Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 14 PENGUASA GUNUNG KENDENG Bag 2 - "Sejak kapan?" Wak Burhan menyemburkan sirihnya.
"Sejak tadi siang—"
"Ada yang tahu tadi siang anak itu kemana?" Wak Burhan menyambar
obor di depan pintunya, memotong kalimat Mamak.
"Ee, tadi siang, tadi siang mereka bermain-main di ladang—" Laisa
menjawab patah-patah. Serba salah. Ia tidak ingin menceritakan pertengkaran
itu. Tidak ingin orang tahu kalau Ikanuri mengatakan kalimat kasar itu.
"Dan belum pulang?" Wak Burhan memotong lagi. Cemas.
"Belum, Wak—"
"Sekarang sudah hampir setengah sembilan," Wak Burhan menyimak
gerakan bulan malam ketiga belas di atas sana,
"Ya Allah, Lainuri. Ini benar-benar mencemaskan." Mamak menelan
ludah, wajahnya mengeras, amat tegang.
"Apa yang harus kulakukan, Bang?" Wak Burhan bergumam. Seperti
membaca mantra sajalah. Berhitung dengan cepat. Lantas berseru cepat. "LAIS,
BUNYIKAN BEDUK DI SURAU! Panggil seluruh pemuda kampung, suruh
kumpul di balai, SEKARANG!" Wak Burhan menyemburkan ludah sirinya.
"Dan kau Lainuri, ikut denganku ke balai pertemuan!"
Ini serius. Serius sekali. Semua orang juga tahu, kampung mereka berada
di dekat hutan rimba. Di seberang cadas sungai, di hutan rimba sana, malammalam
begini ada sejuta mara bahaya mengintai. Pemuda dewasa saja berpikir
dua kali kalau harus mencari kumbang masuk jauh-jauh ke dalam sana. Mereka
biasanya hanya merambah dekat-dekat dengan cadas sungai. Itupun harus
berombongan.
Dua anak kecil?
Laisa tidak perlu diteriaki dua kali. Dengan tangan gemetar, ikut
merasakan ketegangan yang segera meninggi, langsung berlari menuruni anak
tangga. Semoga adik-adiknya tidak kenapa-napa. Semoga mereka hanya
bermain di desa atas, memutuskan untuk tidak mau pulang. Atau entah pergi ke
manalah. Semoga mereka... Ya Allah, kenangan masa lalu itu serentak
menyergapnya. Ya Allah! Wajah robek tak berbentuk. Tubuh tercabik-cabik
bersimbah darah. Laisa menggigil. Ketakutan. Kakinya yang berlari terasa berat
sekali.
Bangkai korban sang siluman memenuhi pelupuk matanya.
Hanya dalam waktu lima belas detik. Beduk masjid melenguh kencang.
Kentongan bambu telah di pukul ramai-ramai. Sahut-menyahut. Bertalu-talu.
Semua penduduk kampong keluar. Hilang sudah lelah tadi siang. Disingkirkan
jauh-jauh. Benar-benar rusuh. Mereka mengenali ramai bunyi kentongan itu.
Terakhir terdengar dipukul delapan tahun silam. Mereka berkumpul di balai
kampung. Membawa obor. Membawa golok. Membawa tombak. Apa saja
senjata yang bisa dibawa. Wajah-wajah cemas. Tegang. Balai kampung ramai
kembali.
Wak Burhan berdiri di tengah-tengah balai kampung, Kerlip cahaya obor
membasuh wajah tuanya. Umur Wak Burhan sudah berbilang tujuh puluh, tapi
dia masih gagah. Masih tegap sekali. Dalam situasi serius seperti ini, kedut
wajahnya terlihat amat mengesankan. Kumis melintang. Rahang kokoh. Mata
yang tajam. Makanya penduduk kampung amat segan padanya.
"Dua orang mencari ke desa atas. Dua orang mencari ke desa seberang.
Kau dan teman-temanmu ke Curug Cuak.... yang lain ikut aku...." Wak Burhan
membagi kelompok-kelompok dengan cepat.
"Satu jam dari sekarang, saat bulan berada persis di atas gunung
Kendeng, semua kembali ke sini... Jika Ikanuri dan Wibisana tidak ditemukan
juga, seluruh rombongan akan dipecah dua, kita harus menyusuri hutan rimba.
Kita harus melakukannya—"
Kepala-kepala mengangguk. Seruan-seruan kecil setuju.
dan anda bisa menemukan artikel Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 14 PENGUASA GUNUNG KENDENG Bag 2 ini dengan url
http://adara-wpr.blogspot.com/2012/11/bidadari-bidadari-surga-mozaik-14_30.html,
anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 14 PENGUASA GUNUNG KENDENG Bag 2 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,
namun jangan lupa untuk meletakkan link Bidadari-Bidadari Surga Mozaik 14 PENGUASA GUNUNG KENDENG Bag 2 sebagai sumbernya.
0 comments:
Post a Comment