pegunungan Alpen, Swiss. Ya ampun, ini benar-benar
sialan semua urusan ini—
Ada longsor yang menimbun jalan kereta! SWISS. Kami di SWISS,
bukan ITALIA, PROFESOR. Hallo? Hallo? Tidak. Kami tidak berangkat dari
Roma. Sepakbola sialan ini membuat semua penerbangan dari kota-kota di
Italia penuh hingga dua hari ke depan. Terpaksa berangkat dari Paris. PARIS,
bukan SWISS—"
Suara gemuruh hujan terdengar dari latar suara Ikanuri.
"Tidak. Tidak. Kami akan terbang dari Paris, Dalimunte. Dengan
penerbangan besok pagi, jika semua tanah sialan ini berhasil dibersihkan. Di
sini sedang hujan deras. Ada tebing yang longsor. Tanahnya memenuhi jalanan
kereta. Apa? Sialan. SUARANYA PUTUS-PUTUS, DALIMUNTE! APA? Oo-
Juwita, Delima, dan Ummi mereka sudah dalam perjalanan ke sana. Seharusnya
dua-tiga jam lagi tiba di bandara. Kau sudah dijemput di bandara?" Ikanuri
entah untuk ke berapa kalinya memaki.
Sementara di sini, sambil menelepon, Dalimunte melangkah cepat menuju
lobi depan bandara. Mobil jemputan perkebunan strawberry sudah menunggu
sejak tiga jam lalu. Perjalanan Jakarta menuju ibukota provinsi ini hanya butuh
satu jam. Tujuh jam berikutnya dihabiskan dengan perjalanan darat menuju
Lembah Lahambay. Dulu itu menjadi perjalanan yang menantang. Terpaksa tiga
kali ganti kendaraan. Satu kali menumpang bus ke kota kabupaten. Satu kali
lagi menumpang angkutan pedesaan terbuka menuju kota kecamatan. Terakhir
naik starwagoon tua itu menuju perkampungan. Sekarang tidak lagi, sejak
perkebunan strawberry punya cabang pabrik pengalengan di kota provinsi,
akses ke sana jauh lebih mudah.
"Apa? Hallo? YASHINTA? Aku tidak tahu, Dalimunte!" Ikanuri
berteriak, suara hujan semakin deras,
"Aku sudah hampir sepuluh kali menghubungi telepon genggam satelit
Yashinta. Tidak ada sinyal. APA? HALLO? TIDAK TAHU! Aku tidak tahu!
Tentu saja ia baik-baik saja, Dalimunte—"
Kedua kakak-beradik itu (satu di Italia, satu di sini) mengernyit
berbarengan. Dalimunte melipat dahinya lebih lebal, terlihat amat cemas. Dia
juga sudah tiga kali mengontak HP Yashinta tadi. Sama. Sama sekali tidak ada
sinyal. "Mematikan HP? Tidak mungkin ia sudah di pesawat, bukan? Apa? Oo
Terakhir aku ditelepon Yashinta tadi malam. Ia menginap di punggung lereng
Semeru. Apa? Tentu tidak, Dalimunte. Kenapa pula kau persis seperti Mamak,
mencemaskan hal-hal kecil. Anak itu dua kali lebih atletis dibandingkan Kak
Laisa, apalagi dibandingkan kau! DIA AKAN BAIKBAIK SAJA,
DALIMUNTE!" Pembicaraan itu terdiam sejenak. Kelu. Dalimunte menelan
ludah mendengar nama Kak Laisa disebut Ikanuri.
"Kau sudah menelepon Mamak di kampung?" Ikanuri setelah ikut
terdiam sebentar, bertanya. Dengan intonasi sedikit berbeda. Juga ikutan
merasa ganjil setelah menyebut nama Kak Laisa.
"Baik. Baik. Jika kau tiba tujuh jam lagi bilang Mamak, aku dan
Wibisana akan berusaha segera tiba di sana, Dalimunte. Ya ampun, apa yang
sering kubilang dulu? Kau seharusnya sudah menemukan alat agar kami bisa
pindah kemana saja dalam sekejap, Profesor. Bukan hanya mengurus soal bulan
yang terbelah, itu kan sudah jelas pasti benar, Mamak dulu jugasudah bilang itu
benar dalam cerita-ceritanya lepas Shubuh, tak perlu kau buktikan—" Ikanuri
mencoba bergurau, sebelum menutup sambungan internasional.
Lengang. Dalimunte mengusap wajahnya sekali lagi. Terdiam. Bukan
karena gurauan Ikanuri soal penelitiannya. Wibisana dan Ikanuri berdua
memang sejak kecil kompak sudah suka mengganggu 'penelitian-penelitiannya'.
Menyembunyikan alat-alatnya. Dalimunte terdiam karena memikirkan sesuatu.
Cemas.
"Abi, jadi naik nggak?" Intan berseru memanggil dari dalam mobil.
Putrinya sudah duduk rapi memeluk si belang. Sopir perkebunan strawberry
juga sejak dari tadi menunggu.
Dalimunte menghela nafas. Ya Allah, bertambah satu lagi hal
mencemaskan. Yashinta! Kemana pula adik bungsunya itu? Ganjil sekali HP
satelitnya tidak ada sinyal. Apa dia harus cek GPS (global positioning system)
agar tahu posisi Yashinta? Tapi kalau HP satelitnya saja mati, apalagi GPS-nya.
Itu satu paket dengan gagdet canggih Yashinta. Dalimunte setelah menghela
nafas untuk kesekian kalinya, beranjak menghempaskan pantat di jok mobil.
Mengangguk, memberikan kode jalan ke sopir.
dan anda bisa menemukan artikel Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 10 PERTEMUAN DI BALAI KAMPUNG 4 ini dengan url
http://adara-wpr.blogspot.com/2012/11/bidadari-bidadari-surga-mozaik-10_1765.html,
anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 10 PERTEMUAN DI BALAI KAMPUNG 4 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,
namun jangan lupa untuk meletakkan link Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 10 PERTEMUAN DI BALAI KAMPUNG 4 sebagai sumbernya.
Artikel Terkait: Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 10 PERTEMUAN DI BALAI KAMPUNG 4
- Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 14 PENGUASA GUNUNG KENDENG Bag 6
- Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 14 PENGUASA GUNUNG KENDENG Bag 5
- Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 14 PENGUASA GUNUNG KENDENG Bag 4
- Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 14 PENGUASA GUNUNG KENDENG Bag 3
- Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 14 PENGUASA GUNUNG KENDENG Bag 2
- Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 14 PENGUASA GUNUNG KENDENG Bag 1
- Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 13 KAU BUKAN KAKAK KAMI Bag 5
- Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 13 KAU BUKAN KAKAK KAMI Bag 4
- Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 13 KAU BUKAN KAKAK KAMI Bag 3
- Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 13 KAU BUKAN KAKAK KAMI Bag 2
0 comments:
Post a Comment