Masuk ke gerbang hutan rimba.
Pukul 02.00. Empat jam berlalu. Rombongan lelaki penduduk kampung
terus menyisir rimba belantara. Karena mereka harus memastikan setiap semakbelukar
bersih ditelusuri, pergerakan mereka lamban. Berteriak-teriak
memanggil. Suara itu membuat diam binatang hutan. Kosong. Sejauh ini
kosong. Tidak ada selain babi hutan yang melintas, berlari dengan anakanaknya.
Tidak ada selain desau burung malam yang terbang berderak,
terganggu.
Langit semakin kelam.
Gerakan Laisa dan Dalimunte jauh lebih cepat. Karena mereka langsung
menuju satu titik. Gunung Kendeng. Semakin masuk ke dalam hutan,
pepohonan semakin lebat. Golok di tangan Laisa tangkas memotong semak
belukar yang menghalangi langkah. Sudah sejak dua jam lalu jalan setapak
yang biasa digunakan penduduk mencari damar, rotan, menghilang. Mereka
harus menerabos semak belukar, belalai rotan, dan tumbuhan berduri lainnya.
Jarang sekali ada penduduk yang merambah hingga ke atas gunung. Jalan
setapak hanya ada di tempat-tempat biasa merek menyadap damar, mencari
rotan, menangkap kumbang, dan sebagainya.
Pukul 02.30, Laisa berhenti sejenak. Memperhatikan semak di depannya.
Jantungnya berdetak amat kencang. Seketika.
"Ada apa, Kak?" Dalimunte mendekat, ikut melihat ke depan.
Laisa menelan ludah, mendekatkan obor ke ujung dahan salah satu pohon
kecil. Patah. Khas sekali. Itu bukan karena uwa, bukan karena binatang liar.
Tapi dipatahkan oleh manusia. Benar. Ya Allah, ia benar, Ikanuri dan Wibisana
baru saja melewati gunung ini....
Laisa menggigit bibir. Cepat! Ia harus buru-buru. Meski harapan itu kecil,
meski janji itu bagai embun yang segera sirna oleh cahaya matahari pagi, ia
harus buru-buru. Menyusul Ikanuri dan Wibisana. Semoga belum terlambat.
Semoga adik-adiknya belum kenapa-napa. Semoga belum.... Golok di tangan
Laisa galak membabat ujung-ujung semak di depan yang menghalanginya.
Laisa kalap, tangannya gemetar, kakinya apalagi. Tapi rasa cinta yang besar itu
membungkus segenap ketakutan. Adik-adiknya, dimanapun saat ini dua sigung
nakal itu berada.... mereka membutuhkan dia, kakaknya.
Laisa terus maju dengan kecepatan tinggi.
"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja—" Dalimunte pelan
menyentuh lengan Laisa, bertanya cemas ke sekian kalinya.
Laisa menoleh. Menggigit bibir. Entah menjawab apa. Ia sama sekali
tidak mendengarkan pertanyaan Dalimunte. Kenangan buruk itu membungkus
kepalanya. Kemana adik-adiknya malam ini? Kemana Ikanuri dan Wibisana?
Kemana, ya Allah....
Dan entah mengapa akhirnya kesadaran itu ditanamkan di kepalanya.
Laisa mendadak ingat sesuatu. Ia ingat pernah mendengar pembicaraan Ikanuri
dan Wibisana beberapa hari lalu setelah kejadian starwagoon tua itu. Ia tahu.
Laisa tahu di mana harus mencari adiknya. Mukanya menyeringai oleh buncah
cemas tak tertahankan. Berdiri. Bergegas.
"Kak Lais, hendak kemana?" Dalimunte memotong. Tercekat. Hendak
kemana?
Pertanyaan Dalimunte barusan menyadarkan Laisa tujuan sebenarnya
Ikanuri dan Wibisana. Ya Allah, Laisa gemetar seketika saat benar-benar baru
menyadari adiknya dulu.
"Jalan pintas terdekat menuju kota kecamatan sebenarnya melalui
Gunung Kaideng. Hanya delapan kilo jika melewati gunung itu...." Ikanuri dan
Wibisana langsung menuju ke jantung sarang Siluman, entah apakah dua
sigung nakal itu menyadarinya atau tidak.
"Aku ikut—"
"TIDAK!! Kau tetap di sini, menjaga Mamak dan Yashinta—"
"Aku ikut!" Dalimunte menjawab tegas. Cepat berlari ke dalam rumah.
Suara kakinya membuat lantai rumah panggung mereka berderak. Sejurus, dia
sudah keluar lagi, membawa tombak panjang peninggalan Babak.
"Aku ikut kemana pun Kak Laisa pergi malam ini—" Tegas sekali
Dalimunte berkata. Wajahnya dipenuhi ekspresi penghargaan. Keberanian?
Tentu saja dia takut, dia tahu kakaknya akan pergi ke Gunung Kendeng. Tapi,
sumpah, Dali tidak takut mesti harus memasuki daerah terlarang itu. Lihatlah
wajah Kak Lais, wajah yang selalu berani dalam hidupnya, demi adik-adik
mereka. Wajah yang selalu melindungi. Melihat wajah itu, Dali tidak akan
pernah takut lagi.
Laisa menelan ludah. Wajah tegang itu dibasuh cahaya obor yang
dibawanya. Kerlapkerlip. Menatap adiknya sejenak. Berpikir cepat. Lantas
mengangguk. Tak apalah. Tak apalah adiknya ikut. Ya Allah, sekali ini tolong
baiklah dengan kami, tolong....
Laisa menggigit bibir. Lantas melangkah menuruni anak tangga. Diikuti
langkah Dalimunte. Lima menit lalu Laisa memutuskan juga mencari adiknya.
Ia tahu di mana adiknya berada malam ini. Mereka berdua pasti memutuskan
kabur dari rumah, pergi ke kota kecamatan. Jalan pintas. Ia tahu, hanya Ikanuri
dan Wibisani yang menganggap wanti-wanti tentang harimau Gunung Kendeng
itu lelucon. Ingatlah dua minggu lalu mereka malah memperolok-olok Yashinta
soal berang-berang yang lucu. Bagi mereka harimau-lah yang lucu.
Dalimunte demi melihat kakaknya berdiri, dengan ikut berdiri. Melihat
kakaknya berlari pulang ke rumah mengambil obor dan golok, dengan cepat
mengikuti. Mamak Lainuri yang masih semaput tidak bisa bicara hanya
menatap kosong mereka berdua. Tidak ada warga di balai kampung yang bisa
mencegah. Terlalu penat setelah kerja seharian. Penat dengan segenap
kecemasan. Tidak ada. Hanya membiarkan. Maka bergeraklah dua obor itu
menuruni cadas sungai. Menyeberangi sungai.
Mamak Lainuri yang sudah siuman mengeluh tertahan. Kalimat Wak
Burhan, kalimat terakhir Wak Burhan bukan lagi perintah mencari orang yang
masih hidup. Bercak darah…. "Hati-hati, jangan sampai ada yang terpisah dari
rombongan. Sang siluman mungkin masih mencari korban berikutnya...."
Balai kampung itu terdiam. Seruan-seruan terhenti. Menelan ludah. Nama
itu akhirnya tersebutkan sudah. Sang Siluman. Laisa sudah menggigil
ketakutan. Wak Burhan memberikan instruksi dua-tiga kalimat lagi. Lantas dua
rombongan bergerak meninggalkan bangunan. Rombongan membawa obor itu
menghilang di tengah gelapnya hutan rimba seberang cadas lima belas menit
kemudian. Menyisakan ketegangan yang meninggi.
"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja?" Dalimunte bertanya
mencicit. Cemas. Dari tadi ia tidak bisa memejamkan mata. Tegang. Sementara
Yashinta di sebelahnya sudah jatuh tertidur. Meringkuk di atas kursi bambu
balai kampung.
Kali ini Laisa hanya diam membeku. Tak kuasa mengangguk.
Delapan tahun... delapan tahun silam.
Ia menyaksikan sendiri dengan mata-kepalanya. Babak mereka dibawa
pulang dari hutan persis saat semburat jingga pagi tiba. Setelah pencarian enam
jam tanpa henti. Setelah hutan rimba. Muka yang robek tak berbentuk. Tubuh
yang tercabik-cabik itu dibawa pulang. Sudah tak bernafas. Babak diterkam
penguasa rimba, sang siluman, itulah nama seram menakutkan harimau Gunung
Kendeng. Waktu itu umurnya baru delapan, Dalimunte empat, Ikanuri dan
Wibisana dua tahun. Yashinta masih di kandungan.
Hari itu, babak mereka pergi —
Malam itu yang mereka tahu Babak hanya bilang hendak mencari
kumbang bersama dua temannya ke hutan rimba seberang cadas, tidak jauh.
Tapi entah apa pasalnya, rombongan mereka terpisah. Dua temannya panik.
Pulang, segera melapor. Tidak ada yang mengerti, bagaimana mungkin mayat
Babak justru ditemukan jauh sekali dari cadas sungai. Masuk ke dalam hutan
rimba. Bukankah Babak seperti penduduk lainnya amat hafal dengan hutan itu?
Bagaimana mungkin babak malah tersasar jauh ke sana? Seruan-seruan ganjil
terdengar,
Semua orang tahu tentang pemikat sang siluman, penguasa Gunung
Kendeng. Membuat siapa saja yang berani merambah wilayahnya di malam
hari akan tersesat di dalam hutan. Hanya berputar-putar saja di satu titik, lantas
tanpa disadarinya sudah masuk ke dalam perangkap sang siluman.
Sudah delapan tahun berlalu kejadian mengenaskan itu tidak terjadi lagi
di lembah mereka. Dulu, waktu Laisa masih kecil, ia dua kali melihat kejadian
serupa. Salah satu penduduk kampung yang tidak pulang-pulang hingga malam
hari, besoknya ditemukan sudah dengan tubuh tercabik-cabik. Orang dewasa di
kampung itu mengerti benar, kalau Ikamuri dan Wibisana sampai berani masuk
ke dalam hutan rimba, pencarian mereka malam ini akan berakhir sama—
Juga Wak Burhan. Siapa yang akan lupa lima belas tahun silam saat anak
tunggal Wak Burhan yang berumur dua puluh empat tahun ditemukan keesokan
paginya, hanyut di sungai deras dengan wajah berbilur cakaran. Yang membuat
Wak Burhan tinggal sendirian hingga hari ini, karena istrinya sudah kapan
tahun meninggal.
Sekejap. Pencarian itu dimulai. Mamak Lainuri sudah sejak tadi hanya
terduduk di kursi bambu. Dipegangi oleh ibu-ibu lainnya. Mamak semaput.
Wajahnya pucat oleh perasaan gentar. Ya Allah, ia seperti bisa melihat kejadian
delapan tahun silam. Seperti tergambar jelas di depannya. Wak Burhan yang
waktu itu lebih muda, juga dengan cepat memberikan perintah. Orang-orang
yang membawa obor. Tombak. Golok. Pencarian hingga dinihari. Dan hasilnya?
Mamak Lainuri jatuh pingsan lagi.
Laisa berusaha menyeka keringat di wajah Mamak.
Dalimunte yang terlalu kecil untuk ikut rombongan pencari duduk
tertunduk di dekatnya, gentar. Yashinta memeluk lutut. Bahkan ia masih terlalu
kecil untuk ingat banyak kejadian. Masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang
sedang terjadi.
"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja?" Laisa mengangguk
pelan ke arah Dalimunte.
Cahaya obor rombongan pencari yang bergerak terlihat mulai menjauh.
Ada yang menaiki lembah, ke desa atas. Menyeberangi ladang-ladang. Ke kiri.
Ke kanan. Kerlapkerlip. Meski nyaris separuh penduduk kampung mencari
Ikanuri dan Wibisana, balai kampung tetap ramai. Seluruh penduduk membawa
anggota keluarganya ke sini. Tidak ada yang ingin meninggalkan anak-anaknya
di rumah setelah mengerti maksud bunyi kentongan tadi. Mereka bermalam di
balai kampung bersama-sama. Di atas kursi-kursi bambu Saling bersitatap
ketakutan.
Laisa menggigit bibir. Mengusap wajahnya berkali-kali. Gelisah melihat
sekitar. Ia sungguh cemas. Ini pasti gara-gara ia tadi siang mengancam adikadiknya.
Ya Allah… Ini semua salahnya. Mereka pasti enggan pulang gara-gara
dibilang akan dihukum tidak boleh masuk rumah, harus tidur di bale bambu,
bawah rumah. Apakah ia harus menceritakan pertengkarannya ke Mamak?
Tidak. Itu tidak perlu, dan jelas tidak bisa dilakukannya. Tapi kalau terjadi
kenapa-napa dengan Ikanuri dan Wibisana? Ya Allah, semoga tidak. Semoga
mereka hanya bermalam di desa atas.
Gemerlap bintang di atas entah kenapa pelan mulai diselimuti gumpalan
awan hitam. Seperti menambah tinggi tingkat kecemasan. Hening. Mencekam.
Sudah pukul 22.00. Lembah itu mulai hening. Suara jangkrik berderik pelan
mereda. Uhu burung hantu. melemah. Suara uwa menghilang. Malam beranjak
matang. Satu jam berlalu.
Rombongan pencari satu per satu kembali. Melapor.
Hasilnya kosong—
Maka benar-benar tegang sudah balai kampung itu. "Hati-hati... Tetap
dalam rombongan, jangan ada satupun yang terpisah—" Wak Burhan berkata
dengan intonasi suara tegas tanpa kompromi. Kelompak lelaki dewasa yang
sudah terbagi menjadi dua rombongan tersebut, mengangguk "Saat pijar
matahari pagi terlihat di kejauhan, saat merah terlihat menyemburat
membungkus lembah, kita berkumpul lagi di sini.... Sebelum itu, cari sampai
dapat. Periksa seluruh semak belukar, jangan sampai ada yang tertinggal.
Pastikan kalian mengenali bercak darah...."
"Sejak kapan?" Wak Burhan menyemburkan sirihnya.
"Sejak tadi siang—"
"Ada yang tahu tadi siang anak itu kemana?" Wak Burhan menyambar
obor di depan pintunya, memotong kalimat Mamak.
"Ee, tadi siang, tadi siang mereka bermain-main di ladang—" Laisa
menjawab patah-patah. Serba salah. Ia tidak ingin menceritakan pertengkaran
itu. Tidak ingin orang tahu kalau Ikanuri mengatakan kalimat kasar itu.
"Dan belum pulang?" Wak Burhan memotong lagi. Cemas.
"Belum, Wak—"
"Sekarang sudah hampir setengah sembilan," Wak Burhan menyimak
gerakan bulan malam ketiga belas di atas sana,
"Ya Allah, Lainuri. Ini benar-benar mencemaskan." Mamak menelan
ludah, wajahnya mengeras, amat tegang.
"Apa yang harus kulakukan, Bang?" Wak Burhan bergumam. Seperti
membaca mantra sajalah. Berhitung dengan cepat. Lantas berseru cepat. "LAIS,
BUNYIKAN BEDUK DI SURAU! Panggil seluruh pemuda kampung, suruh
kumpul di balai, SEKARANG!" Wak Burhan menyemburkan ludah sirinya.
"Dan kau Lainuri, ikut denganku ke balai pertemuan!"
Ini serius. Serius sekali. Semua orang juga tahu, kampung mereka berada
di dekat hutan rimba. Di seberang cadas sungai, di hutan rimba sana, malammalam
begini ada sejuta mara bahaya mengintai. Pemuda dewasa saja berpikir
dua kali kalau harus mencari kumbang masuk jauh-jauh ke dalam sana. Mereka
biasanya hanya merambah dekat-dekat dengan cadas sungai. Itupun harus
berombongan.
Dua anak kecil?
Laisa tidak perlu diteriaki dua kali. Dengan tangan gemetar, ikut
merasakan ketegangan yang segera meninggi, langsung berlari menuruni anak
tangga. Semoga adik-adiknya tidak kenapa-napa. Semoga mereka hanya
bermain di desa atas, memutuskan untuk tidak mau pulang. Atau entah pergi ke
manalah. Semoga mereka... Ya Allah, kenangan masa lalu itu serentak
menyergapnya. Ya Allah! Wajah robek tak berbentuk. Tubuh tercabik-cabik
bersimbah darah. Laisa menggigil. Ketakutan. Kakinya yang berlari terasa berat
sekali.
Bangkai korban sang siluman memenuhi pelupuk matanya.
Hanya dalam waktu lima belas detik. Beduk masjid melenguh kencang.
Kentongan bambu telah di pukul ramai-ramai. Sahut-menyahut. Bertalu-talu.
Semua penduduk kampong keluar. Hilang sudah lelah tadi siang. Disingkirkan
jauh-jauh. Benar-benar rusuh. Mereka mengenali ramai bunyi kentongan itu.
Terakhir terdengar dipukul delapan tahun silam. Mereka berkumpul di balai
kampung. Membawa obor. Membawa golok. Membawa tombak. Apa saja
senjata yang bisa dibawa. Wajah-wajah cemas. Tegang. Balai kampung ramai
kembali.
Wak Burhan berdiri di tengah-tengah balai kampung, Kerlip cahaya obor
membasuh wajah tuanya. Umur Wak Burhan sudah berbilang tujuh puluh, tapi
dia masih gagah. Masih tegap sekali. Dalam situasi serius seperti ini, kedut
wajahnya terlihat amat mengesankan. Kumis melintang. Rahang kokoh. Mata
yang tajam. Makanya penduduk kampung amat segan padanya.
"Dua orang mencari ke desa atas. Dua orang mencari ke desa seberang.
Kau dan teman-temanmu ke Curug Cuak.... yang lain ikut aku...." Wak Burhan
membagi kelompok-kelompok dengan cepat.
"Satu jam dari sekarang, saat bulan berada persis di atas gunung
Kendeng, semua kembali ke sini... Jika Ikanuri dan Wibisana tidak ditemukan
juga, seluruh rombongan akan dipecah dua, kita harus menyusuri hutan rimba.
Kita harus melakukannya—"
Kepala-kepala mengangguk. Seruan-seruan kecil setuju.
CELAKA. Benar-benar celaka. Kesibukan penduduk Lembah Lahambay hari
itu ternyata tidak berhenti saat senja tiba. Tapi benar-benar hingga malam hari,
24 jam.
Menjelang maghrib setelah dipotong istirahat shalat ashar, lima kincir air
itu sudah berderet rapi di dinding cadas sungai. Lubang-lubang pondasi sudah
dituangi cor semen. Belum terpasang. Meski pondasinya sudah siap, lima kincir
itu baru akan dipasang minggu depan, jadwal gotong-royong berikutnya.
Pondasinya dibiarkan dulu kering.
Wak Burhan, para orang tua, pemuda dewasa, menyeringai lega melihat
pekerjaan mereka. Lembah mulai remang, Wak Burhan menghentikan gotongroyong.
Cukup untuk ahad ini. Kesibukan di pinggir sungai itu memang
berhenti ketika mereka beramai-ramai beranjak pulang. Mandi. Berganti
pakaian. Siap menjemput malam, beristirahat.
Tetapi kesibukan lainnya mendadak menyusul. Lebih ramai dari sebelumsebelumnya.
Laisa setelah hampir setengah jam menangis di bawah pohon mangga
beranjak kembali ke pinggir sungai. Menyeka luruh sisa-sisa tangis. Berusaha
senormal mungkin saat bilang ke Mamak kalau Ikanuri dan Wibisana tidak mau
nurut. Mereka bermain-main di ladang, dan justru lari menghindar saat disuruh
pulang. Mamak mengomel, berjanji dalam hati akan menghukum dua sigung
itu nanti malam. Meneruskan pekerjaan memberesi peralatan masak. Senja
mulai turun, jingga membungkus lembah. Sementara Yashinta sejak tadi hanya
dudukduduk saja di pinggir sungai selepas asyik mengejar capung air bersama
teman-temannya.
Tetapi keliru. Laisa yang berpikir Ikanuri dan Wibisana setelah pergi
meninggalkan dirinya akan kembali ke rumah itu keliru. Juga Mamak yang
sudah berencana membuat aturan main baru di rumah saat mengomel nanti
malam. Keliru, Ikanuri dan Wibisana ternyata tidak pulang-pulang. Juga saat
mereka sudah bersiap-siap shalat berjamaah. Dua sigung itu tetap tidak
kelihatan batang hidungnya.
Lepas maghrib, saat orang-orang pulang dari surau, denting kecemasan
itu mulai tumbuh. Mamak Lainuri menatap cemas dari bingkai jendela depan
yang masih terbuka. Kemana pula dua anak nakalnya pergi?
Adzan isya. Lepas shalat isya. Lembah sempurna gelap. Dan sedikit pun
tidak kelihatan tanda-tanda batang hidung Ikanuri dan Wibisana. Mamak
semakin cemas. Menatap siluet hutan rimba dengan nafas bergetar.
Pukul 19.30. Tegang sekali.
Pukul 20.00, Mamak Lainuri akhirnya menyererah.
Sejengkel apapun ia dengan Ikanuri dan Wibisana, dawai kecemasannya
sudah berdenting terlalu tinggi. Ia menyambar obor di depan pintu. Melangkah
cepat ke rumah Wak Burhan. Kak Laisa, yang meski hatinya masih bagai buah
tersayat-sayat sejak kejadian tadi sore ikut ke rumah Wak Burhan. Mamak
hendak melapor. Dua anaknya belum pulang.
"Belum pulang bagaimana, Lainuri?"
"Belum pulang, Bang! Ikanuri dan Wibisana belum pulang ke rumah!"
Mamak mengusap wajahnya, tegang, cemas.
Melawan semakin berani. "LIHAT! Kulit kau hitam. Tidak seperti kami,
yang putih. Rambut kau gimbal, tidak seperti kami, lurus. Kau tidak seperti
kami, tidak seperti Dalimunte dan Yashinta. KAU BUKAN KAKAK KAMI.
Kau pendek! Pendek! Pendek!"
Kali ini kalimat Ikanuri benar-benar bak roket yang ditembakkan tiga kali
di lubang yang sama. Berdebum. Membuat lubang besar itu menganga lebarlebar,
hitam pekat. Laisa terperangah. Sesak. Nafasnya sesak seketika. Ya
Allah, apa yang barusan dikatakan adiknya. Apa ia sungguh tak salah dengar?
Laisa gemetar. Tangannya yang mencengkeram ranting bergetar, terlepas.
"Kenapa? Kenapa kau diam? Kau marah kami mengatakan itu, hah?" Ikanuri
tanpa rasa iba bertanya bengis.
Laisa menelan ludah.Matanyat iba-tiba berair. Ya Allah, aku mohon,
jangan pernah, jangan pernah buat aku menangis di depan adik-adikku. jangan
pernah! Itu akan membuat mereka kehilangan teladan. Laisa meremas pahanya
kencang-kencang. Berusaha mengalihkan rasa sakit di hati ke rasa sakit di
tubuhnya.
"Kami tidak akan lagi menurut... Kau bukan Kakak kami. Bukan! Bukan!
BUKAN!" Ikanuri berseru amat puas. Berkali-kali.
"Hentikan Ikanuri. Hentikan...." Laisa berseru, terbata.
"Kau bukan kakak kami!"
"Hentikan Ikanuri, atau kau kuadukan pada Mamak, dan kalian akan
dihukum tidak boleh masuk rumah selama seminggu," Laisa berkata dengan
suara bergetar. Menahan tangis.
"Kau jelek! Jelek! JELEK!"
"Hentikan Ikanuri—"
"Pendek! Pendek!"
"Hentikan, Ikanuri. Aku mohon — "
"Jelek! Jelek! Pendek! Pendek!" Ikanuri tertawa lepas. Lantas beranjak
melangkah dari bawah pohon mangga dengan seringai penuh kemenangan,
disusul oleh Wibisana (yang tertunduk dalam-dalam, sedikit merasa ganjil
dengan teriakan kasar Ikanuri).
Laisa sudah jatuh terduduk. Sempurna jatuh terduduk. Menatap punggung
adik-adiknya yang menghilang dari balik semak belukar.
Seekor jangkrik di batang pohon mangga berderik.
Pelan. Meningkahi isak tertahan.Gadis tanggung berumur enam belas
tahun itu mendekap wajahnya. Ia tak kuasa lagi menahan sedih di hati. Bukan
karena Ikanuri melawannya, karena toh selama ini Ikanuri selalu berani
melawan. Tapi karena itu benar! Ya Allah, apa yang dikatakan adiknya benar
sekali. Ia bukan siapa-siapa bagi mereka. Ia bukan Kakak mereka. Seluruh
penduduk lembah itu juga tahu. Ia bukan kakak mereka.
Senyap. Hanya tangis tertahan yang terdengar.
Senyap. Juga hanya tangis tertahan yang terdengar di sini.
Kereta ekspress Eurostar melesat membelah perbatasan Swiss-Perancis.
Kecepatan super tinggi. Maximum speed. Masinisnya berusaha membayar dua
jam waktu yang terbuang di pegunungan Alpen. Setelah untuk ketiga kalinya
tebing itu longsor lagi saat dibersihkan, beberapa insinyur dari dewan terdekat
akhirnya tiba di lokasi dengan helikopter, mereka memberikan saran konstruksi
darurat untuk menahan laju longsoran berikutnya. Satu jam berlalu, sejak
dinding seadanya dipasang, kereta ekspress itu bisa kembali melesat menuju
Paris. Menjejak batangan baja relnya.
Hujan sejak lima belas menit lalu juga sudah berhenti.
Jalan kereta yang meliuk melangkahi pegunungan sudah lama digantikan
oleh hamparan tanah luas. Perkebunan anggur. Hamparan padang rumput.
Pohon cemara tinggi-tinggi sudah tertinggal di belakang, Sepuluh menit lagi
Eurostar akan tiba di perbatasan tanah bekas kekuasaan Kaisar Louis, Perancis.
Wibisana memutuskan tidur. Lelah. Membiarkan Ikanuri yang sejak kereta
berjalan lagi tadi tetap terjaga. Pukul 03.30 dini hari di sini. Di luar terlihat
gelap. Hanya sesekali cahaya lampu yang berasal dari rumah pedesaan kecil
pedalaman Swiss terlihat. Seperti kerlip kunang-kunang dari kejauhan. Indah.
Mengembalikan semua kenangan.
Wibisana menggeliat, merubah posisi tidurnya. Kabin itu luas. Lazimnya
diisi berempat, karena mereka hanya berdua, jadi nyaman tidur di kursi panjang
berhadapannya. Tapi Ikanuri tidak tidur, ia tidak bisa tidur sejak kereta jalan
lagi, ia justru sedang sibuk menyeka ujungujung matanya.
Ikanuri terisak pelan. Tertahan.
Menatap kosong keluar melewati jendela kereta.
Kunang-kunang—
Ya Allah, dia jahat sekali. Jahat! Dua puluh lima tahun silam. Seperempat
abad lalu. Kejadian itu tidak akan pernah terlupakan. Tidak akan. Wajah Kak
Laisa yang menangis saat itu. Wajah Kak Laisa yang seperti tak percaya
mendengar dia mengatakan kalimat-kalimat menusuk itu. Ikanuri tersedan.
Lihatlah, wajah Kak Laisa sekarang seperti mengukir sempurna di bayangan
jendela kereta. Wajahnya yang tersenyum, wajahnya yang selalu melindungi
mereka, adik-adiknya yang bebal. Semua pengorbanan itu. Semua....
Ikanuri tersungkur. Tergugu. Dia benar-benar tidak tahan lagi Menangis
terisak. Ya Allah, jika ada yang bertanya siapa yang paling penting dalam
hidupnya.... Jika ada yang bertanya: Siapa? Maka itu sungguh adalah Kak
Laisa.
**********